Rumahku, Istanaku---Masihkah?


Rumah adalah keutuhan
di mana bunga bermekaran
di mana burung berkicauan
matahari gemilang berkilauan

Rumah adalah
ketika manusia saling menyapa
ketika Tuhan mengulurkan kasih-Nya


Apakah rumah masih menjadi tempat yang paling kita rindukan, tempat ke mana kita pulang? Apakah rumah merupakan tempat yang paling nyaman bagi kita, tempat kita menjadi diri sendiri, tempat yang aman dan menenteramkan? Apakah rumah merupakan ruang untuk berdoa dan bersekutu dengan Tuhan serta bercengkerama dengan keluarga? Apakah rumah menjadi tempat favorit untuk mengundang teman-teman dekat agar dapat bersekutu dengan mereka?

Rumah seharusnya menjadi pusat dari segala sesuatu yang kita lakukan. Rumah sekaligus tempat kita mendapatkan kembali kekuatan, tempat kita makan dan tidur, tempat berlindung dari kegalauan di dunia. Rumah juga tempat kita menemukan orang-orang yang paling kita kasihi, hal-hal yang paling kita sukai.

Namun, apakah rumah, saat ini, masih menjadi istana bagi kita? Betulkah there is no place like home?

Teman saya di Jogja, sepasang suami-istri beranak tunggal, sama-sama bekerja di tempat berbeda. Pagi berangkat, petang sampai di rumah. Dalam kondisi letih. Karena keletihan itu, mereka bersepakat: istri istirahat dulu, suami mengurus anak. Malamnya mereka berganti tugas. Dengan pola semacam itu otomatis waktu bersama sebagai keluarga sangat terbatas.

Orang Jakarta lebih repot lagi. Pagi-pagi buta sudah harus meninggalkan rumah, larut malam baru bisa kembali. Sebenarnya sore mereka sudah selesai kerja. Namun, ketimbang terjebak macet di jalan, dan akhirnya sampai di rumah sudah malam, maka mereka memilih menunggu di kota. Jalan-jalan di mal, ke spa, nongkrong di kafe, atau aktivitas apa saja sembari menunggu redanya kemacetan. Tiba di rumah tinggal istirahat. Rumah pun lebih sering sekadar menjadi tempat tidur.

Anak-anak yang jarang menemukan orangtuanya berada di rumah, pulang sekolah juga memilih jalan-jalan dengan teman. Main di luar rumah. Makan di luar rumah. Asyik di luar rumah.

Di sebuah gereja, semula rapat majelis biasa diadakan bergantian di rumah anggota majelis. Belakang, mereka lebih sering memilih rapat di luar: di kafe, di restoran. Alasannya, kurang leluasa rapat di rumah. Alasan lainnya, kasihan merepotkan tuan rumah.

Rumah, pelan-pelan, bukan lagi menjadi tempat kediaman. Ia beralih menjadi sekadar tempat persinggahan di antara berbagai aktivitas dan kesibukan kita. Seorang teman saya bahkan terpaksa menjadikan mobilnya sebagai rumah kedua bagi keluarganya---saking banyaknya acara yang mesti dilakoni.

Mengabaikan rumah membuat kita berputar dalam berbagai kegiatan seperti mesin yang tak henti beroperasi. Kita sangat produktif, namun juga cepat panas, dan lama-kelamaan terancam rontok suku cadangnya. Kita perlu secara teratur menyediakan waktu dan tempat untuk “mendinginkan mesin”: memulihkan kekuatan, mengevaluasi perjalanan, berefleksi, serta menyusun strategi untuk melangkah lagi. Setiap hari, bukan hanya dengan berlibur satu semester sekali. Dan, tempat pemulihan itu bernama: Rumah. ***

Comments

  1. Semua hal tentang rumah selalu membangkitkan rindu, Mas ...
    Jadi pengen mudiiikkk ... ^^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion