Cara Hebat untuk Menua



Sebentar lagi Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Ribuan atlet akan berkompetisi untuk menunjukkan siapa yang lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat di benua ini. Kita menantikan rekor-rekor pencapaian baru tercatat.

Kita memang cenderung bergairah dan merayakan segala sesuatu yang terukur, indrawi (tangible), dan mudah-mudahan eksak. Kita ternganga menyimak daftar orang-orang terkaya, asyik menonton film box office, bergairah mencari buku bestseller, dan, itu tadi, takjub menyimak rekor olahraga.

Nobel, penghargaan paling bergengsi di dunia, juga cenderung disematkan pada pencapaian-pencapaian terukur—menurut ukuran kualifikasi bidang ilmu bersangkutan. Nobel Perdamaian pun diberikan berdasarkan dampak-dampak terukur, yang tentu saja jatuhnya relatif dan malah kerap mengundang kontroversi.

Ada pula pencapaian yang tak kasat mata, tak terukur, intangible. Orang biasanya menyebutnya sebagai karakter. Integritas. Dedikasi. Disiplin. Sukacita. Toh, sejauh ini tak ada tren untuk membuat daftar “Top 10 Tokoh Paling Disiplin di Dunia”, misalnya.

Tak masalah sebenarnya. Masalah baru muncul saat secara tidak sadar kita berasumsi bahwa yang terukur dan indrawi itulah fokus utamanya. Konsekuensinya, kita cenderung mengabaikan perkara-perkara tak kasat mata yang sebenarnya justru berperan sebagai aktor di balik layar setiap pencapaian. Kita jadi lebih menonjolkan prestasi daripada karakter.

Kecenderungan ini, sungguh menyedihkan, biasanya sudah berkembang sejak masa pengasuhan anak. Orangtua cenderung, bisa jadi tanpa sengaja, lebih menghargai prestasi daripada karakter. Kita tentu dengan mudah mengacungkan jempol saat anak mencetak nilai 10, misalnya. Bagaimana seandainya ia sudah belajar dengan tekun, dan juga menolak godaan untuk mencontek, tetapi hanya berhasil meraih nilai 6? Adakah kita tetap bersemangat untuk mengapresiasi ketekunan dan kejujurannya?

Berfokus pada pencapaian tak ayal juga akan mendatangkan sejumlah konsekuensi yang memprihatinkan. Yang terutama, cara pandang yang tidak seimbang ini akan berpengaruh signifikan terhadap cara kita memaknai kehidupan kita. Kecenderungan ini bahkan dapat mendorong orang menempuh jalan pintas, menghalalkan segala cara, pokoknya membuahkan hasil yang bagus.

The Devil Wears Prada (2006), adaptasi David Frankel atas chick lit laris Lauren Weisberger, menyoroti ironi itu. Andy Sachs (Anne Hathaway), yang baru saja lulus kuliah jurnalisme, memulai karirnya dengan menjadi asisten kedua Miranda Priestly (Meryl Streep), editor majalah Runway. Runway adalah majalah mode paling berpengaruh, dan Miranda adalah pemegang kekuasaan tertinggi di baliknya. Ia disanjung sebagai dewi baik oleh rekan kerja maupun oleh pesaingnya.

Kalau Anda pernah bekerja padanya, dan bertahan paling tidak satu tahun, berbagai pintu kesempatan akan terbuka bagi Anda. Tentu saja dia bukan bos yang lunak. Lihat saja julukannya: The Devil.

Sepanjang kisah terpapar bagaimana kehidupan pribadi Andy selagi ia berjuang keras meniti tangga karir. Seorang rekan kerjanya, Nigel (Stanley Tucci), terang-terangan menyatakan, ia akan tahu kalau telah berjaya dalam karir ketika kehidupan pribadinya sepenuhnya berantakan.

Sampai sejauh itukah? Tentu tak salah kita berjuang mengembangkan karir. Namun, mestikah sampai mengorbankan kehidupan pribadi dan kehidupan keluarga? Benarkah makna hidup kita ditentukan oleh kegemilangan karir kita? Bagaimana bila karir kita rontok? Bagaimana pula bila sesampai di puncak ternyata kita menggapai dinding yang keliru?

Orang kerap secara keliru menyamakan kehidupan yang penuh makna dengan deretan prestasi dan pencapaian. Namun, bila kita renungkan lebih jauh, tidak semua prestasi menjamin bahwa kita akan meninggalkan warisan, sesuatu yang berharga dan akan terus dikenang oleh generasi selanjutnya.

Apakah Anda masih ingat orang terkaya tahun 1970, misalnya? Apakah Anda masih bisa menyebutkan siapa Miss Universe tahun 1981? Di antara sejumlah bintang baru yang melambung melalui ajang pencarian bakat di berbagai stasiun televisi, siapa yang masih bertahan popularitasnya? Budaya selebritas tidak jarang menelan korbannya sendiri: Seseorang bisa cepat mengorbit sebagai selebritas, namun rentan pula untuk segera tenggelam popularitasnya.

Selain itu, kalau kita hidup hanya untuk mengejar prestasi, kita akan sangat frustasi. Mengapa? Ketika kita berhasil mengukir sebuah prestasi, kita mungkin berpikir, “Aku berhasil!” Namun, beberapa hari atau beberapa minggu kemudian, perasaan itu akan memudar. Maka, kita harus menetapkan sasaran lain, mengejar tantangan lain. Hasilnya: Sebuah lingkaran setan yang terdiri atas rasa tidak pernah cukup dan tidak pernah puas!

Sebagai penulis, dulu saya lumayan romantis, berpegang erat pada pepatah gagah berbahasa Latin: Verba volant; scripta manent (ucapan terbang lenyap; tulisan tinggal tetap). Saya membayangkan, melalui tulisan dan buku, saya bakal mengukirkan nama dalam keabadian.

Menggemakan Umberto Eco, "Saya ingin membuat sebuah buku dan seorang anak, sebab hanya dengan cara itulah kita bisa mengatasi kematian... Dan saya menulis buku, bukan untuk memperoleh sukses sekarang, tetapi dengan harapan bahwa seribu tahun yang akan datang buku itu paling tidak masih masuk dalam daftar kepustakaan atau dalam catatan kaki.”

Namun, romantisme mesti bertemu dengan realisme. Tak sembarang buku bisa langgeng. Jangankan seribu tahun, terus dicari orang dalam sepuluh tahun saja sudah beruntung. Tidak sedikit yang tertimbun di gudang, diobral pun tidak laku, dan akhirnya berjubel-jubel di karung tukang loak.

Prestasi memang selabil itu. Gampang pupus di tengah jalan. Bisa karena keadaan. Bisa karena kita malas, sakit, menua, tidak produktif. Mungkin saja kita tetap berkarya, tetapi orang tak meminatinya lagi. Karya yang bagus bisa tergusur oleh karya medioker yang laris. Atau, ya memang karya kita ecek-ecek, tak bernilai abadi.

Sebaliknya, karakter adalah proses yang berlangsung seumur hidup, terus-menerus, tak terhentikan. Dalam segala keadaan, karakter kita dapat bertumbuh semakin rapuh atau semakin teguh. Kita dapat makin tua makin getir, makin nyinyir, dan suka menggerutu; atau makin tahu diri, lemah-lembut, dan gampang bersyukur.

John Ortberg, seorang pendeta dan penulis, mengungkapkannya dengan indah. “Beginilah cara yang hebat untuk menua,” katanya. “Biarkan segala sesuatu yang lain rontok sampai orang-orang hanya melihat kasih sayang dalam hidupmu.” Betapa ingin saya menua seperti itu! ***

Artikel ini telah dimuat di kanal Kolom (Detik) pada Jumat, 3 Agustus 2018.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion