Dinamika dalam Diam: Tiga Film Pendek Yosep Anggi Noen


Yosep Anggi Noen
Ada keuntungan tersendiri menonton sekaligus tiga film pendek dari seorang sutradara. Itulah yang kualami saat nonton film-film Yosep Anggi Noen yang mengisi salah satu program 10th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2015. Siang itu, Rabu (3/12), di Taman Budaya, Yogyakarta, diputar "Genre Sub Genre" (2014), "Kisah Cinta yang Asu" (2015), dan "Rumah" (2015). Dengan menontonnya berturut-turut sekali duduk, segera mengemuka "tanda tangan" sang sutradara: kamera yang diam, alias hemat gerak. Kamera statis, yang menawarkan hanya satu sudut pengambilan gambar atas adegan.

"Genre Sub Genre" terdiri atas empat segmen pendek. Pertama, kita mengikuti seorang sopir mengendarai mobilnya. Kita ikut melongok dari bahunya jalan berliku yang dilewati pada malam gelap. Sampai mobil tiba-tiba terhenti. Ternyata ada pohon tumbang. Ada penduduk membawa parang, memapras pohon itu, sampai mobil bisa lewat lagi. Kedua, pemandangan sebentang tanah lapang, dengan pohon persis di tengahnya. Sejumlah bocah asyik bermain. Lalu, ada kereta lewat. Anak-anak itu seakan tak peduli karena, sesudah kereta berlalu, mereka masih asyik bermain, seakan tak terganggu. Ketiga, pemandangan hutan di tepi danau. Diam. Tak terdeteksi gerak apa pun. Penonton seperti diajak memelototi wallpaper laptop selama beberapa menit. Keempat, pemandangan sebuah danau, sebuah kapal seperti kapal kertas raksasa melintas dari ujung kiri sampai ke tengah danau, lalu balik lagi ke kiri. Bagian ini entah kenapa mengingatkanku pada puisi Sapardi Djoko Damono, "Perahu Kertas".

"Kisah Cinta yang Asu" menampilkan seorang perempuan dengan tiga peran. Pertama, ia seorang pacar. Kedua, ia pelacur. Ketiga, ia penulis skor di tempat bola sodok. Pacarnya tahu belaka ia pelacur, dan ia leluasa membicarakan pernik-pernik pelacuran dengan rekan-rekan seprofesi. Namun, tampaknya ia hendak memasang sekat di antara ketiga perannya. Di rumah biliar, ia bukan pelacur. Maka, saat ada laki-laki mencemol bokongnya, ia mendesis, "Mbok tanganmu kuwi disekolahke!" (Semua dialog berlangsung dalam bahasa Jawa). Sebagai pelacur, ia mengenakan berbagai kostum menuruti permintaan pelanggan: siswi SMA, pramugari, Tarzan. Pacarnya berkomentar, untuk apa berkostum aneh-aneh, toh tidak sepadan dengan bayarannya, toh yang dia jual adalah tubuhnya. "Dadi lonte kuwi mbok biasa wae," kata lelaki itu. Ia mendelik bengis. Dunia pelacuran tampaknya menjadi ruang ekspresi dan eksplorasi keperempuanan baginya. Dan, sang pacar boleh tahu profesinya, tetapi tidak berarti berhak mencampuri jeroan profesinya itu. Di luar itu, film ini menegaskan kembali: artis-artis Jogja itu seperti tetangga sebelah (kalau artis Jakarta, mirip seleb).

"Rumah", berlatar Okinawa, memotret seorang perempuan yang bekerja menerima telepon di pusat informasi setempat. Ia tampak jelas bosan dengan pekerjaan yang tak jelas manfaatnya dan ketinggalan zaman itu (siapa yang masih menelepon untuk mencari informasi selain orang-orang sepuh?). Sampai suatu ketika ia mengadakan perjalanan, untuk pulang, untuk bertemu dengan ayahnya.


Sutradara yang anu
Tiga film dengan sajian cerita (kalau boleh dibilang begitu) yang amat berbeda, nyatanya digerakkan oleh napas yang sama: kamera yang diam, seperti mata orang yang tengah bermeditasi, merekam segala yang bergerak di depannya, tanpa reaksi.

"Genre Sub Genre" menjadi pengantar yang pas untuk gaya ini. Di bagian pertama, kamera terkesan bergerak, namun sebenarnya sekadar mengikuti liuk gerakan mobil. Di tiga bagian lainnya, kamera diam menyajikan adegan (kalau ada; di bagian ketiga, tidak ada adegan apa pun) yang berlangsung dalam bingkai. Aku jadi membandingkannya dengan situasi awal ketika orang mulai berkenalan dengan gambar bergerak. Konon, saat itu orang sampai berhamburan ke luar dari bioskop ketika menyaksikan adegan sepur memasuki stasiun. Karena mengira sepur bakal menabrak mereka. Gambar bergerak memberikan sensasi heboh. Kini, seratus tahun lebih kemudian, perfilman berkembang sedemikian pesat, gambar-gambar bergerak begitu gesit dan lincah. Nah, Anggi seakan melakukan rekonstruksi terbalik. Ia mengajak penonton masa kini--yang tentu sudah terbiasa dengan berbagai kecanggihan sudut pengambilan gambar--kembali pada kebersahajaan: berdiam diri, nyaris bermeditasi, menyimak, mungkin merenungkan, pemandangan dan adegan yang juga cenderung minimalis. Dan, dalam diam itu, adegan yang minimalis jadi terasa begitu dinamis, sarat dengan berbagai potensi pemaknaan. Kamera yang bergeming tidak mengeksploitasi emosi, sekadar memaparkannya, membiarkan penonton mencernanya sendiri.

"Kisah Cinta yang Asu" dan "Rumah" juga dirangkai dengan pola pengambilan gambar seperti itu. Bahkan untuk adegan motor kebut-kebutan di jalan, dalam "Kisah Cinta yang Asu", kamera bergeming, seakan membiarkan kalau-kalau motor-motor itu hendak menabraknya. Dan, sebaliknya, ketika kamera bergerak, jadi seperti guncangan mengagetkan. Dalam "Kisah Cinta yang Asu", kamera mengikuti si tokoh perempuan membawa gelas minuman ke ambang pintu. Dalam "Rumah", kamera mengikuti si perempuan naik undak-undakan di sebuah taman. Adegan amat memikat, dalam "Kisah Cinta yang Asu", saat si perempuan berada dalam lift. Liftnya berupa tabung kaca sehingga di latar belakang terpampang pemandangan kota (setahuku, di Yogyakarta hanya satu hotel yang punya lift seperti itu). Dengan kamera yang diam terpaku, memandangi si perempuan yang meneleng ke samping, adegan itu terasa magis.

Tentang cerita, tadi kuberi catatan "kalau boleh dibilang begitu". Ketiga film pendek ini sejatinya tidak mengusung cerita yang utuh, paling hanya sketsa. Yang menonjol lebih kuat adalah kesan dan atmosfir emosional yang ditawarkan. "Rumah", misalnya, menghanyutkan kita dalam rasa kebosanan, kesendirian, keisengan, kerinduan, campur-aduk dalam lanskap kota yang terpotret sunyi.

Yang jelas, menonton tiga film itu jadi membuatku penasaran menonton film-film lain Anggi. Sayang, tampaknya sulit diakses di luar acara festival semacam ini.

Oya, sebelum pemutaran, aku menyempatkan melihat daftar acara JAFF kali ini. Sabtu (5/12) ada pemutaran "Tokyo Story" dalam program "Filmmaker Choices of Japanese Films" alias film-film Jepang pilihan para sutradara yang tergabung dalam kepanitian JAFF. Itu film klasik Yasujiro Ozu, sutradara yang terkenal piawai merekam adegan dengan kamera bergeming. Film-film Anggi sedikit banyak mengingatkanku pada film Ozu.

Yogyakarta, 3.12.2015

Revisi: Ups. Ternyata aku salah membaca cerita "Kisah Cinta yang Asu". Kukira hanya melibatkan dua orang, ternyata berupa kisah cinta segitiga, seperti dicatat di sini: Eric Sasono: Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Seks. Kurang cermat aku membedakan tokoh-tokohnya.Uraianku tentang jalan cerita "Kisah Cinta yang Asu" jadi tidak valid, namun kesan lainnya tetap berlaku. (16/12)

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion