Relung Renung: Dosa Orang Lain


Baca: 1 Timotius 1:12-17
Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya, "Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa," dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. (1 Timotius 1:15)

Orang cenderung santai menghadapi kotoran tubuhnya sendiri--ingus, ludah, keringat, air kencing, kentut, tinja. Namun, kebanyakan orang akan jijik menghadapi kotoran tubuh orang lain. Kira-kira mirip seperti itu jugalah dosa. Orang relatif lebih mudah bertoleransi terhadap dosanya sendiri. Namun, kebanyakan orang akan jijik, mengernyitkan dahi, tersinggung, atau marah terhadap dosa orang lain. Bahkan ada yang beranggapan orang lain itu patut dibunuh karena dosanya.

Rasul Paulus mendapatkan pencerahan yang berlawanan dengan sikap itu: Ia menganggap dirinya orang yang paling jahat, paling berdosa. Kesadaran itu tampaknya muncul bukan karena ia membanding-bandingkan dosanya dengan dosa orang lain. Matanya tercelik karena melihat karya keselamatan Kristus Yesus bagi orang berdosa (ay. 15). Kasih yang menggerakkan Kristus menyelamatkan manusia menyadarkan Paulus akan betapa bejat dosanya. Dalam kasih Kristus itu juga ia menemukan penangkal atas kekuatan dosa dalam hidupnya (bdk. Yak. 5:20). Kesadaran itu mengubah hidupnya, membuatnya bertobat (bdk. Rm. 2:4), dan mendedikasikan hidupnya untuk mewartakan kasih karunia Allah.

Sungguh berbahagia orang yang mendapatkan pencerahan dan kesadaran seperti itu. Dengan begitu, ia tidak akan sembarangan menuding dengan penuh penghakiman—apalagi sampai murka ingin membunuh—orang lain yang berdosa dengan cara yang berbeda. Sebaliknya, ia hidup dengan penuh syukur atas kasih Allah dan bersukacita mewartakan kasih karunia-Nya kepada sesama.

Relung Renung:
Berfokus pada dosa orang lain memenuhi kita dengan penghakiman;
berfokus pada kasih karunia Allah memenuhi kita dengan belas kasihan.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri