Mencatat Perjalanan, Mematangkan Kebahagiaan

Aku mulai menikmati catatan perjalanan dengan menyimak tulisan-tulisan H.O.K. Tanzil di Intisari. Cukup dengan duduk membaca, aku sudah ikut berkelana ke berbagai penjuru dunia. Pertama kali mencoba menulis catatan perjalanan ketika ikut lomba tahunan bagi pelajar yang diadakan harian Suara Karya. Aku merekam keasyikan berlibur di Dusun Blawong, Kel. Muncar, Kec. Jumo, Temanggung, Jateng. Tidak menang, dan tidak termasuk karya yang layak muat. Seterusnya, meski terus membaca catatan perjalanan dari berbagai media, aku lebih banyak menulis puisi, cerpen, dan artikel umum. Senyatanya, aku juga tergolong jarang jalan-jalan.

Ketertarikan menulis cerita jalan-jalan muncul lagi ketika bergabung dengan milis Apresiasi-Sastra, sekitar akhir 2004. Ketika itu sejumlah teratur melemparkan catatan perjalanan atau catatan pandangan mata acara yang mereka hadiri. Aku senang membacanya, dan kagum. Kok bisa-bisanya mereka mencatat, mengingat, dan menuliskan kembali pengalaman mereka secara mendetail dan dengan sentuhan emosi yang melibatkan pembaca. Apa sih rahasianya?

Lalu, waktu itu Apsas mengadakan apresiasi penulisan berita. Beberapa kawan jurnalis berbagi kiat-kiat penulisan jurnalistik. Aku bisa menimba ilmu dari situ. Bagaimana, misalnya, memotret suatu peristiwa, persoalan memilih angle, mana yang mau di-close up, mana yang mau ditampilkan garis besarnya saja.


Foto: Stevie Sundah

Pertama kali menjajal menulis catatan perjalanan lagi, seingatku, ialah ketika merekam pengalaman ikut pelatihan penulisan novel di Solo atas beasiswa dari Apsas. Sebenarnya peristiwanya sendiri agak monoton, karena terdiri atas sesi pelatihan demi sesi pelatihan. Aku mencoba membumbuinya dengan mencoba menggambarkan suasana pelatihan, keakraban perbincangan dengan rekan Apsas lainnya, dan santapan nasi liwet yang nyamleng.

Lain waktu, ketika hendak menulis catatan, aku akan meniatkan dari awal. Jadi, radar disiapkan sejak dini. Siap menangkap dan merekam hal-hal yang mungkin nantinya menarik untuk ditulis. Catatan juga kusiapkan, untuk mencorat-coret detail yang perlu. Selebihnya, aku membiarkan diri larut dalam dalam peristiwa-peristiwa, menanti hal-hal yang menarik mencuat.

Untuk menulis catatan perjalanan, aku berusaha menulisnya segera setelah perjalanan usai. Karena bahan-bahan corat-coretku biasa tidak banyak. Kalau tidak segera dituangkan, ingatan akan perjalanan itu makin kabur. Pernah aku membiarkan garis besar suatu perjalanan sekian lama, dan akhirnya aku kehilangan greget untuk menuliskannya. Garis besar itu tinggal garis besar yang kering---karena peristiwa yang sama tak mungkin kuulangi kembali secara persis, kan?

Dengan menulis sesegera mungkin, emosi yang terkenang dari peristiwa-peristiwa yang terjadi juga masih hangat. Aku berusaha menuliskannya sesantai mungkin, membayangkan seandainya aku bercerita kepada kawan-kawan dekatku. Garis besar dari hasil corat-coret dikembangkan dengan mencoba menghidupkan kembali peristiwa yang sudah berlalu itu melalui kata-kata. Umumnya, aku menulis secara kronologis. Tentu saja, tidak setiap episode mendapatkan porsi sorotan yang sama. Kejadian yang menyedot perhatianku, dan kurasa perlu ditonjolkan, dengan sendirinya akan mendapatkan jatah pemaparan yang lebih banyak.

Menulis catatan perjalanan, dengan sasaran akan mempublikasikannya di milis dan blog, bagiku justru memberi keleluasaan. Tidak terbatasi jumlah halamannya, dan aku bebas mengeksplorasi langgam menulis. Menjadi penyegaran di tengah kegiatan menulis artikel pesanan yang sudah ditentukan jumlah katanya.

Sejauh ini, aku belum terlalu serius menekuni genre ini. Aku hanya memanfaatkannya untuk mencatat peristiwa yang kuanggap menarik dan mengesankan. C.S. Lewis mengatakan, “A pleasure is only full grown when it is remembered.” Menulis catatan perjalanan salah satu cara bagus untuk mengingat-ingat pengalaman dan mematangkan kebahagiaaan. Mungkin ke depan aku akan lebih rajin melakukannya.***

* Saat ini milis Apresiasi-Sastra sedang menyiapkan apresiasi catatan perjalanan. Tulisan ini kubuat untuk memenuhi permintaan tim moderator agar aku ikut berbagi proses kreatif penulisan catatan perjalanan sebagai pemanasan acara itu.

Comments

  1. Ditunggu kisah perjalanan selanjutnya ya...

    “The world is a book and those who do not travel (or do not read about traveling - tambahanku sendiri) only read a page.” - St. Augustine

    ReplyDelete
  2. Arie kamu hebat! Penulis Indonesia sekelas Andrea Hirata deh! Arie tulis dong buku cerita buat anak-anak SMP seperti muridku. Aku Atuti di Banjarnegara teman seangkatan di Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Yogyakarta. Masih ingat Pak Rahman? Pak Surip, Pak Minto, Bu Darmiyati, Bu Pintamtiyastirin? Mereka pasti bangga punya mahasiswa seperti Arie. Itad sekarang sudah jadi dosen, aku guru di SMP N 2 Pagentan Banjarnegara. Sukses terus buat Arie dan keluarga. kunjungi blogku di jendelakatatiti.wordpress.com

    ReplyDelete
  3. halo atuti, bukuku yang "warrior: sepatu untuk sahabat itu" cocok untuk anak smp. seneng banget kalau diberi kesempatan share seputar tulis-menulis dengan murid2mu.

    ReplyDelete
  4. Terimakasih Rie , kamu bersedia jadi narasumber tentang menulis untuk murid-muridku. Tadi aku cerita di kelas, mereka antusias dan seneng banget. Mungkin semester depan Rie, aku nanti rancang acaranya. Hari Rabu 25 November InsyaAllah aku ke Yogya ada keperluan ke tempat adikku, niatnya aku cari bukumu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion