'Di Timur Matahari' Bukan Hiburan Anak-Anak
—Maaf, Ada Spoiler—
Beberapa tahun belakangan, Alenia Pictures menancapkan ciri khas tersendiri di tengah perfilman Indonesia. Mereka menyajikan film-film yang: (1) mengangkat dunia anak-anak, (2) menampilkan latar tempat yang eksotis, namun sayangnya: (3) jelujuran ceritanya cenderung agak kedodoran. Bagaimana dengan Di Timur Matahari, yang kembali ditangani Ari Sihasale, ini? Dua ciri pertama tetap hadir secara memikat. Ciri ketiga, sungguh menyenangkan, kali ini tereliminasi. Cerita meliuk pelan dan mulus sampai... ya, sampai kita disodori sebuah ending yang perlu dibubuhi catatan tebal.
Tapi, nanti saja pembahasannya. Saya ingin menebarkan pujian lebih dulu.
Seperti film pertamanya, Denias: Senandung di Atas Awan, Alenia kembali memaparkan kemolekan alam Papua. Sejak membaca Romo Rahadi pada waktu SMP dan bersua dengan kota kecil bernama unik, Enarotali, saya bermimpi untuk suatu saat menyambangi pulau ini (mimpi yang sampai saat ini belum terwujud). Maka, memandang keelokan Lembah Tiom, Lanny Jaya, makin meneguhkan bahwa Papua adalah "surga kecil yang jatuh ke bumi." Soal apa yang berlangsung di surga Papua, itu dibahas belakangan.
Selain pemandangan surgawi, Papua juga memendam mutiara aktor bocah. Seperti dalam Denias, film ini memunculkan bakat lokal yang brilian. Bocah-bocah itu melenggang di depan kamera dengan begitu rileks, polos, dan menawan. Bintang-bintang impor dari Jakarta—terutama Laura Basuki yang tampil keren—pun jadi santai berbaur dengan mereka. Kepolosan merekalah yang begitu menyihir sepanjang separuh lebih durasi film—sampai mendadak saya tersadar bahwa Di Timur Matahari sesungguhnya bukan film anak-anak.
Saya salut dengan isu yang diangkat Ale, sebuah isu penting dan semakin relevan di tengah situasi Papua saat ini. Ia mencoba memaparkan persoalan pelik yang menimpa penduduk di kawasan jelita tersebut. Kesenjangan pendidikan, kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan antara Papua dan Jakarta (Jawa), berkelindan dengan adat setempat yang tak gampang diretas. Namun, mengemasnya sebagai hiburan anak-anak, menurut saya, bukan pendekatan yang tepat.
Menghadirkan anak-anak sebagai protagonis untuk memaparkan isu semacam itu tentu sah-sah saja. Anak-anak adalah bagian (baca: korban) yang tak terelakkan dari kesenjangan tersebut. Namun, kehadiran protagonis anak-anak tidak dengan sendirinya menjadikan sebuah film sebagai tontonan anak-anak.
Turtles Can Fly, misalnya, juga berprotagonis anak-anak. Seluruh jalinan kisahnya pun secara konsisten disorot dari sudut pandang anak-anak—tentang nasib mereka sebagai pengungsi dalam situasi perang di Irak. Pada klimaksnya, kita terkesima menyadari betapa keji neraka peperangan mencabik-cabik kepolosan anak-anak itu. Namun, apakah ini film anak-anak? Sebagai orangtua, saya tidak tega mempertontonkannya pada anak yang belum akil balig.
Persoalan serupa menggelayuti Di Timur Matahari. Ketika film baru mempersoalkan kesenjangan pendidikan, dan memperlihatkan betapa anak-anak berusaha mengisi waktu secara kreatif ketika selama enam bulan guru pengganti belum juga datang, kisah masih bergerak dalam tataran yang mudah dicerna oleh anak-anak. Namun, begitu menyinggung sekilas soal KDRT, transaksi busuk HP rusak dan uang palsu, dan kemudian mendedah isu perang suku, film bergeser ke ranah yang lebih serius—yang terlalu abstrak untuk anak-anak. Memang kita perlu melatih anak untuk berhadapan dengan realitas kehidupan; namun itu bukan berarti membebani mereka dengan perkara yang terlalu berat untuk mereka tanggung. Itu akan tidak banyak bedanya dengan meminta mereka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa.
Pengemasannya sendiri kurang bersahabat dengan anak-anak; Ale tidak secara konsisten mempertahankan sudut pandang anak-anak. Perhatikan adegan seusai Mazmur tertabrak motor Ucok. Kamera sibuk merekam kepanikan Mama Elsye menelepon Mikael di Jakarta, lalu beralih pada pria-pria suku setempat yang menuntut penyelesaian secara adat. Penonton dewasa bisa tersenyum getir menyaksikannya, tapi cerita apa yang hendak disampaikan pada anak-anak?
Atau, percakapan sengit antara Mikael dan Alex, yang menyusupkan kritik menyengat tentang "mama Jawa" dan "beras Jawa". Mikael membela kebaikan mama Jawa, sebaliknya Alex dengan sengit mengecamnya "cuma tipu-tipu". Lagi-lagi, bagaimana anak-anak diharapkan "terhibur" dengan dialog semacam ini? (Dua anak saya—11 dan 9,5 tahun, serta gemar nonton film—sama-sama mengaku tidak bisa menangkap cerita film ini.)
Bagi orang dewasa, lain lagi ceritanya. Awalnya saya sendiri masih bisa tertawa, tapi makin lama makin tercekat. Selama ini saya mendengar sepenggal-sepenggal cerita dari teman, membaca di media atau novel, dan sekilas menonton berita televisi tentang Papua. Namun, ketika informasi yang saya ketahui tersebut dikonfirmasi oleh adegan-adegan yang tertuang di layar lebar, entah kenapa rasanya jadi tidak jenaka lagi. Berbalik jadi getir. Bahwa ada saudara sebangsa setanah air yang masih hidup dengan adat, kondisi sosial-ekonomi, dan pola pikir yang seperti itu. Adegan beberapa pria meminta pekerjaan itu, misalnya, alih-alih terasa lucu, malah jadi tonjokan yang ngilu. Sebegitu parahkah situasi di sana?
Nah, itu bukan isu yang perlu dibebankan pada anak-anak. Itu isu yang lebih cocok untuk dikunyah-dimamah oleh kerabat istana dan jajaran petingginya serta para penghuni Gedung Bundar Senayan sana. Bahwa pemerintah adalah guru yang tak kunjung muncul. Bahwa pemerintah adalah pedagang yang menjual lima jerigen minyak goreng dan dua karung beras seharga 3,8 juta rupiah. Bahwa pemerintah adalah 'ibu dokter jahat' yang tidak mampu (atau tidak mau?) mengobati luka akibat perang suku (baca: konflik horisontal). Dan, bahwa Jakarta adalah Mama Vina yang menikah dengan pria Papua, tapi tidak tahan berlama-lama di pedalaman Papua, dan yang baru benar-benar terhibur ketika BB-nya bisa menyala. Duh!
Persoalannya memuncak pada akhir cerita. Karena telanjur dikemas sebagai hiburan anak-anak, maka tokoh anak-anak itu pun "dipaksa" untuk menjadi solusi bagi persoalan pelik tersebut. Bayangkan saja: Setelah ayah mereka berturut-turut mati dalam perang suku, tiga tokoh bocah kita menyeruak ke tengah kancah peperangan, menyanyi pedih (eh, lagu yang menjadi pesan kunci ini kok malah tidak diberi subtitle?), dan para warga suku yang sudah siap mengangkat senjata pelan-pelan luruh dan menghentikan aksinya, lalu bergandengan, dan akhirnya berangkulan menari bahagia berputar-putar. Menyaksikan adegan itu, bukannya turut bahagia, saya ternganga sulit percaya: Ari Sihasale menyelesaikan isu orang dewasa dengan cara yang kekanak-kanakan. Alih-alih merasa tertohok oleh kepolosan anak-anak itu, saya merasa makin getir: ini seakan menyuapkan sirop gula pada penderita asma akut dan berharap secara ajaib ia sembuh. Ah, saya jadi teringat pada My Name Is Khan....
Begitulah. Kalau realitasnya memang perih, kenapa mesti dipaksakan untuk menjadi manis? ***
nyari2 dmn tombol follow-nya
ReplyDelete