Rekor, Bonus, dan Kenyarisan yang Membuahkan Bonus Lain

Anak-Anak Taman Bacaan Hambila Humba


Saya termasuk kaum fakir piknik. Alasan gampangnya: kondisi keuangan yang serbacekak. Alasan ribetnya: entah kenapa saya kurang menikmati acara jalan-jalan itu sendiri. Saya cenderung lebih suka pelesir tanpa harus beranjak dari tempat duduk: membaca buku atau menonton film. Kebanyakan saya bepergian karena ada keperluan: membeli sesuatu, bersilaturahmi, atau ada pekerjaan. Jarang saya sekadar bertamasya, baik sendiri maupun bersama keluarga.

Sampai usia jelita, saya belum pernah ke luar negeri dan masih bisa dihitung dengan jari jumlah kota di luar pulau yang pernah saya kunjungi. Paling banyak setahun hanya satu kali, itu pun mungkin lima tahun sekali. Pada 1995, saya berkesempatan mengunjungi Ujung Pandang (waktu itu belum beralih lagi menjadi Makassar) selama dua minggu karena keperluan gereja. Pada 2000, seorang teman mengundang saya ke Medan selama seminggu, naik kapal Tanjung Priok - Belawan pp. Sepanjang 2000-an, dua kali saya ke Bali, masing-masing selama dua-tiga hari untuk urusan gereja. Pada 2012, digandeng oleh Wiji Suprayogi, saya diminta mengadakan pelatihan menulis untuk anak-anak di Palu atas undangan Wahana Visi Indonesia. Kalau Madura bisa dihitung berada di luar pulau Jawa, pada 2016 kami sekeluarga ditraktir Win Fajar Adventa untuk menikmati bebek sinjay yang cemerlang itu. Pada 2018, bersama Tim Footprints dan GKI Klaten, saya berkelana ke Sumba Barat Daya dan Sumba Barat.

Tahun ini, rekor itu pecah. Pada bulan kedua.

Mahasiswa STT GKS Lewa


Asal mulanya, Tim Footprints sudah beberapa kali bekerja sama dengan Yayasan Lentera Kasih Agape (YLKA) Medan untuk pelayanan Sekolah Minggu. Biasanya yang berangkat melayani adalah Mas Purnawan Kristanto dan atau Mbak Agustina Wijayani, yang menekuni pelayanan anak-anak. Tahun ini YLKA bermaksud mengadakan pelatihan menulis bersama anak-anak taman baca binaan mereka. Mas Wawan dan Mbak Tina menyarankan pada Mbak Ervina P. Hasibuan, koordinator YLKA, untuk mengundang saya. Begitulah, jejaring pertemanan kerap menjadi pintu-ke-mana-saja dan mengantarkan kita ke tempat-tempat yang tak terduga.

Ternyata YLKA mengundang saya untuk mengadakan pelatihan di dua tempat sekaligus. Dua-duanya di luar Pulau Jawa. Yang satu di Sumatera Utara; yang satu lagi di Nusa Tenggara Timur. Alhasil, pecahlah rekor perjalanan saya: dalam setahun dua kali pergi ke luar pulau.

Kelas Menulis Asyik (KMA) pertama berlangsung di Taman Jubileum GBKP Sidamakmur, Sibolangit, Deli Serdang, pada Sabtu-Minggu, 9-10 Februari 2019. Peserta sebanyak 30 orang anak Panti Asuhan Anugrah Kasih Abadi. Selanjutnya, saya diminta berbagi tentang proses kreatif menulis renungan harian kepada tim pelayanan anak YLKA. Pelatihan diadakan di kantor mereka di Medan selama dua hari, Senin-Selasa (11-12/2), diikuti oleh 12 peserta.

Kelas menulis berikutnya berlangsung di Sumba Timur, Rabu-Minggu (27/2-3/3). Pelatihan menulis pertama diadakan untuk anak-anak Taman Baca Hambila, yang ada di tiga tempat. Sebanyak 30 anak terpilih berkumpul di GKS Praikauki untuk mengikuti pelatihan ini. Selain itu, diadakan juga pelatihan menulis untuk mahasiswa STT GKS Lewa.

Selain memetik tulisan para peserta yang rencananya hendak dibukukan, sempat pula sedikit piknik menilik keindahan telatah seribu bukit selaksa kuda ini. Perasaan campur aduk: takjub menyaksikan keelokan alamnya, hati menghangat oleh keramahan orang-orangnya, tetapi juga getir nelangsa memandang kondisi daerahnya yang tertinggal jauh dari Jawa.

Saya dengan pede hanya membawa nomor Smartfren, padahal tahu di NTT belum ada jaringannya. Mbak Vina memberitahu di STT nanti ada wifi. Aman, pikir saya. Ketika tiba Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, baru tersadar bahwa saya tak bisa mengontak mahasiswa yang ditugaskan menjemput saya. Saat itu tak terpikir untuk memanfaatkan wifi bandara. Syukurlah, Bu Yeni, narahubung kami di STT, sudah mengirimkan foto Aldo si penjemput ketika saya masih transit di Bali. Dari balik kaca ruang pengambilan bagasi, saya segera bisa mengenali pemuda berkaos putih yang menunggu di luar sana.

Dari Waingapu ke Lewa, kami melewati jalan yang bagus dan mulus. Jalan itu menghubungkan kota-kota penting di Sumba, sampai ke Tambolaka di ujung barat daya sana. Perbukitan di sekitar membentang luas bagaikan puluhan wallpaper klasik Windows XP. Mata yang biasa menatap monitor laptop ini serasa dilondri.

Namun, jika kita berbelok meninggalkan jalan utama itu, cerita jadi lain. Kondisi jalan merosot jauh. Dari STT ke Taman Baca Hambila di Praikauki, kami melewati jalan tanah keras berbatu-batu. Di sana-sini ada kubangan air. Sekali kami harus turun dari boncengan agar motor dapat lebih gampang melewati kubangan. Sesekali kita juga mesti berbagi jalan dengan anjing, babi, kuda, sapi, atau kambing. Kalau Anda pernah melihat video dua anak kecil naik motor membelah padang belantara, lalu di tengah jalan bertemu ular, dan mereka berhenti untuk menangkap ular itu, nah, kira-kira seperti itulah keadaan jalan di sana. Jalan-jalan di pelosok Temanggung pun seingat saya tidak ada yang separah ini. Untunglah, bentang alam di sekitarnya begitu menyegarkan mata dan menyejukkan hati.

Seorang anak SMP bercerita, setiap pagi ia berjalan kaki ke sekolah selama dua jam. Berarti usai subuh dia sudah harus meninggalkan rumah. Untuk mengikuti KMA, pulang sekolah ia langsung ke gereja, makan siang di pastori. Kalau ia pulang ke rumah dulu, baru berangkat ke gereja, waktunya sudah habis di jalan, dan ia bakal terlambat mengikuti kelas.

PLN belum berkunjung ke Praikauki. Mereka menggunakan genset. Di pastori, yang sebagian ruangnya digunakan sebagai taman baca, tidak ada teve. Jika mereka berkumpul pada malam hari, alih-alin nonton sinetron, Pdt. Aprissa mendorong warga untuk membaca buku koleksi Hambila. Mereka pun terselamatkan dari jajahan infotainment televisi yang Jakartasentris.

Ada juga kejadian sedih. Seorang mahasiswa semester VIII pulang nonton pasola di Kodi, kembali ke Lewa naik motor. Hari sudah gelap. Ia menabrak sesuatu entah apa di jalan. Tengah malam, ia dikabarkan meninggal dunia. Di kelas menulis di kampus, seorang peserta menuliskan kenangan pendek tentang sahabatnya itu.

Keadaan semacam itu tampaknya malah jadi berkat terselubung. Tulisan anak-anak Hambila lumayan mengejutkan. Sederhana, tetapi kaya dan beragam. Tiap anak menceritakan pengalaman unik khas situasi setempat. Saya tidak sabar untuk melihat karya itu tersusun sebagai buku, menjadi suara kecil dari Lewa.

Selain untuk pelatihan menulis, Mbak Ervina juga mendampingi rombongan mahasiswa dari Norwegia yang mengadakan pelayanan di STT dan gereja-gereja setempat. Saya sempat mengikuti ibadah kontekstual yang diadakan di aula kampus pada Jumat malam. Sebagian besar peserta mengenakan kain khas Sumba. Kami duduk melingkar di atas tikar yang terbuat dari daun lontar. Liturgi berlangsung dalam dua bahasa: Indonesia dan Sumba. Dua pasang juru bicara saling berbalas sapa dengan pengucapan yang cepat dan lantang seperti merapalkan mantra dan jeritan perang. Mereka juga menyajikan dua tarian Sumba.

Jemaat GKS Prai Kauki


Usai pelatihan di Lewa, saya mendapatkan bonus. Hari Senin, perjalanan pulang ke Yogya tidak bisa langsung dalam sehari dari Waingapu, tetapi mesti transit dan menginap semalam dulu di kota lain. Pilihannya: Denpasar atau Kupang. Saya memilih singgah seharmal di Kupang. Makin bertambahlah kosa kota di luar pulau yang pernah saya kunjungi.

Tiba di Bandara El Tari yang panas terik, Smartfren tetap belum berfungsi. Ini memang pilihan nekat. Saya tak bisa menghubungi hotel yang sudah dipesan dan hendak menjemput saya. Eh, ternyata di dekat pintu keluar, ada konter hotel tersebut. Urusan penjemputan pun bisa segera dibereskan.

Siang itu saya ditemani Yakobus Lendhe, kenalan dari Sumba Barat Daya, yang kini kuliah di Fak. Kesehatan Masyarakat Univ. Nusa Cendana. Kami pergi ke Depot Aroma untuk menikmati se'i, daging babi asap yang diiris tipis-tipis, empuk betul, dan citarasanya gurih-manis menakjubkan. Sungguh salah satu puncak kebudayaan, surga yang jatuh di ujung lidah. Menurut seorang sopir taksi online, dalam sehari mereka mengolah tak kurang dari 900 kg daging, dipasok ke dua depot di Kupang, dan mereka baru saja membuka cabang di Surabaya. Gila-gilaan!

Esoknya, Selasa siang, saya mendapatkan kejutan lain lagi: nyaris terdampar lebih lama di Kupang.

Pesawat Nam yang akan membawa saya pulang ke Yogya dijadwalkan terbang pukul 13.20 waktu setempat. Saya datang untuk check-in pukul 12.00. Konter Nam tampak kosong. Sepi. Mungkin memang tak banyak penumpangnya, pikir saya. Ternyata, sambutan petugas konter membuat saya terpana.

"Pak, penerbangan siang ini dibatalkan. Mari saya antar ke customer service untuk penjelasan lebih lanjut."

Saya melongo. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, saya mengikuti petugas. Ia berbaik hati membawakan bagasi saya.

Di ruang CS, petugas lain menjelaskan, penerbangan siang itu dibatalkan dan seluruh penumpang dialihkan ke penerbangan tadi pagi. Tadi pagi! Tinggal saya yang belum terangkut karena mereka tak berhasil menghubungi saya.

Celaka sewidak rolas! Bagaimana mau dihubungi kalau Smartfren saya tak berfungsi?

"Pemberitahuan dikirim via email juga, Pak?"

"Iya."

Saya menanyakan alamat email dan nomor telepon yang mereka hubungi. Petugas menyebutkan alamat dan nomor yang asing. Ternyata itu alamat dan nomor agen travel tempat YLKA memesankan tiket untuk saya. Mereka tidak meneruskan pesan itu kepada kami. Bagus sekali!

Lalu, bagaimana nasib saya?

"Kami akan memindahkan Bapak ke penerbangan besok pagi, melalui Maumere."

Astaganaga, mana pula itu?

"Lalu, dari Denpasar ke Yogya?"

Petugas memeriksa di komputernya.

"Dua penerbangan lanjutan dari Bali sudah penuh."

Mampus! Pakaian bersih saya sudah habis. Mana mungkin saya tinggal semalam lagi di Kupang dan besoknya terkatung-katung di Bali? Saat itu saya belum ingat kalau Kamis adalah hari raya Nyepi. Bila skenario ini yang terjadi, bisa-bisa baru Jumat saya balik ke Yogya. Alamakjang!

"Penerbangan nanti malam dari Bali ke Yogya tidak dibatalkan, kan?"

Ya, penerbangan lanjutan saya hari itu dijadwalkan pukul 20.55. Jadi, masih ada jarak waktu lumayan lama.

"Bisa tidak saya dicarikan pesawat lain ke Bali siang ini?"

Petugas memeriksa lagi komputernya. Ada pesawat Garuda bakal terbang pukul 13.25.

"Bapak tunggu sebentar ya."

Yakobus, pemandu di Kupang


Petugas itu lagi-lagi sibuk memantau komputernya. Menelepon seorang rekannya meminta petunjuk. Memproses pembatalan tiket Kupang-Denpasar saya. Menghubungi atasannya meminta pengesahan. Memesankan tiket spesial ke Garuda. Dan, dalam waktu tak sampai satu jam, urusan pengalihan beres sudah, semuanya atas tanggungan Namair. Seorang petugas mengantarkan dan membawakan bagasi saya sampai ke ruang tunggu, sampai ke depan pintu gerbang. Saya menjura hormat, berterima kasih atas pelayanan yang sangat melegakan hati ini. 

Saya terduduk di ruang tunggu, terpana bahagia dan setengah tak percaya. Anak kesayangan Tuhan itu ya begini ini nasibnya: pesawat dibatalkan, tapi lalu diganti naik pesawat yang lebih bagus. Di pesawat, dapat kursi paling depan sehingga bisa menyelonjorkan kaki dengan leluasa. Dan, dapat makan siang hangat dan enak.

Di Bandara Ngurah Rai, saya mesti menunggu pesawat lanjutan tak kurang dari empat jam. Lelah dan terkantuk-kantuk. Eh, ternyata penerbangan ditunda dua jam. Namun, saya sudah kehilangan alasan untuk mengeluh. Sudah bersyukur malam itu bisa balik ke Yogya.

Menjelang tengah malam, pesawat siap mendarat di Adi Sucipto. Dari atas, Yogyakarta terlihat seperti kerlap-kerlip timbunan harat karun yang dijaga oleh Smaug. Turun dari pesawat, hujan lumayan deras, yang katanya sudah berlangsung sejak sore, menyambut kami.

Menembus rintik hujan, kepala saya penuh pertanyaan: Oh Tuhan, apa salah dan dosaku sehingga dicurahi kenikmatan bertubi-tubi seperti ini?

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri