Our Deepest Purpose: Not To Do, But To Be

Apakah tujuan hidup kita? Apakah cita-cita Anda? Apakah Anda menggantungkan cita-cita setinggi bintang di langit?
Pertanyaan yang lebih penting lagi: Apa yang dicita-citakan Tuhan bagi kita? Kita mendeklarasikan tahun ini sebagai Tahun Kebaikan Tuhan, Tahun Rahmat Tuhan. Menurut saya, dari sini kita dapat memperoleh gambaran sekilas tentang cita-cita Tuhan bagi kita.
Roma 8:28 Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
Kita perlu mengetahui—memahami dengan akal-budi, dengan penuh keyakinan—hal ini. Apakah yang dimaksudkan dengan kebaikan ini?
Dapat beasiswa. Kena kanker. Lulus ujian cum laude. Orangtua bercerai. Dapat kontrak miliaran. Utang lunas. Hamil di luar nikah. Juara lomba dance. Diputus pacar. Bisnis bangkrut. Buku terjual laris. Menetap di Jogja. Liburan ke luar negeri. Motor dicuri. Dll. Dsb. Dst.
Manakah yang baik menurut Anda?
Semua itu bukan kebaikan itu sendiri, melainkan bagian dari segala sesuatu. Misalkan Anda mendapat beasiswa/kena kanker/liburan ke luar negeri—Tuhan turut bekerja dalam peristiwa itu untuk mendatangkan kebaikan bagi Anda. Dengan kata lain, kebaikan adalah sesuatu yang tersembunyi di balik segala sesuatu yang kita alami—jika Tuhan turut bekerja di dalam perkara itu. Dan, kebaikan ini disediakan khusus bagi pengikut Kristus—berbeda dari kebaikan menurut kacamata dunia.
Kalau begitu, apakah kebaikan itu?
Roma 8:29 Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.
Kebaikan = menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya
Itulah tujuan tertinggi kehidupan kita! Itulah yang Tuhan kerjakan dalam segala sesuatu yang kita alami. Tujuan hidup kita bukan untuk semakin kaya, semakin sehat, mencetak sekian banyak pencapaian. Bukan. Melainkan: semakin kudus, semakin serupa dengan gambaran Kristus. Tujuan hidup kita adalah suatu tujuan moral.
Lo, bukankah kalau Tuhan bekerja dalam hidup kita, kita akan diberkati? Rezeki lancar, enteng jodoh, hidup semakin nyaman, dst.
Tunggu dulu—siapa bilang? Kehidupan ini serba tidak terduga. Apa enaknya nonton film yang plotnya gampang ditebak? Kehidupan jauh lebih kompleks dari film! Hal-hal yang buruk—bahkan hal-hal yang jahat dan keji—dapat menimpa orang-orang baik. Sebaliknya, orang-orang jahat justru dapat mengalami hal yang baik. Alkitab menyatakan, Tuhan “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Kita cenderung mengaitkan berkat atau kebaikan Tuhan dengan perbaikan status sosial dan status ekonomi. “Jika kita menaati Tuhan, kehidupan kita pasti lebih sejahtera,” kata sebagian orang—dengan penekanan pada kesejahteraan finansial. Alkitab—dan juga kehidupan sehari-hari—tidak memperlihatkan pola yang sesederhana itu. Ketaatan kepada Tuhan mendatangkan paling tidak tiga kemungkinan bagi kehidupan kita.
Lebih baik/Kesuksesan—Daniel. Melayani 4 raja yang berbeda dari 3 negara! Saat ia dijatuhkan oleh musuh pun, hal itu akhirnya dipakai Tuhan untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
Sama saja—Yusuf. Ada yang mengatakan, emas dari orang Majus itu membuat mereka kaya raya, tetapi teks Alkitab tidak menyiratkan hal itu. Nyatanya, Yusuf tetaplah seorang tukang kayu biasa; Yesus dipandang sebelah mata ketika melayani di kota asal-Nya. “Dia itu siapa? Kok berlagak menceramahi kita. Anak Yusuf tukang kayu itu to?” Kehadiran Yesus di tengah keluarga-Nya tidak mendatangkan perubahan status sosial-ekonomi yang signifikan; mungkin justru merepotkan karena menambah jumlah mulut yang harus diberi makan. (Maria sempat ragu akan pelayanan-Nya; adik-adik-Nya mencela-Nya).
Lebih buruk/Kegagalan—Yeremia. Warren W. Wiersbe mencatat, “Nabi Yeremia melayani di Yehuda selama empat puluh tahun terakhir riwayat bangsa itu, mulai dari 627 sampai kira-kira 582 SM. Meskipun ia dengan setia memberitakan Firman Tuhan, Yeremia menyaksikan bangsa itu merosot sampai Yehuda dibuang ke Babel dan Yerusalem dan Bait Tuhan dihancurkan. Ia mengungkapkan dukacitanya dengan jelas dalam Kitab Ratapan…. Kehidupan Yeremia tidak mudah, dan pelayanannya tidak terlihat sukses.”
Lihat juga kehidupan Yohanes Pembaptis dan para rasul. Perhatikan dan periksalah Ibrani 11—mana tokoh iman yang menjadi lebih baik, sama saja, atau malah lebih buruk keadaan sosial-ekonominya? Jangan lupa pula akan para martir (jumlah martir kristiani sepanjang abad XX-XXI lebih besar dari jumlah martir sepanjang abad I-XIX)!
Nah, kalau kita mengukur kebaikan Tuhan hanya dari kesuksesan—repot! Bukankah orang berdosa pun dapat mengalami perubahan semacam itu? Mereka bisa menjadi lebih baik, tetap sama saja, atau lebih buruk juga! Jadi, bagaimana mau dijadikan ukuran? Selain itu, hamba yang hanya memiliki satu talenta jelas akan kalah bersaing secara kuantitas dengan hamba yang memiliki lima talenta.
Tentu saja, ketika kita mengalami kesuksesan—diberkati secara finansial, hidup sehat, meraih prestasi yang membanggakan—kita patut bersyukur dan merayakannya. Tetapi, mata kita jangan tertuju pada kesuksesan itu sendiri. Kesuksesan bukanlah tujuan, bukanlah akhir perjalanan. Kesuksesan hanyalah suatu sarana.
Dan bukan hanya kesuksesan. Tetapi segala sesuatu yang kita alami. Kegagalan. Suka. Duka. Sehat. Sakit. Kaya. Miskin. Semua itu hanyalah sarana. Sarana untuk apa? Sarana bagi Tuhan untuk mendatangkan kebaikan dalam hidup kita. Sarana bagi Tuhan untuk mengubah kita agar menjadi semakin serupa dengan gambaran Anak-Nya.
Dengan kata lain, dalam segala sesuatu yang kita lewati—kesuksesan; kegagalan; suka; duka; sehat; sakit; kaya; miskin—pertanyaan kita yang terutama adalah: apakah kita menjadi semakin baik, apakah kita menjadi semakin serupa dengan gambaran Kristus?
Kalau begitu, bagaimana kita dapat mengalami dan mengenali kebaikan Tuhan dalam segala sesuatu yang kita alami? Paulus memberikan suatu petunjuk yang patut kita simak.
1 Korintus 7 (BIS)
17 Hendaklah masing-masing mengatur kehidupannya menurut bimbingan Tuhan seperti yang sudah ditentukan oleh Allah baginya pada waktu Allah memanggilnya untuk percaya kepada-Nya. Itulah peraturan yang saya ajarkan di tiap-tiap jemaat.
18 Umpamanya, kalau seseorang sudah disunat pada waktu ia menerima panggilan Allah, maka janganlah orang itu berusaha menghapuskan tanda-tanda sunat itu. Begitu juga kalau seseorang belum disunat pada waktu ia menerima panggilan Allah, janganlah orang itu minta disunat.
19 Sebab mengikuti peraturan sunat atau tidak mengikutinya, kedua-duanya sama-sama tidak berarti apa-apa. Yang penting ialah menuruti perintah-perintah Allah.
20 Hendaklah setiap orang tetap hidup dalam keadaan seperti ketika ia menerima panggilan Allah.
21 Kalau pada waktu Saudara dipanggil, Saudara adalah seorang hamba, tidak usahlah Saudara susah-susah memikirkan hal itu. Tetapi kalau nanti Saudara mendapat kesempatan untuk menjadi bebas, pakailah kesempatan itu. (atau: Tetapi walaupun engkau mendapat kesempatan untuk menjadi bebas, lebih baik engkau berbuat sebaik-baiknya dengan keadaanmu sebagai hamba.)
22 Sebab seorang hamba yang sudah percaya kepada Tuhan, adalah orang Tuhan yang bebas. Dan seorang bebas yang sudah percaya kepada Tuhan, adalah hamba Kristus.
23 Allah sudah membeli Saudara dan sudah lunas membayarnya. Karena itu, janganlah Saudara menyerahkan diri untuk menjadi hamba manusia.
24 Jadi, Saudara-saudara, bagaimanapun keadaanmu pada waktu dipanggil, hendaklah Saudara tetap hidup seperti itu bersama dengan Allah.
24 Brethren, let every man, wherein he is called, therein abide with God. (KJV)
24 My brothers, each one should remain in fellowship with God in the same condition that he was when he was called. (TEV)
Wah, ini Paulus bakal tidak laku sebagai pembicara motivasional! Kalau dalam bahasa sekarang, ia mengatakan, “Jadi, kalian para karyawan, tidak perlu ngoyo untuk berusaha menjadi bos dan pengusaha!” Ia menyebutnya sebagai “peraturan” yang diajarkannya di tiap-tiap jemaat—ia tidak secara khusus mengatakan hal seperti itu dalam pengajarannya tentang pernikahan, pemberian, penginjilan, dll. Dan, ia menegaskannya sampai tiga kali!
Apa maksudnya? Fokus kehidupan kristiani bukanlah pada perubahan kondisi lahiriah. Bukan pada perbaikan status sosial dan status ekonomi. Bahkan seorang budak, kelas sosial yang paling rendah pada saat itu, pun tidak perlu repot-repot mengejar perubahan status sosialnya. Ini bukan berarti Paulus menyetujui perbudakan. Paulus hanya ingin menunjukkan suatu perkara yang paling hakiki, yang merupakan jantung dari kehidupan kristiani.
Apakah itu? Hidup “bersama dengan Allah”—dalam keadaan apa pun, dalam segala sesuatu. Paulus menggarisbawahi, Tuhan mengundang kita untuk hidup dalam persekutuan dengan Dia. Untuk tinggal di dalam Dia. Tuhan mengundang kita untuk meninggalkan kehidupan lama yang egois, kehidupan yang menentingkan diri sendiri, dan masuk ke dalam suatu kehidupan bersama dengan Dia. Dan, dalam persekutuan itulah Dia turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, untuk mengubah kita menjadi semakin serupa dengan gambaran Anak-Nya.
Dalam 2 Korintus 4:18 Paulus mengatakan, “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.”
Kesuksesan; kegagalan; suka; duka; sehat; sakit; kaya; miskin—adalah hal-hal yang kelihatan, yang sementara, yang berubah-ubah. Tuhan mengundang kita menempuh jalan yang lebih dalam, memperhatikan yang tidak kelihatan, berpegang pada apa yang kekal. Standar pencapaian kita bukan lagi kesuksesan orang lain atau standar dunia ini (yang kelihatan), melainkan karakter Anak Allah (yang tak kelihatan).
Tuhan tentu memperhatikan apa yang kita lakukan (doing), tetapi Dia lebih memedulikan siapakah kita (being). Apa yang berlangsung dalam hati kita ketika kita sukses—apakah kita diam-diam menganggap kesuksesan itu buah disiplin pribadi kita semata? Apakah kita mulai merasa diri kita lebih baik dari orang lain? Bagaimana pula saat kita gagal—apakah kita diam-diam geram, dan merasa Tuhan tidak adil terhadap kita?
Tuhan mengedepankan kualitas hidup daripada kuantitas hidup. Menjadi orang baik, menjadi orang kudus, itu lebih penting daripada menjadi orang sukses. Anak Allah yang lemah lembut dan rendah hati; Anak Allah yang mengampuni dan bersyafaat bagi musuh-Nya saat disalibkan—itulah standar tertinggi pencapaian kita!
Salomo mengatakan, “Orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota” (Amsal 16:32). Menguasai diri mengacu pada buah Roh, mewakili proses perubahan kita menjadi semakin serupa dengan gambaran Kristus. Adapun merebut kota mewakili kesuksesan dan pencapaian kita. Salomo menyatakan, diri itu lebih kuat, lebih penting, lebih sulit ditaklukkan daripada kota. Kita mungkin dapat menaklukkan kota terbesar, mendaki gunung tertinggi, mencetak pencapaian terhebat, tetapi kehilangan jiwa kita. Adapun masalah penguasaan diri, perubahan karakter menjadi semakin serupa dengan gambaran Kristus, itu suatu proses seumur hidup yang Tuhan kerjakan oleh anugerah-Nya, dalam kehidupan kita bersama dengan Dia, melalui segala sesuatu yang kita alami. Selama kita masih bernapas, kita tidak akan pernah bisa berkata: Aku sudah lulus!
Tuhan memberikan suatu contoh menarik melalui kehidupan Yunus. Kita mengenalnya sebagai nabi yang membangkang—diutus ke Niniwe, malah ngelayap ke Tarsis. Bukankah sangat mudah sebenarnya bagi Tuhan untuk mencari orang lain menggantikan tugas Yunus? (“Nus, Nus—kamu itu berlagak banget sih! Mau memberontak? Melawan? Gua tuh sebenarnya enggak butuh-butuh amat sama elu. Gua gampang kok cari orang lain. So, get out!”).
Tetapi, kenapa Tuhan mesti repot-repot mengejar si pembangkang ini dengan badai yang besar dan ikan yang besar? Jawabannya ada di pasal terakhir kitab ini. Perhatikan, kitab Yunus tidak berakhir di pasal 3—kesuksesan penginjilan di Niniwe. Jika fokus Tuhan pada kesuksesan misi-Nya—menyelamatkan kota Niniwe—kisah Yunus akan berakhir di situ. Happy ending. Tetapi, mengapa masih ada tambahan satu pasal?
Tuhan tidak hanya tertarik pada misi yang dijalankan Yunus; Dia lebih tertarik lagi pada diri Yunus. Tuhan bukan hanya memperhatikan pekerjaan kita, tetapi Dia terutama memedulikan kita, si pekerja.
Pertanyaan: Apakah penginjilan Yunus sukses—seluruh kota Niniwe bertobat—karena ketaatan Yunus? Jika kisah berhenti di pasal 3, tampaknya begitu. Tetapi, pasal 4 memaparkan perspektif yang tidak terduga.
Jika Yunus taat, tentulah ia akan bersyukur, bersukacita, dan merayakan keselamatan Niniwe. Nyatanya? Ia marah-marah! Ia menganggap Tuhan terlalu sabar! Bayangkan: terlalu sabar! (Pernahkah Anda marah-marah karena Tuhan terlalu sabar?) Yunus tidak mengasihi orang Niniwe; ia lebih ingin melihat Niniwe dihancurkan. Ia tidak berbeda dengan kakak anak yang terhilang itu, yang bersikeras tidak mau ikut berpesta dan memilih untuk melampiaskan kepahitannya (Lukas 15:25-32). Ya, Yunus memang melakukan kehendak Tuhan—tetapi tidak “dengan sepenuh hati” (Efesus 6:6). Ia taat hanya karena takut pada apa yang mungkin akan Tuhan lakukan kepadanya. Pelayanannya bukan digerakkan oleh kasih. Warren W. Wiersbe menulis, “Ketika kita marah pada Tuhan, segala sesuatu dalam hidup ini berlangsung tidak semestinya, dan kita mengatakan dan melakukan perkara yang egois. Benda menjadi lebih penting dari orang, dan kenyamanan lebih penting dari pelayanan.”
Syukurlah, Tuhan itu memang terlalu sabar! Dalam kisah Yunus kita melihat contoh indah tentang bagaimana Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu—pemberontakan, pertobatan karena ketakutan, pelayanan setengah hati, dan kemarahan yang egois—untuk mendatangkan kebaikan dalam hidup hamba-Nya. Dengan lemah-lembut Dia mengundang Yunus—dan kita—untuk datang kepada-Nya. “Anak-Ku, engkau memang tidak memiliki kesabaran itu. Engkau tidak memiliki kasih itu. Tetapi, datanglah kepada-Ku. Hiduplah bersama dengan Aku. Tinggallah di dalam Aku, di dalam kasih-Ku. Maka, engkau akan berubah menjadi semakin serupa dengan gambaran Anak-Ku, Yesus Kristus.”
Don Moen bernyanyi menyuarakan kerinduan Tuhan, “In all that you do, remember all I want is you.” We are not called to do great things for God; we are called to do anything with God. Kalau hanya great things, seberapa sering kita do great things? Tak ayal banyak waktu dan upaya kita yang terbuang dengan melakukan perkara-perkara kecil. Syukurlah: Anything—dari mencuci helm, merawat orang sakit, sampai menjadi presiden Indonesia! Yang penting bukan apa yang kita lakukan, tetapi dengan siapa kita melakukannya. Jadi, renungkan—Anda diundang untuk melakukan segala sesuatu bersama dengan Tuhan! Yakin Anda menginginkannya?
Di dalam segala sesuatu—berarti juga: Tuhan bukan baru terbukti pertolongan-Nya ketika kondisi kehidupan kita lancar; Dia sudah ada bersama-sama dengan kita di tengah kemacetan! (cf. Tiga pemuda Ibrani di dapur perapian. Lagu “God of Our Yesterdays”).
Dari sudut pandang dunia, yang kita lakukan mungkin hanya perkara kecil. Tetapi, dari sudut pandang surga, jika kita melakukannya bersama dengan Tuhan, it will be great!
Dan, kebaikan Tuhan semakin nyata di tengah-tengah kita ketika kita masing-masing menjadi semakin serupa dengan Kristus. Ketika kita masing-masing semakin penuh dengan “buah Roh… kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Galatia 5:22-23)—dalam keadaan apa pun, dalam segala sesuatu. ***

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion