Kartini Masih Mengelus Dada
Pertama kali membaca surat-surat Kartini, melalui terjemahan Sulastin Sutrisno Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya (1979), saya masih SMP. Takjub saya. Bukan saja untaian bahasanya amat elok, butir-butir gagasan yang diungkapkan putri Jepara ini begitu bernas dan cemerlang. Dan, ia baru belasan tahun saat menulisnya! Apa rahasianya? Lingkungan dan pendidikan semacam apa yang mengasahnya? Mengingat ia lahir pada masa kolonial, mengapa justru ketika republik ini sudah merdeka, tidak muncul remaja-remaja yang semumpuni itu, menawarkan pemikiran yang matang dan berdaya gugah? Pertanyaan-pertanyaan itu membuntuti saya bila mengenang Kartini. Ah, mungkin setiap zaman melahirkan kaum geniusnya masing-masing. Hampir tiga puluh tahun kemudian, saya bisa menilik sosok Kartini secara lebih dekat---dan menangkap kilasan jawaban atas pertanyaan tadi. Kali ini bukan melalui buku, melainkan film. ”Raden Ajeng Kartini” judulnya, garapan Sjuman Djaya tahun 1983, diedarkan dala...