Jumpalitan Berwaktu Teduh



Susanna Wesley dikaruniai 19 anak. Sembilan di antaranya meninggal ketika masih bayi. Para ibu tentu tahu benar betapa repotnya ibu yang satu ini. Toh ia termasyhur sebagai seorang yang gigih berwaktu teduh. Di tengah kesibukan mengasuh anak-anak, ia meluangkan waktu untuk membangun hubungan personal dengan Tuhan setiap hari. Bila tidak berhasil menemukan ruang yang tenang di rumah, ia akan duduk di dapur, menutupi kepalanya dengan celemek. Anak-anaknya sudah diberi tahu, bila ibu sedang berkerudung seperti itu, ia tidak boleh diganggu. Ia sedang menikmati waktu teduhnya dengan Tuhan.

Kisah yang inspiratif, ya? Atau... justru malah tidak? Bagi saya, terus terang, kisah semacam itu membuat saya terayun antara terinspirasi dan terintimidasi. Di satu sisi saya berdecak kagum, ”Wah, hebat ya Susanna Wesley. Ia memang patut diteladani. Aku berharap bisa seperti itu.” Di sisi lain, saya tersipu malu, ”Aku ini belum sesibuk Susanna. Anak baru dua, tapi kok jumpalitan, susah menjaga konsistensi dalam berwaktu teduh.” Atau lalu malah putus asa, ”Bertahun-tahun sudah aku berusaha berwaktu teduh, belum juga aku mencapai taraf kegigihan seperti itu. Berwaktu teduh secara konsisten itu memang jatah khusus para raksasa iman. Apalah awak ini.”

Untunglah, Michael Phelps – ya, jawara renang dari Amerika Serikat yang menyabet delapan medali emas dalam Olimpiade Beijing 2008 itu – menyadarkan saya. Saya, terus terang, sampai saat ini belum bisa berenang. Tetapi, saya ingin belajar berenang. Nah, kalau tujuan saya belajar berenang adalah dalam waktu setahun dua tahun ke depan bisa menyamai prestasi Phelps, betapa bodohnya saya! Bisa dijamin, saya bisa menyerah sebelum jalan. Tetapi, kalau tujuan saya kira-kira dalam waktu sebulan dua bulan paling tidak saya sudah bisa mengapung dan menggerakkan tubuh di air secara benar, puji Tuhan, saya berada di jalur yang tepat.

Dari situ saya mendapatkan pencerahan: saya perlu berfokus pada tujuan pokok sesuatu. Kalau saya berolahraga dengan harapan meraih medali Olimpiade, besar kemungkinan saya akan patah semangat – bukankah tidak setiap orang berbakat dan dipanggil untuk menjadi atlet dunia? Namun, kalau saya berolahraga untuk menjaga kebugaran dan keseimbangan tubuh, saya akan bisa mengalami olahraga sebagai aktivitas menyenangkan yang diperlukan setiap orang yang ingin sehat.

Mirip dengan waktu teduh. Waktu teduh adalah suatu disiplin kerohanian, semacam cabang olah raga rohani. Bagusnya, tidak ada arena Olimpiade Rohani yang menantang kita berkompetisi dengan saudara seiman yang lain. Jadi, saya pun sebetulnya tidak perlu terintimidasi oleh kinerja Susanna Wesley atau pendekar waktu teduh lainnya. Saya hanya perlu berfokus pada tujuan pokok waktu teduh: menjalin hubungan personal dengan Tuhan. Bukankah itu sebuah tujuan yang melegakan, sebuah tujuan yang oleh anugerah Tuhan disediakan bagi setiap orang beriman, bukan hanya bagi rohaniman elit?

Setelah mantap dengan tujuan itu, disiplin berwaktu teduh dapat dijalani kira-kira seperti disiplin berolahraga. Suatu ketika, saya mencoba mulai berolahraga jalan cepat (catatan: sebelumnya saya tidak terbiasa berolahraga). Pakar kesehatan menyarankan, untuk mencapai taraf kebugaran minimal, saya harus berjalan kaki sejauh 3,2 km dalam waktu kurang dari 30 menit dan melakukannya paling sedikit tiga kali seminggu. Namun, saya malah bisa terkapar sakit bila berusaha mencapai taraf kebugaran itu dalam minggu pertama. Bukan begitu caranya. Melainkan, saya harus mengawalinya dengan berjalan cepat 10 menit pada minggu pertama, menambah porsi 5 menit pada minggu berikutnya, 5 menit lagi minggu depannya, dan seterusnya. Meningkat secara bertahap, sedikit demi sedikit – itu dia kuncinya!

Tantangan berikutnya adalah konsistensi. Ini cerita yang lain lagi. Saya berhasil memenuhi tuntutan taraf kebugaran minimal dalam waktu sekitar sebulan, kemudian asyik berjalan cepat 30 menit setiap pagi selama... sekitar empat bulan. Ketika kami sekeluarga pindah rumah, saya melupakan aktivitas jalan cepat.

Berwaktu teduh juga perlu dikembangkan secara bertahap dan secara konsisten, dan tantangan untuk konsisten saya akui lebih berat. Dalam persekutuan bapak-bapak di gereja kami, kami ditantang untuk berwaktu teduh secara rutin selama sepuluh minggu berturut-turut – dengan penegasan: tanpa bolong-bolong. Anda tentu bisa menebak apa yang terjadi: pada minggu kedua saya sudah gagal. Saya melewatkan hari tertentu tanpa berwaktu teduh. Lalu?

Di sini saya mesti berhenti membandingkan waktu teduh dengan olahraga dan kembali pada esensi waktu teduh: hubungan. Hubungan oleh anugerah Allah. Artinya, Allah yang memprakarsai, Allah yang memampukan, dan Allah yang menyempurnakan kita. Pengakuan Teresa dari Avila – ”Ya Tuhan, aku tidak mengasihi-Mu. Aku bahkan tidak ingin mengasihi-Mu. Tetapi Tuhan, aku ingin agar aku ingin mengasihi-Mu. Amin” – meneguhkan hal itu. Kita tidak dapat memantik dan mempertahankan kerinduan tersebut dengan kekuatan kita sendiri. Hubungan ini hanya mungkin diawali dan dipelihara oleh anugerah Allah.

Dalam hal ini, kesaksian orang percaya yang merindukan hubungan personal dengan Tuhan kembali menguatkan saya. Selain kesaksian kegigihan ala Susanna, saya juga menemukan pengakuan mereka yang bergumul untuk menjalani waktu-waktu persekutuan dengan Tuhan. C.S. Lewis, misalnya, secara jujur mengakui kesulitannya berkonsentrasi. ”Yang paling sering mengganggu doa pribadi saya bukanlah hambatan yang besar, melainkan hambatan yang kecil-kecil, yaitu hal-hal yang harus dilakukan atau dihindari pada jam-jam berikutnya,” katanya.

Penulis The Chronicles of Narnia ini bahkan pernah terpuruk. Ketika istrinya tercinta, Joy Davidman, meninggal karena kanker, ia sangat terpukul. Imannya terguncang, dan tak ayal hal itu berpengaruh pada hubungannya dengan Tuhan. ”Bila kita bahagia, begitu bahagia sehingga merasa tidak membutuhkan Dia, begitu bahagia sehingga tergoda untuk merasa bahwa tuntutan-Nya atas diri kita merupakan gangguan, jika Anda teringat pada diri sendiri dan berpaling kepada Dia dengan ucapan syukur dan pujian, Anda akan – atau begitulah rasanya – disambut dengan tangan terbuka. Tetapi, cobalah mendatangi-Nya sewaktu kebutuhan Anda begitu mendesak, sewaktu segala bantuan lain sia-sia saja, apa yang akan Anda temukan? Pintu yang dibanting di depan hidung dan suara gerendel dan gembok dipasang di sebelah dalam. Sesudah itu, senyap,” ungkapnya dalam sebuah buku yang sangat personal, A Grief Observed (1960).

Namun, akhirnya Lewis menemukan keteguhan. Ia menyatakan, ”Saya tahu sekarang mengapa saya tak mendapatkan jawaban apa pun. Karena Engkaulah Jawaban itu sendiri. Sewaktu saya menemukan Engkau, segala pertanyaan pun lenyaplah.”

Pengalaman Susanna dan Lewis, bagi saya, memberikan gambaran sekilas tentang potensi hubungan personal dengan Tuhan. Dengan penuh kegigihan, kita mungkin mencapai puncak gunung keintiman dengan Tuhan yang mengobarkan hati. Akan tetapi, boleh jadi pula kita malah terbanting ke dalam lembah pekat kekelaman yang menggiriskan. Satu-satunya harapan kita hanyalah: baik di puncak gunung maupun di ceruk lembah, Tuhan hadir – Dia senantiasa menyertai kita. Dia menggunakan baik ekstasi puncak gunung maupun sengsara ceruk lembah untuk membentuk dan memperkokoh iman kita.

Allah tidak murka dan memutuskan hubungan ketika saya gagal berwaktu teduh satu kali, bahkan sekalipun saya gagal ribuan kali. Dia senantiasa mengulurkan tangan. Tinggal saya memberi diri untuk direngkuh kembali oleh-Nya: menyadari ketidakkonsistenan saya, mengakui ketidakmampuan saya, dan menerima pemulihan dan pertolongan-Nya untuk mencoba lagi dengan kekuatan baru dari-Nya. Sekalipun saya gagal untuk konsisten, mudah-mudahan saya tidak pernah gagal untuk secara gigih mencoba dan mencoba lagi.

Oleh anugerah-Nya. ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion