Sepucuk Surat, Kuharap Kaubaca



Aku ingin menulis, menulis dan menulis. Aku ingin ilham itu mengalir, menggerojok, menggelora. Aku ingin mengungkapkan perasaan-perasaan yang sebetulnya ingin diungkapkan suami pada isteri saat berdekapan setelah anak-anak pulas, namun selama ini perasaan-perasaan itu hanya berdesir-desir di ulu perutnya. Aku ingin membawamu menapaki dunia yang pernah kita telusuri dan yang belum pernah kita jelajahi, mengajakmu menciumi daun-daun basah segar yang akan menyergap rongga hidung, lorong tenggorokan, dan memenuhi kedua kantung paru-paru, mengangkat kita terbang mengejar Peter Pan dan Wendy, gentar kalau-kalau petualangan ini mesti segera disudahi.1 Aku ingin menggambarkan garis-garis cahaya senja dan rangkaian awan yang senantiasa berubah-ubah di punggung gunung, lekuk-lekuk lembah, remang-remang hutan, gedebur ombak, lengkingan camar - warna-warna yang tak mungkin ditangkap oleh kamera digital sekalipun konon gambar mampu mewakili ribuan kata.
Akankah kau membaca suratku?
Aku tidak ingin mengirimkannya via email. Aku baru saja mengganti cartridge. Sudah kusiapkan satu rim HVS A4. Akan ku-print. Kuharap saat membacanya kau akan mendengar desiran lembar demi lembar kertas seperti simfoni anggitan seorang maestro yang tergerak oleh senyum yang menyembulkan gigi-gigi kekuningan para bocah telanjang yang berceburan di kali bening sebelah kampungnya. Kuharap bau tintanya masih menguar, menebarkan aroma sawah saat sayap gelatik bergeletar setelah mematahkan batang padi berbulir, menerbangkannya bagi anak-anaknya yang berciap-ciap di sarang yang bertengger pada ketiak reranting pohon dadap di pematang.
Aku ingin menulis, menulis dan menulis. Aku tidak peduli betapa pegalnya leherku dan betapa boyaknya mataku terus-menerus memelototi monitor komputer yang berpendar-pendar. Aku ingin menulis tentang semut yang menggotong remah waferku dan menghilang ke dalam retakan kecil di sudut tembok, atau alien yang umpetan di salah satu bulan planet Yupiter dan nanti akan membonceng ke bumi kalau ada pesawat ruang angkasa yang melintas di situ. Aku ingin mengutarakan omong-kosong yang membual-bual dan filsafat ketuhanan yang membelit-belit. Aku ingin mempertemukan Dewi Sri, penyihir dari Oz, Ali Baba, Jean Grey dan Frodo. Atau kau ingin Pak Belalang?2 Ah, aku ingin membuka matamu: begitu luas dunia ini, dan kita tidak sendiri. Baiklah, aku akan mengotak-atiknya dengan 26 huruf, 10 angka plus tanda-tanda baca dan simbol-simbol.
Akankah kau membaca suratku?
Aku ingin hatimu perih saat rintik-rintik hujan menjentik-jentik genting pada pagi yang berkabut dan langit abu-abu rata, dan kau di rumah tidak dengan siapa-siapa. Aku ingin kau menyeduh kopi 3-in-1, membiarkannya mengepul beberapa lama, dan meneguknya justru ketika suhunya telah turun dan menjadi suam-suam kuku, meninggalkan sensasi dingin dan sedikit mulas di lambungmu. Aku ingin kau teler seperti seorang ibu yang semalam-malaman terjaga-jaga karena bayinya yang berumur empat belas bulan dari pukul sebelas hingga subuh terbangun-bangun enam kali gara-gara mengompol. Aku ingin kau mencatat betapa sunyinya dunia saat tangisnya mereda dan ia lelap dalam hangat dadamu.
Aku memang tidak pandai berbicara. Saat aku tersedak dan ucapanku putus terbata-bata, kau bisa menengok ke sorot mataku: betapa dalam palung dan labirin yang menyembunyikan kegagapan, perasaan-perasaan yang mengendap-mengental seperti lemak, pikiran-pikiran yang meletup-membuncah seperti bubur belerang di belanga kawah, kehendak-kehendak yang merayap-menjalar seperti tanaman rambat di rumah tua yang tak terurus. Aku ingin kau bisa mengejanya: huruf demi huruf, angka demi angka, tanda baca demi tanda baca, simbol demi simbol. Tidak, ya, tidak ada gambar. Aku ingin kau tenggelam dalam kata-kataku.
Akankah kau membaca suratku?
Aku menulis karena kudengar matamu setiap menit diterjang 78.000 keping gambar3 yang menyembur-nyembur dari tabung televisi yang kaupasang persis di depan ranjangmu - televisi yang tak boyak menyembur-nyembur sejak kau bangun tidur, sikat gigi, buang air, mandi, sarapan, ke kantor, balik, membaca-baca gosip di tabloid, mengeremus keripik kentang, bergelung di sofa, menyedot orange juice, membuka email, bolak-balik berhalo-halo di handphone, nonton Angin Malam dan tertidur dengan mulut ternganga dan sering lupa gosok gigi; televisi yang terus menyembur-nyembur sepanjang kau tidur. Apakah kau masih mimpi? Apakah kau sempat menyimak detak jantungmu? Dan, ya, surat ini akan kualamatkan ke rumahmu saja.
Akankah kau membaca suratku?
Aku ingin menulis karena kalau kau membuka mulut, peristiwa-peristiwa kecil menjadi berita utama: Kau nyaris tertabrak sepeda tukang susu dan kejadian itu beredar berminggu-minggu seolah-olah seorang presiden luput tertembak dan pelurunya nyasar mengenai bodyguard-nya. Aku menulis karena ada nada-nada yang tidak terjangkau oleh jemari pemetik gitar, aku menulis karena ada gerak-gerik yang tak terjelmakan oleh sintal penari India, aku menulis karena ada gelora gelombang yang tak terarungi oleh perahu nelayan. Aku menulis karena ada orang-orang yang tak bisa mendengar.
Aku menulis karena ketika kau menengok dari jendela kantormu di lantai lima gedung itu, kaulihat gerombolan orang mengacung-acungkan spanduk dengan huruf-huruf yang konyol, meneriak-neriakkan yel-yel dengan suara yang terdengar serak dan kopong, melengking-lengkingkan nyanyian dengan lirik yang ganjil dan mengakibatkan kau pengin pergi kencing.
Aku ingin menulis karena tidak laik lagi melukiskan rambutmu sebagai mayang terurai, bibirmu sebagai delima yang merekah, gigimu sebagai barisan biji ketimun. Mereka bilang itu menggelikan: karena siapakah sekarang yang tahu kalau mayang itu sejenis bunga; karena siapakah yang masih sempat membelah delima, kecuali langsung mereguknya sebagaicocktail pomegranate margarita4; karena siapakah yang masih ingat biji ketimun kalau mereka terpukau oleh biji-biji gigi resik bintang-bintang iklan yang tidak mereka kenal nama-namanya. Aku ingin menulis karena kuingin kau mendidihkan gumpalan lemak perasaanku; aku ingin menulis karena kuingin kau menyalurkan letupan panas kawahku menjadi pembangkit listrik daya cipta; aku ingin menulis karena kuingin kau memangkas tanaman rambat kehendakku dengan kemahiran seorang topiary gardener5, mewujudkan dinosaurus, naga, gajah, Totoro6, piramida terbalik - binatang-binatang dan monster-monster kesukaan kita - dari dedaunan dan ranting-rantingku.
Akankah kau membaca suratku?
Aku menulis karena kau menyimpan kisah memilukan, tak henti-henti menggerumiti piksel-piksel memoriku. "Aku sudah tidak suci sewaktu Mas Legowo merengkuhku pada malam pertama itu. Darahku sudah meleleh delapan tahun sebelumnya, saat aku mengantar kekasihku ke pelabuhan, menjelang ia menyeberang ke luar pulau, menyiapkan masa depan yang kami impikan. Namun, kekasihku tak pernah pulang ke pangkuanku. Ia malah kembali ke pelukan bumi - ia yang masih sangat muda. Apakah ia terlaknat karena mencecap madu tanpa meminangnya terlebih dahulu? Entahlah. Aku hanya hanyut dalam hari-hari tanpa kekasih, coba membekap sunyi di kota hiruk-pikuk ini, menelanku dalam perkantoran bertingkat dan kotak-kotak apartemennya. Sampai aku menerimanya, Mas Legowo itu - entah kenapa, mungkin karena sorot matanya, barangkali karena ia berjanji baru akan menciumku di hadapan altar, bisa jadi, aku tak tahu. Hanya saja kegamangan lalu mengejar-ngejarku, seperti laba-laba mengincar nyamuk sesat yang terperangkap pada jejaringnya. Aku tak tahu. Aku bungkam. Aku tak yakin, ketika kupejamkan mata, apakah perasaanku pada malam itu bisa kusebut sebagai kelegaan. Saat Mas Legowo kemudian terlelap - Puaskah? Curigakah? - dingin dan sepi bersekongkol menggerogoti perasaanku yang getir dan patah, seperti buluh yang terkulai. Udara di kamar hotel ber-AC ini terasa runcing, menusuk-nusuk. Sampai terang matahari merobek tirai jendela, mataku masih sulit terpejam. Malam-malam kami berikutnya adalah malam-malam yang sulit. Malam-malam yang entah kapan akan menjadi kami. Kalau memancing saja adalah sebuah seni, bukankah keintiman suami-isteri terlebih lagi? Ayahlah, saat aku kanak-kanak, yang mengajariku untuk tidak terburu-buru ketika tali kail terasa bergetar dan batang joran menegang. Tunggu. Sentakkan pada waktu yang tepat, maka kau akan melihat ikat menggelepar-gelepar di ujung kailmu. Dan Mas Legowo tampaknya adalah sebuah ketidaksabaran yang konyol. Ia menyentuh di tempat yang keliru. Menyentakkan joran pada waktu yang salah. Berulang-ulang aku seperti pemancing yang terlongong-longong karena tali kailnya melenting kosong ke udara. Persetubuhan. Satu daging. Kalau itu mesti dimaknai sebagai perjalanan berdua, saling menuntun menuju sebuah puncak, aku lebih sering merasa tubuhku sebagai kapal kayu yang tergesa-gesa didayung ke pelabuhan, lalu dibiarkan terhanyut-hanyut di tepian berair kecoklatan. Selebihnya: Lubang hitam di angkasa. Dingin. Labirin. Apakah ikan merasa perih bila bibirnya robek oleh mata kail? Aku pun memilih pergi. Aku pun membiarkan pesawat televisi menyembur-nyemburkan 78.000 keping gambar per menit, persis di depan ranjangku."
Akankah kau membaca suratku?
Aku menulis karena ada cerita-cerita yang tak bisa kubagi. Cerita ketika kususuri lorong-lorong kota dan bayangmu berkelebat, kukejar, kulacak, aku menikung, aku melayang, dan bayangmu sudah tak ada.
Aku menulis karena ada amarah-amarah yang tak bisa pecah. Amarah ketika iklan-iklan menyelingi film di layar kaca, kutekan remote control, kutekan lagi, bayangmu melintas di sebuah channel, telanjur kutekan, kutekan lagi, bayangmu sudah tak ada.
Aku menulis karena ada surat-surat yang tak terterima. Alamat tidak diketahui. Alamat sudah pindah. Alamat kurang lengkap. Si penerima tidak mengenal si pengirim. Surat dikembalikan.
Aku menulis karena kertas-kertas berhamburan. Rim demi rim. Goresan demi goresan. Tinta-tinta mengering. Aku ingin menulis, menulis dan menulis. Bahkan kalau sampai aku harus menorehkan huruf-huruf dengan darahku sendiri.
Aku menulis karena kucium jejakmu di gang-gang becek belakang rumah kita. Hidungku mekar oleh bau lukamu. Dadaku gigil oleh gejolak gundahmu. Akan kucermati setiap persimpangan. Akan kutengok setiap kelokan. Meski malam kian lindap, dan bayangmu tak bersuara. Kurasakan debaran. Dan angin hanya menggumamkan nyanyian:
Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku.

Kucari, tetapi tak kutemui dia.

Aku hendak bangun dan berkeliling di kota;

di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kucari dia, jantung hatiku.

Kucari, tetapi tak kutemui dia.

Aku ditemui peronda-peronda kota.

"Apakah kamu melihat jantung hatiku?"

Baru saja aku meninggalkan mereka, kutemui jantung hatiku;

kupegang dan tak kulepaskan dia,

sampai kubawa dia ke rumah ibuku,

ke kamar orang yang melahirkan aku
.7
Aku menempuruk di ranjang. Tanpa bayangmu. Hanya sosokmu, bau tubuhmu, gerai rambutmu, gemulaimu - berpijar-pijar dalam sel-sel ingatanku. Aku ingin menerjemahkan engkau sebagai Isteri. Aku ingin mewujudkan engkau sebagai Ibu - anak-anak kita: tiga, empat, dua belas? Aku ingin menggubah engkau: Perempuanku. Namun, aku hanya punya 26 huruf, 10 angka plus tanda-tanda baca, simbol-simbol, alamat email dan layar monitor yang terus berpendar-pendar sejak kau menjadikan rumah ini senyap-sunyi.
Aku tak yakin, ketika kupejamkan mata, apakah perasaanku pada malam itu bisa kusebut sebagai keletihan. Aku ingin menulis, menulis dan menulis.
Demikianlah pada mulanya. Aku adalah nafas. Aku adalah tinta. Aku adalah huruf-huruf. Aku mencarimu. Aku, Legowo, ingin merengkuhmu lagi, ingin kau menerimaku kembali.
Akankah kau membaca suratku?
Tiiiittt....
Handphone-ku bergetar. Sebuah SMS. Darimu.
"Srt sdh tb thx."
Kupijat tuts untuk me-reply: "Aku ingin menulis, menulis dan menulis...." ***


Yogyakarta, 4 Februari 2004
  1. Mengomentari Peter Pan, Tamim Ansary dalam kolomnya di MSN.com menyatakan, "Some who read the actual book are surprised to find that it is not so much about the joy of being a kid; it's more about the heartbreak of having to grow up."(Kembali)
  2. Menurut urutan: dewi kesuburan, tokoh The Wizard of Oz, tokoh kisah 1001 malam, tokoh X-Men, tokoh The Lord of the Rings dan tokoh jenaka dalam sastra Melayu. (Kembali)
  3. Seorang kritikus mengomentari film lawas It Happened One Night terasa lebih lamban dari film-film muktahir antara lain karena "there aren't 78,000 edits a minute." (Kembali)
  4. Minuman dari sari delima yang menurut Kompas, 31 Januari 2004, tengah in di berbagai bar dan restoran terkemuka di dunia. (Kembali)
  5. Juru taman yang mahir memangkas pepohonan atau perdu menjadi "patung" binatang, bentuk-bentuk geometris, dsb. (Kembali)
  6. Monster baik hati dalam film animasi Hayao Miyazaki, My Neighbor Totoro. (Kembali)
  7. Kidung Agung 3:1-4. (Kembali)

Comments

  1. kereeennn mas :)
    kata2nya membuat emosi bergolak :)

    ReplyDelete
  2. kutangkap aroma kegundahan di situ
    kegundahan yang tak sepenuhnya telanjang
    tapi memberi celah untuk diintip

    ReplyDelete
  3. Whaa tulisan ini saya baca pelan pelan supaya bisa dipahami artinya. Berat tapi bagus. Moga moga pat kecil nantinya bisa menulis sepintar ini.

    ReplyDelete
  4. Suka banget! Kata-katanya sungguh menggugah.. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion