Balada Televisi Rusak

 Pengalaman Seorang Ayah Mengajari Anak Mencintai Buku



”Susah banget nyuruh anak-anak belajar. Tapi, kalau nonton tivi, membantah terus kalau disuruh berhenti,” keluh seorang ibu.

”Bagaimana, ya, menumbuhkan minat baca pada anak? Mereka lebih suka nonton tivi,” kata ibu yang lain.

”Anak-anak, kalau enggak dolan, ya nonton tivi terus,” timpal ibu yang lain lagi.

Saya tersenyum menyimak obrolan itu. Baru-baru ini saya menemukan sebuah rahasia hebat untuk membangkitkan minat baca pada anak. Sebuah rahasia yang telah terkubur berabad-abad. Hanya masalahnya, saya tidak tahu berapa banyak orang yang mau mendengarnya.

Anda mau?

Hm... yakin? Sini, deh, saya bisiki.

”Rusakkan televisi Anda!”

Lo, jangan memandang saya dengan kening berkerut begitu, dong. Resep itu sudah dicoba di dapur keluarga kami dan saya sudah melihat hasilnya dengan mata kepala sendiri. Dijamin manjur!

Ceritanya, kira-kira sepuluh tahun lalu, ketika pindah ke kontrakan baru, saya membeli televisi bekas milik teman. Antena integralnya sudah copot. Pesawat itu tidak bisa menangkap siaran televisi stasiun mana pun. Semula saya memang berniat memakainya untuk memutar video saja. Tetapi, saya lalu tergoda membeli antena tambahan. Karena kurang ahli dalam seluk-beluk pertukangan, saya meminta bantuan kawan untuk memasangnya. Kami mengikat antena itu di ujung sebatang bambu pendek dan, dengan sedikit membongkar atap, menopangkan batang bambu itu pada kasau. Tali antena dihubungkan ke televisi dan... sukses! Kini, pesawat kecil itu bisa memancarkan siaran sejumlah stasiun dengan gambar yang lumayan bening. Menonton televisi pun menjadi salah satu menu hiburan sehari-hari di rumah kami.

Sayangnya, mahakarya pertukangan itu hanya bertahan beberapa bulan. Entah tertiup angin sepoi-sepoi entah tersenggol burung emprit, tiang antena itu roboh. Untung tidak memecahkan genteng atap tetangga. Yang jelas, pesawat itu kembali ke posisi semula: bila dinyalakan hanya dipenuhi semut hitam-putih-abu-abu yang berisik.

Saya tergoda untuk mencoba antena jenis lain. Saya beli antena duduk. Saya pasang. Saya putar ke berbagai arah, berusaha mencari posisi yang tepat agar dapat menangkap siaran sebaik mungkin. Hasilnya? Gambar dan suara memang muncul, namun kualitasnya menyedihkan.

Begitulah. Tampaknya kami harus puas menggunakan pesawat itu hanya untuk menayangkan video film atau musik. Berkuranglah acara hiburan di rumah kami.

Tetapi, kami jadi punya lebih banyak waktu untuk aktivitas lain. Kami punya lebih banyak waktu untuk bermain bersama. Kami punya lebih banyak waktu membaca buku. Dan, anak-anak bisa lebih berkonsentrasi saat belajar.

Suatu hari saya meminjam Rahasia Logam Ajaib dari serial Lima Sekawan karya Enid Blyton. Niat awal ingin bernostalgia, selain mau mengiming-imingi Lesra, anak sulung kami. Siapa tahu ia sudah tertarik membaca novel setebal itu. Apa yang terjadi? Ia menyalip saya, merampungkan novel itu dalam tiga etape. Menjelang usia kedelapan, ia telah membaca novel pertamanya.

Karena kami juga suka nonton film, muncullah sebuah ide. Saya berinisiatif membuat perjanjian kecil dengannya, ”Mulai sekarang, kalau ada novel yang dijadikan film, kamu harus membaca dulu novelnya, baru boleh menonton filmnya. Ya?” Ia mengangguk.

Lebih senang lagi, Tirza, adiknya yang berusia enam setengah tahun, ikut-ikutan. Sebelumnya ia masih lebih senang dibacakan buku. Sekarang ia jadi bergairah membaca sendiri buku-buku cerita tipis koleksinya.

Nah, Anda mau mengikuti jejak kami merusakkan televisi di rumah?

Silakan. Tetapi, kalau hasilnya tidak segera muncul, lalu Anda menganggap saya hanya mengibul, jangan menuntut ganti rugi ke rumah kami, ya!

Soalnya....

Ini dia. Soalnya, ada resep lain yang terkubur lebih dalam lagi, nyaris mengeras bersama fosil-fosil.

Mematikan televisi dan menggantinya dengan aktivitas membaca jelas penting. Tetapi, tidak ada simsalabim. Jangan berharap upaya itu langsung mendatangkan hasil yang gilang-gemilang dalam sepekan.

Sejak Lesra dan Tirza masih kecil, kami sudah mendekatkan mereka dengan bacaan. Ketika masih merangkak, Lesra sudah suka membuka-buka koran. Sampai-sampai suatu hari ia memamah koran. Kami baru tahu ketika mengamati beraknya!

Bacaan pertama mereka buku abjad bergambar. Tahap demi tahap, bacaan mereka pun berkembang seiring dengan pertumbuhan mereka. Istri saya rajin membacakan buku atau majalah untuk mereka. Menjelang bobok siang, bacaan umum. Sebelum tidur malam, kisah-kisah Alkitab. Kami berusaha menyisihkan dana secara teratur untuk membeli bacaan dan membiarkan mereka memilih bacaan kesukaan yang kami anggap sesuai. Singkatnya, ayah membeli buku, ibu membacakannya untuk anak-anak. Sinergi yang hebat, bukan?

Ketika Lesra sudah lancar membaca, kami melanggankan koran anak-anak untuknya. Bapak baca koran umum, anak baca koran anak. Setiap saya jemput naik motor pulang sekolah, ia duduk di depan sambil menyimak koran barunya.

Menonton televisi, sebaliknya, memang sejak awal kami batasi. Hanya acara tertentu, seperti film kartun anak-anak, dan sedapat mungkin kami mendampinginya. Selebihnya, pesawat televisi dipakai untuk memutar film atau musik yang kami pilihkan untuk mereka.

Adanya teladan yang konsisten juga menentukan keberhasilan upaya ini. Anak-anak kami tentu sangat terkesan mempunyai ayah dan ibu yang sama-sama berkacamata tebal, yang sama-sama suka asyik menekuri bacaan. Membaca, lama-kelamaan, jadi barang yang tidak asing bagi mereka. Membaca, pelan-pelan, mudah-mudahan, jadi aktivitas yang mengasyikkan bagi mereka. Like father like son; like mother like daughter. Begitulah.

(Takrif: Misalkan Anda mencoba resep pertama, tetapi belum menjalankan resep kedua, Anda harus rela rugi kehilangan televisi. Dan, belum tentu anak Anda jadi cinta membaca. Yang mudah diduga, malah akan meledak percekcokan. Sebaliknya, kalau Anda menjalankan resep kedua, resep pertama silakan dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing rumah tangga. Oya, sekarang situasi kian pelik. Selain televisi, orangtua mesti menyiasati penggunaan gawai, agar tidak mengganggu, tetapi menunjang pengembangan minat baca.)

Dalam petualangan memilih bacaan bagi anak, tentu ada tantangan. Tantangannya tampak sepele, tetapi menjengkelkan.

Kami kesulitan menemukan buku berjenjang sesuai dengan kelompok umur dan daya baca anak. Penerbit tidak mencantumkan label kelompok umur pada buku anak yang mereka edarkan. Tidak ada media yang menyediakan acuan. Suatu panduan yang lumayan menolong baru belakangan saya temukan dalam buku Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cetakan Keempat, 2016). Itu pun dipaparkan dalam bahasa akademis, kurang praktis. Orangtua tetap mesti mengira-ngira sendiri buku tertentu cocok untuk anak umur berapa.

Bahan bacaan berjenjang menolong anak mengembangkan daya membaca secara bertahap. Jika anak langsung diperhadapkan pada bacaan yang sulit, bisa jadi minat baca mereka akan luntur. Kegiatan membaca jadi momok, dan mereka akan memilih aktivitas lain yang lebih menyenangkan. Ada guyon, minat baca anak-anak rendah karena buku pertama yang mereka kenal kebanyakan adalah buku pelajaran sekolah—yang biasanya ditulis dalam bahasa yang terlalu rumit untuk anak dan penampilannya tidak menarik.

Kesulitan di atas diperparah dengan masa edar buku yang terbatas. Misalnya, terbit buku A, yang bagus untuk anak usia 10-12 tahun. Orangtua tidak langsung membelinya karena anaknya baru berumur 8 tahun. Masalahnya, siapa yang bisa menjamin dua tahun kemudian buku tersebut masih beredar di pasar? Kecenderungan di sini, buku bertahan di pasar dan dicetak ulang bukan terutama karena kualitasnya, melainkan karena laku. Dengan pola ini, tidak sedikit buku yang sebenarnya bagus, tetapi segera tersingkir dari rak toko buku.

Bagaimanapun petualangan mendampingi anak mencintai buku ini benar-benar asyik dan seru. Tantangan yang ada malah mengajak kami memutar otak, mencari jalan untuk mendapatkan bacaan yang kami incar.

Selebihnya, sejak antena itu rusak, setiap hari tiada siaran televisi di rumah kami. Syukurlah, anak-anak tampaknya tidak merasa terlalu kehilangan. Tidak sampai terkangen-kangen pada SpongeBob.

Jadi agak sunyi, memang, tetapi nikmat sekali.

Epilog
Sekitar dua-tiga tahun kemudian, kami memiliki televisi baru. Karena kebiasaan dan kecintaan membaca sudah terbentuk, kehadiran televisi tidaklah mengganggu. Kami tetap lebih sering menggunakannya untuk memutar film atau musik. Kami hanya menonton acara-acara televisi tertentu berdasarkan kesukaan kami. Adapun kecintaan terhadap buku dan bacaan terus dipupuk dan dikembangkan. Buku menjadi pilihan utama sebagai kado saat ulang tahun, kenaikan kelas, atau hari raya. Koleksi buku kami pun terus bertambah melebihi daya tampung rak buku yang ada. ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion