Nyai: Eksperimen yang Memakan Korban
Nyai (Garin Nugroho, 2016) |
Nyai adalah pertunjukan teater atau ketoprak yang dilayarperakkan. Mirip dengan The Magic Flute, pertunjukan opera yang dibesut jadi film televisi oleh Ingmar Bergman (1975). Bedanya, Garin menawarkan eksperimen baru dengan merekamnya hanya dalam satu pengambilan gambar sepanjang 85 menit. Tantangannya, dengan gerak kamera yang terbatas dan hanya merekam dari depan rangkaian adegan di sebuah pendopo, bagaimana film ini akan memikat penonton? Mestinya, tentu saja, dengan menampilkan unsur-unsur lain yang kuat.
Sayangnya, eksperimen baru itu justru memakan banyak korban. Unsur-unsur lain jadi berantakan. Dialognya terlalu cerewet ingin memasukkan banyak data dan informasi sejarah, kemaruk membicarakan terlalu banyak topik, dengan gaya ucap yang kaku pula. Aktingnya canggung, tampak betul para pemain seakan takut salah bergerak (bayangkan kalau adegan mesti diulang pada menit ke-57, misalnya). Dengan gerak kamera yang telanjur dibatasi, blocking-nya kerap gagal menampilkan komposisi yang enak dipandang dan sempat terpikir, teater SMA kayaknya bisa menata adegan lebih bagus dari film ini. Akhirnya, Annisa Hertami, nuwun sewu, menanggung beban yang terlampau berat: tak sanggup tampil meyakinkan sebagai perempuan kharismatik yang di hadapannya para tokoh agama pun duduk bersimpuh. Secara keseluruhan film beringsut lambat dan menyiksa.
Nyai adalah seburuk-buruknya film Garin. ***
Ditonton di Auditorium MMTC dalam Closing Night Parade Film MMTC #6, Yogyakarta, 28 April 2019.
Comments
Post a Comment