Posts

Showing posts from March, 2019

Lonceng Sensor Orangtua

Image
Dalam Cinema Paradiso   (Giuseppe Tornatore, 1988) , Romo Adelfio seminggu sekali mendatangi bioskop setempat . Sebelum sebuah film diputar di Giancaldo, Sicilia ,  Italia,  ia akan memeriksanya. Bila muncul adegan ciuman, ia membunyikan lonceng. Tukang proyektor harus menggunting adegan itu. Begitulah, berkat lonceng sensor sang romo,  orang Giancaldo belum pernah menyaksikan adegan ciuman di layar perak . Lembaga Sensor Film (LSF) berperan mirip dengan Romo Adelfio bagi masyarakat penonton film di Indonesia. Lembaga ini bertugas  menetapkan status edar film  dan   meluluskan sebuah film secara utuh atau setelah memotong bagian yang dianggap tidak layak untuk ditayangkan kepada umum . LSF  juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film bersangkutan. Tugas LSF relatif memudahkan orangtua dalam memilih film yang akan ditonton bersama anak. Masalahnya, di satu sisi, tidak sedikit orangtua yang mengabaikan penggolongan usia penon...

Kupang, Sepotong Siang

Image
Kupang siang itu terik panas Sambal luat menyengat pedas Bergelut dengan aroma asap dalam irisan daging se'i Keringat menitik puas, berkilap-kilap di keningmu Aku menyesap sup kacang merah Segar dan menggugah + Kamu mau tambah? - Bagaimana kalau kita menambah kegembiraan Dan kepercayaan pada senja yang tak harus lebur Jadi puisi? Kupang siang itu terik panas Kain-kain Sumba bergelantungan kusam di etalase + Hidup amat murah hati, bukan? - Langkah tak mesti terburu-buru Toh lidah telah puas, perut telah penuh Tak apa kakilima lumayan berdebu + Kenapa kita mesti meringkus kota Dalam kotak-kotak cendera mata? - Kenapa kita mesti mengekalkan luka Dari satu kota ke lain kota? + Ah, kenapa kita tidak bercakap Yang ringan-ringan saja? - Kenapa kita perlu menulis puisi? Angin berkelok di lorong pasar, keras kepala Matahari berpendar-pendar, tertawa menjelang senja Tenggelam di ufuk Pantai Oesapa Yogya, 2019

Rekor, Bonus, dan Kenyarisan yang Membuahkan Bonus Lain

Image
Anak-Anak Taman Bacaan Hambila Humba Saya termasuk kaum fakir piknik. Alasan gampangnya: kondisi keuangan yang serbacekak. Alasan ribetnya: entah kenapa saya kurang menikmati acara jalan-jalan itu sendiri. Saya cenderung lebih suka pelesir tanpa harus beranjak dari tempat duduk: membaca buku atau menonton film. Kebanyakan saya bepergian karena ada keperluan: membeli sesuatu, bersilaturahmi, atau ada pekerjaan. Jarang saya sekadar bertamasya, baik sendiri maupun bersama keluarga. Sampai usia jelita, saya belum pernah ke luar negeri dan masih bisa dihitung dengan jari jumlah kota di luar pulau yang pernah saya kunjungi. Paling banyak setahun hanya satu kali, itu pun mungkin lima tahun sekali. Pada 1995, saya berkesempatan mengunjungi Ujung Pandang (waktu itu belum beralih lagi menjadi Makassar) selama dua minggu karena keperluan gereja. Pada 2000, seorang teman mengundang saya ke Medan selama seminggu, naik kapal Tanjung Priok - Belawan pp. Sepanjang 2000-an, dua kali saya k...