Hacksaw Ridge: Senjatanya adalah Tidak Memanggul Senjata


Hacksaw Ridge menampilkan protagonis yang unik: Seorang prajurit yang terjun di medan tempur tanpa memanggul sepucuk senjata pun. Film perang ini diangkat dari kisah nyata Desmond Doss, orang Kristen dari Gereja Adven Hari Ketujuh di Virginia, AS, yang ikut berjuang pada Perang Dunia II sebagai tenaga medis. Atas jasanya, ia dianugerahi Medal of Honor oleh negaranya.

Film ini disutradarai oleh Mel Gibson, yang memperlihatkan kepiawaiannya dalam menjalin adegan-adegan keseharian dengan kengerian medan tempur. Saat diputar di Festival Film Venesia pada 4 September 2016, Hacksaw Ridge mendapatkan standing ovation selama sepuluh menit.

Hacksaw Ridge memaparkan perkembangan iman dan keyakinan Desmond Doss sebagai seorang pasifis dalam tiga tahap.

Pembentukan. Kehidupan keluarga dan ajaran agama melatarbelakangi sikapnya. Perkelahian dengan adik yang nyaris berakhir fatal mencelikkan pengertian Desmond akan perintah keenam (“Jangan membunuh”) dalam Dasa Titah. Ibunya menegaskan, pembunuhan adalah dosa terbesar di mata Tuhan. Sebuah konflik dengan ayahnya, veteran perang yang pemabuk, semakin meneguhkan tekad Desmond untuk tidak menyentuh senjata. Ia bertumbuh menjadi pemuda yang berjuang sedapat mungkin untuk menyelamatkan nyawa sesama.

Pengujian. Masa ini berlangsung selama Desmond menjalani pelatihan di barak militer. Keyakinan itu menjadikannya bahan cemooh rekan-rekannya. Di satu sisi, ia terlihat sebagai pengecut; di sisi lain, ia dianggap sosok moralistis sok suci. Tentu saja, ia juga berbenturan dengan atasannya. Dan, alih-alih dikirim ke medan tempur, ia nyaris dijebloskan ke penjara militer dengan tuduhan pembangkangan.

Penerapan. Akhirnya, ia diberangkatkan sebagai tenaga medis dan tidak perlu menyandang senjata. Ia diterjunkan di medan tempur Okinawa, yang berada di atas tebing yang dijuluki Hacksawa Ridge, dan terlibat dalam salah satu pertempuran paling sengit sepanjang Perang Dunia II. Di tengah pertempuran brutal (salah satu yang paling brutal yang pernah terpapar di layar lebar) itu, Desmond menunjukkan bahwa keyakinannya dapat diterapkan. Ketika kedua belah pihak saling membantai, Desmond berkelit di tengah deru pertempuran untuk menyelamatkan beberapa nyawa rekannya dan, kalau tidak salah, juga beberapa orang musuh. Doanya begitu indah dan menggetarkan, “Please Lord, help me get one more” (Tolonglah, Tuhan, bantulah aku menyelamatkan satu jiwa lagi). Tercatat ia sukses menolong 75 prajurit.

Menurut saya, tahap yang paling berat adalah tahap pengujian. Seperti dikatakan Dumbledore dalam serial Harry Potter, menghadapi rekan-rekan sendiri tidak jarang malah lebih berat daripada menghadapi lawan.

Hacksaw Ridge menggarisbawahi salah satu paradoks Kerajaan Allah. Jika kita ingin ditinggikan, kita justru diminta untuk merendahkan diri. Jika kita ingin menyelamatkan nyawa, kita justru diundang untuk rela menyerahkan nyawa. Jika ingin memadamkan kejahatan, kita justru mesti melimpahinya dengan kebaikan. Desmond Doss memperlihatkan bagaimana ia menang dalam pertempuran justru tanpa menyandang senjata. Ia melawan kekerasan tanpa kekerasan.

Dengan film ini, Mel Gibson, sebagai sutradara, menunjukkan perkembangan tematik yang menarik sehubungan dengan kekerasan. Dalam Braveheart (1995), ia menampilkan protagonis yang berjuang dengan mempergunakan kekerasan demi kemerdekaan bangsanya. Dalam The Passion of the Christ (2004), ia menampilkan protagonis yang menanggung kekerasan brutal demi menyelamatkan umat manusia. Dalam Hacksaw Ridge, ia menampilkan protagonis yang menolak mempergunakan kekerasan demi menyelamatkan rekan-rekan seperjuangannya. Pilihan ketiga protagonis itu erat berkaitan dengan iman dan keyakinan mereka. Baik diputar secara berangkaian atau ditonton sendiri-sendiri, ketiga film tersebut dapat menjadi bahan refleksi tentang iman dan kekerasan. ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion