Kekerasan, Kekecewaan, dan Kabut
Wajah Indonesia dalam Tiga Film
Indonesia seperti apa yang tersua dalam ketiganya?
Kekerasan yang Mentah
Kita sudah menyumbangkan kosa kata amuk ke kancah dunia, dan kini menyodorkan The Raid. Sejak premier di Festival Film Internasional Toronto 2011, film ini memantik perbincangan seru, terutama menyoroti taraf kekerasannya yang belum ada presedennya dalam perfilman Indonesia—mungkin juga dunia. Andrew O'Hehir, kritikus film Salon, tak segan menyebutnya an instant action classic. Ketika dirilis serentak di Indonesia, AS, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, penonton antusias. Dalam empat minggu, The Raid sudah meraup tak kurang dari 1.558.000 di Indonesia, mungkin bakal menjadi film terlaris tahun ini.
The Raid mengonggokkan kekerasan secara mentah, kasar, dan vulgar, sejak aksi tembak-menembak, adu golok, sampai pertarungan silat. Variasi sudut pengambilan gambar bukan terutama untuk menonjolkan keindahan koreografi laga, tapi malah untuk menyoroti kebutralannya. Ini luapan aksi yang berlawanan dengan kecenderungan menutup-nutupi berbagai kasus kekerasan di negeri ini. Dalam era Orde Baru, banyak kasus yang terkubur di balik senyum sang jenderal. Di era ini, berbagai kekerasan—fisik, mental, ekonomi, moralistis—juga terselubung senandung keprihatinan kepala negeri.
Menghadirkan preman bertampang dan berlogat Papua, meskipun setting-nya dikesankan antah berantah, The Raid mengingatkan: "Ini Indonesia, bung!" Pertanyaannya: Indonesia macam apa yang melahirkan preman macam begitu? Indonesia yang mengorbankan satu peleton prajurit baru untuk sebuah misi bunuh diri tak genah hanya demi kongkalikong antara aparat dan penjahat.
Tidak Menuding
Mata Tertutup diniatkan sebagai propaganda antikekerasan dan antifundamentalisme beragama, dan sengaja menyisipkan pesan sponsor di kredit akhir, namun sukses bercerita dengan asyik. Film ini mendedah jeroan psikologis para tokoh tanpa menjatuhkan tudingan hitam-putih. Mereka tak lain adalah tetangga sebelah kita, orang-orang dengan pergumulan yang tak kita pahami, yang lantas mengambil keputusan-keputusan yang juga tak kita pahami.
Rima mewakili kaum muda yang galau mencari-cari identitas, gerah dan kecewa oleh ketidakadilan yang berseliweran di sekitarnya, lalu silau oleh propaganda gerakan NII yang menawarkan perlawanan dan perbaikan atas kondisi pemerintah NKRI yang abai terhadap rakyat. Jabir pemuda yang terpaksa keluar dari pesantren karena kekurangan biaya, lontang-lantung bingung akan masa depannya, dan direkrut oleh sebuah kelompok jihad. Di tempat lain, Asimah, seorang ibu, kelimpungan mencari anak gadisnya, Aini, yang menurut kabar menjadi korban penculikan NII.
Penonton mendapatkan gambaran tentang proses indoktrinasi NII, tapi lebih dari itu, kita diajak masuk ke ruang personal dan keluarga masing-masing tokoh. Ada kesenjangan antargenerasi dan kegagapan berkomunikasi dalam keluarga Rima. Jabir hanya bisa membisu menyaksikan kesulitan ekonomi membelit keluarganya. Adapun Asimah ternyata juga ditinggal oleh suaminya, yang minggat tanpa alasan.
Di tengah drama kusut ini, di mana peran negara? Ia, diwakili sesosok dosen, hanya bisa menghibur Asimah untuk bersabar. Adalah tangan pemerintah pula yang menggagalkan aksi bom bunuh diri Jabir. Dalam segmen Rima, negara hadir dalam alunan lagu Tanah Airku yang menggugah kembali nasionalismenya. Sebagai adegan, bagian ini cukup menyentuh; tetapi, dapatkah nasionalisme yang sayup-sayup ini menjawab isu ketidakadilan yang terpapar?
Meskipun tak laku di bioskop, baru ditengok 3.000-an penonton, film ini akan diedarkan ke sekolah-sekolah dan pusat-pusat kebudayaan.
Berjuang Sendiri
Negeri itu bernama Genikan, desa di Ngablak, Magelang, Jawa Tengah, yang kerap dirundung kabut dan hujan. Penduduknya bercocok tanam sayur-mayur mengikuti hitungan kalender Jawa. Seakan tersisolasi dari dunia lain, mereka berjuang sendiri mengatasi kesulitan hidup.
Diwakili pasangan muda Sudardi dan Muryati, mereka gagap menghadapi musim yang berubah. Hujan yang tercurah lebih lama dari biasanya membuat panenan membusuk sehingga harga jualnya merosot. Lalu ada Arifin, murid terpandai kelas 6 SD, yang riang berhasil lulus UASBN. Masalahnya, mungkin ia tidak bisa melanjutkan sekolah karena kesulitan biaya. Untuk bandingan, lima keranjang wortel segar, setelah transaksi yang alot, terjual 340 ribu rupiah. Jumlah itu belum mencukupi untuk membayar biaya pendaftaran masuk SMP.
Pemenang Special Jury Prize dalam Dubai International Film Festival 2011 ini mencemplungkan kita langsung ke tengah kehidupan para tokoh. Kita diajak duduk di dekat tungku dapur, berladang, berjejalan di pasar pagi, ikut terguyur hujan dan tersungkup kabut, mengikuti ritme hidup petani yang mengalir tenang dan natural. Film mengaduk emosi kita dengan gambar-gambar yang puitis dan realitas yang menyakitkan.
Di tengah belitan problem, bagaimanapun mereka masih meneruskan keseharian dengan rileks, tidak mengiba-iba. Pak Gupak, yang lauk tempenya sering dicomoti Arifin, ternyata susah makan karena kangen pada hari-hari pertama anaknya itu di pesantren. Mbak Mur mengajari anaknya berhitung dengan menunjuki mobil yang lewat di bawah ladang. Karena terpaksa menyirami ladang pada malam hari, Mas Sudar membuat sendiri lampu kepala dari batere bekas telepon genggam. Dan keluarga Pak Gupak saling meledek di sekitar tungku: "Aku dulu nggak sekolah, tapi tahu cara menghabiskan uang."
Saat ini baru beredar secara gerilya, Negeri di Bawah Kabut patut mendapatkan kesempatan untuk dipertontonkan kepada khalayak yang lebih luas. Ini, menurut saya, film terbaik Indonesia sejak Opera Jawa (Garin Nugroho).
Negara sebagai Hantu
Ketiga film itu menyiratkan isu yang sama: ketidakhadiran negara. Dalam The Raid, pasukan itu nyatanya bergerak bukan dalam rangka tugas negara, dan tanpa pasukan pendukung, tapi demi kepentingan oknum tertentu. Negara sekadar jadi hantu yang melatari pergumulan para tokoh Mata Tertutup, dan malah hadir riil melalui kondisi internal NII: menelantarkan ibu hamil dan anak sakit. Negeri di Bawah Kabut hanya disambangi pemerintah secara sambil lalu: numpang lewat melalui Pemilu, UASBN dan biaya pendidikan yang mencekik, dan pestisida yang tidak jelas manfaatnya.
Rezim penguasa tampak sebagai raksasa yang tinggal di balik awan dalam sebuah dongeng yang bukan dari Indonesia. Tidak jelas apakah ada sulur kacang polong ajaib yang sudah menembus ke sana.
"Kita menemukan kebaruan sejatinya bukan dengan melihat pemandangan-pemandangan yang baru, melainkan dengan memiliki mata yang baru," kata Marcel Proust. Ketiga film itu, dalam kadarnya masing-masing, berhasil menawarkan mata baru untuk menatap Indonesia. Kita tunggu serbuan film lain yang berdaya mencelikkan ketertutupan, agar kita tidak terus hidup di bawah kabut. ***
mantap!!! ^^
ReplyDelete