12 Years a Slave: Film Perbudakan yang Bikin Megap-Megap


Ini film tentang perbudakan: sebuah sistem yang mengganti namamu, menenggelamkan identitas dirimu, dan menakarmu berdasarkan produktivitas dan kepatuhanmu. Sebuah neraka di bumi. Judul film ini mungkin bisa di-Indonesia-kan jadi: 12 tahun untuk selamanya.

Ada kebenaran universal, yang akan tetap menyeruak betapa pun hebat manusia berusaha menindasnya. Tetapi, ada juga kebodohan universal. Dan, manusia dengan bebal terus memeluknya, dan teperdaya hanya karena kebodohan itu malih rupa.

Yang paling pahit, kebodohan itu dibentengi dengan penafsiran amburadul atas ayat-ayat Kitab Suci. Lihat saja bagaimana tuan tanah itu menafsirkan perumpamaan tentang tuan dan budak-budaknya sebagai pembenaran atas sistem perbudakan dan petunjuk tentang bagaimana mereka memperlakukan budak-budak itu. Menjijikkan!

Mereka menyebut budak itu sebagai properti, sebagai binatang. Namun, selain memerah tenaganya dan mengungkung kebebasannya, si tuan juga bisa melahap tubuh si budak untuk memuaskan birahinya. Dan, ia menyamakan aktivitas melahap tubuh budak itu dengan aktivitas mencambuki tubuh budak: menikmati properti. Absurd!

Kalau kita menganggap soal perbudakan sebagai soal masa lampau, kita sedang terperosok ke dalam kebodohan universal itu. Menurut sejumlah sumber, perbudakan bukannya makin melenyap dalam era modern ini, melainkan terus membiak dalam berbagai bentuk dan kadarnya.

Film ini juga membuatku jadi melantur, terbayang-bayang pada salah satu malihan sistem perbudakan yang paling mengerikan, yaitu ketika ia mengambil jubah kerohanian. Bentuknya sejajar. Dalam perbudakan atas orang kulit hitam, nasibmu ditentukan oleh warna kulitmu. Dalam perbudakan rohani, nasibmu ditentukan oleh kasta rohanimu. Ada kasta yang mewakili Tuhan, yang mendapatkan urapan khusus, yang dilarang keras untuk dijamah, yang akan menafsirkan firman Tuhan bagi para pengikut. Di luar itu, ada kasta pengikut, yang ditetapkan untuk patuh dan dilarang bertanya-tanya. Kau hanya diminta taat, sehat, dan produktif bekerja di ladang. Jika kau taat, sehat, produktif, dan disayangi tuanmu, kau bisa bersiap-siap naik kasta, ikut menjadi bagian dari para tuan. Sebaliknya, jika produktivitasmu rendah, kau akan dicambuk. Jika kau sakit, siapa yang peduli? Kalau kau jatuh mati di ladang saat bekerja, ya kau tinggal dikuburkan--dan dilupakan. Kalau gagal panen, kau dianggap pembawa kutuk. Yang paling gawat adalah ketika kau ingin merebut identitas sejatimu--sebagai manusia, sebagai manusia merdeka--bersuara berbeda, dan dianggap membangkang. Lihatlah bagaimana tuan-tuan itu akan berusaha menghabisimu!

Sungguh, ini film bikin megap-megap. Dan, dengan itu, mengingatkan: betapa tak tepermanai harga kemerdekaan itu.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri