Tidak Tersambung Secara Mulus
A COPY OF MY MIND (Joko Anwar, Indonesia, 2015)
Aku hanya berusaha mengungkapkan perasaanku secara jujur: maka, nonton "A Copy of My Mind" itu seperti coitus interruptus.
Sebelumnya, kusampaikan pujian dulu. Bagian awal film ini melenakan. Sari dan Alex, dua tokoh utama, diperkenalkan dengan apik, dengan latar Jakarta yang tidak kinclong dan gemerlap, tetapi gaduh dan pengap: salon sederhana, mal kelas bawah, lapak DVD bajakan, kos-kosan berjubel. Ping-pong dialog dan interaksi antarokoh terasa amat wajar, dan di sana-sini bikin penonton terkikik karena terasa akrab di telinga. Dan, ada adegan percintaan paling menggebu yang pernah kutonton dalam film Indonesia. Aku suka sekali saat Sari dan Alex menari dalam cahaya lampu kerlap-kelip berlatar dinding kamar yang penuh tempelan keping DVD. Kedua tokoh sukses bikin jatuh cinta, bikin penasaran, ingin tahu riwayat apa yang bakal membelit mereka lebih lanjut.
Tata warnanya tidak bening benar, tapi terkesan seperti film dokumenter bermodal cekak sehingga aroma kumuh kota tampil tanpa polesan. Rekaman gambar kamera handheld yang bikin gambar rada bergoyang menurutku malah agak mengganggu: sempat bikin sedikit pening.
Bagaimanapun, untuk separuh bagian awal "A Copy": dua jempol.
Masalah muncul ketika kisah berkelok: Sari dan Alex terseret ke dalam sebuah intrik politik. Itu saja tentunya tidak bermasalah, malah berpotensi sangat menarik, tinggal bagaimana Joko Anwar menautkan keduanya. Sungguh disayangkan, jembatan penghubung kedua bagian itu tidak kokoh. "A Copy" tergelincir dalam kelemahan yang menghinggapi banyak film Indonesia: ketidakmasukakalan.
"A Copy", menurut kabar, bakal dilanjutkan menjadi trilogi. Bisa jadi ada hal-hal yang baru akan jelas setelah ketiga filmnya komplet. Namun, lubang plot yang menganga di sini, menurutku, mestinya bisa dibereskan dalam film ini, tidak perlu menunggu lanjutannya. Nah, bagi Anda yang belum menonton, mohon maaf, aku mesti membocorkan cerita film ini. Kuusahakan sesamar mungkin.
Pertama, kenapa Sari tergoda mencuri DVD itu? Karena film monster? DVD itu terkesan sebagai DVD original, maka kemungkinan besar versi bajakannya sudah beredar luas. Jadi, Sari menginginkannya sekadar karena itu versi ori? Atau, itu film monster klasik yang tidak beredar di lapak bajakan? Atau, karena Sari klepto? Nah, pencurian sebelumnya terjadi bukan karena Sari punya kebiasaan buruk, melainkan karena dia mangkel DVD yang dibeli ternyata teksnya jelek.
Kedua, Mirna--ngapain menyimpan-nyimpan DVD berisi rahasia dirinya? Kok tidak dihancurkan saja? Untuk memukul tokoh-tokoh lain yang terekam juga di situ? (Ini mungkin baru akan terjawab di sekuel nanti). Ngapain pula dia menyamarkannya di antara koleksi DVD-nya? Sembrana tenan.
Ketiga, kalau orang-orang itu berniat mencokok Sari, kenapa terburu-buru meringkus Alex untuk menginterogasinya? Kenapa tidak menguntit Alex saja sampai ke tempat kosnya, kan malah bisa memberangus keduanya sekaligus? Huh?
Begitulah. Bagian kedua film ini jadi terasa gagap, tidak mulus, terkesan memaksa diri beralih masuk ke dalam isu besar.
Kalau diniatkan sebagai trilogi, film ini mestinya berakhir di titik yang strategis. Film trilogi yang bagus akan mendatangkan multiple orgasm, masing-masing bagian nendang: berakhir secara memuaskan, namun sekaligus masih mengundang penasaran akan kelanjutannya, sebelum akhirnya menutup diri pada bagian pamungkas. Sebaliknya, "A Copy" berakhir terburu-buru ketika aku masih mengerutkan kening memikirkan perkembangan cerita yang terasa kurang wajar. Cabut saat sudah panas, tapi belum klimaks. Kampret! ***
* Catatan: Menurut berita yang kubaca, trilogi yang disiapkan Joko Anwar "Beda cerita dan pemain, tapi tetap sama rasa." Hmm, berarti lubang-lubang plot tadi tetap tak akan terjawab. Namun, dengan cerita yang baru, semoga lebih "masuk akal" dari film pertama ini.
Comments
Post a Comment