Surat Terbuka untuk Marlina


Marlina yang baik,

Aku tergopoh-gopoh menontonmu tak lain karena puji-sanjung yang melingkupimu jauh-jauh hari sebelum kamu hadir di bioskop-bioskop negeri ini. Penggemar film mana yang tidak kemecer nonton film yang berkibar-kibar di Cannes? Siapa yang tidak kepincut menyimak akting Marsha Timothy yang diganjar penghargaan Aktris Terbaik di Sitges International Fantastic Film Festival 2017, antara lain dengan mengalahkan Nicole Kidman? Siapa yang tidak penasaran membaca berbagai ulasan serbakemilau dan cuitan penuh apresiasi di medsos?

Sayangnya, Kamis malam itu hujan mengguyur Yogyakarta. Baru Jumat malam aku nekat menerobos gerimis, dan berhasil mendapatkan tempat duduk favorit di bioskop kesayanganku. Teman nonton jam tayang itu kira-kira 50 orang. Lumayan, tapi kalah jauh dari Justice League yang tumpat-padat.

Kisahmu yang dibesut Mouly Surya ini membuka diri dengan pemandangan bentang savana Sumba, seorang pengendara motor melintasinya, diiringi musik ala Ennio Morricone dan bunyi ketukan ritmis kentongan. Judul menjelaskan kisahmu bakal dibagi dalam empat babak, masing-masing babak memiliki subjudul tersendiri. Hmm, koboi spageti ketemu Tarantino nih, pikirku. Baru belakangan aku mendapati kamu tidak ditawari spageti, tetapi sate—entah bumbu kacang entah bumbu kecap.

Adegan beralih ke dalam ruangan—ruang tengah rumahmu. Kami menyaksikan kamu berinteraksi dengan Markus, tamu si pengendara motor tadi. Kamu mengaku suamimu sedang pergi, tetapi sebenarnya ia sudah mati, dan muminya didudukkan di pojok ruangan dalam posisi menekuk kaki.

Markus datang untuk menagih utang. Ia tidak sendirian, tapi menunggu enam temannya menyusul. Tujuannya mengangkut seluruh ternakmu dan menidurimu secara bergiliran. Ia bilang, malam itu kamu bakal jadi perempuan paling bahagia. Tentu saja kamu mendesis, menyatakan dirimu adalah perempuan paling sengsara. Markus mencibir kurang ajar, “Ah, kau perempuan, sukanya menjadi korban.”

Kamu pun mesti memutar otak untuk meloloskan diri gerombolan pemangsa buas itu. Dan, dalam satu babak, kamu sukses menuntaskan misimu: memenggal kepala Markus setelah meracuni empat temannya. Dua laki-laki lain sudah disuruh pergi duluan melarikan ternakmu.

Dalam tiga babak berikutnya, kamu berupaya membereskan kasus itu secara hukum. Namun, mudah diduga, kamu malah kapiran dan dikejar-kejar dua lelaki yang masih tersisa. Sebelumnya kamu bertemu dengan Novi, yang tengah hamil sepuluh bulan, dan nantinya kalian bahu-membahu mengatasi persoalan pelik ini.

Begitulah. Kisahmu dituturkan secara lempang, tidak aneh-aneh, tidak berumit-rumit, mudah diikuti. Pesan yang hendak disampaikan juga relatif gamblang. Dan, pesan yang penting. Sangat penting. Tentang perlawanan terhadap patriarki. Tentang perjuangan perempuan membela dan menegakkan martabatnya ketika dilecehkan oleh laki-laki dan polisi. Relevan bukan dengan kondisi kekinian perempuan di negeri ini?

Secara tak terduga, pesan itu tersusup juga melalui pemberian judul. Judul film tertera dalam bahasa Inggris: Marlina the Murderer in Four Acts. Subjudul tiap babak juga berbahasa Inggris, disertai subtitle bahasa Indonesia. Adapun dialognya diberi subtitle bahasa Inggris. Babak ketiga berjudul The Confession. Subtitle bahasa Indonesianya: Pengakuan Dosa. Ini agak ganjil. Soalnya, di babak kedua kamu mengaku pada Novi bahwa kamu sama sekali tidak merasa berdosa. Kamu adalah korban. Di babak ketiga ini, kamu juga tidak mengakui dosa. Kamu hanya menceritakan peristiwa semalam pada polisi yang menyimak secara ogah-ogahan setelah sebelumnya membiarkanmu menunggu mereka bermain ping-pong. Apakah subtitle itu hendak menyiratkan bahwa menjadi korban itu dosa? Perempuan dirampok dan diperkosa itu gara-gara ulah dan kesalahannya sendiri?

Selebihnya, gambar-gambar filmmu ini amat menawan. Lanskap luar ruangnya sungguh Garinian (baru belakangan terbaca di credit title: beliaulah, Garin Nugroho, pencetus ide ceritamu. Pantes, gumamku). Jalan yang meliuk-liuk menembus savana membuatku bertanya-tanya bagaimana kalian mengatur pengisian bahan bakar kendaraan agar tidak mogok di tengah jalan. Adapun tata adegan di dalam ruangan mengingatkan pada Tokyo Story-nya Ozu: kamera yang anteng menyimak interaksi antarpemain, yang leluasa keluar-masuk bingkai.

Begitulah. Di atas layar, semuanya beres dan genah. Terkesan meditatif dan indah—keindahan yang terasa mencuat berbeda dari film Indonesia selama ini. Mudah untuk memaklumi kenapa kisahmu ini menuai pujian berbinar-binar. Mestinya aku pun ikut bertepuk tangan.

Namun, entah kenapa, aku merasa kecewa. Aku tahu ini respons pribadi yang subyektif. Kemungkinan besar kesalahannya bukan pada filmmu, melainkan pada caraku mencernanya. Aku malah jadi bertanya-tanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan daya apresiasiku. Jangan-jangan aku cuma tergoda untuk sok melawan arus. Jangan-jangan aku sudah keracunan gaya tutur Hollywood sehingga kesulitan menikmati film yang dikemas secara berbeda.

Soalnya, beberapa hari sebelumnya aku menonton The Assassin (Hao Hsiao-Hsien, 2015). Jagoannya juga cewek, seperti kamu. Filmnya juga meditatif dan indah, seperti filmmu. Ceritanya juga sederhana, meskipun banyak rongga yang perlu dijelaskan. Pesannya juga gamblang: alih-alih menuntaskan kesumat masa lalu, si jagoan cewek memutuskan untuk membuka ruang bagi tumbuhnya kemungkinan baru pada masa depan. Anehnya, aku mendapatkan kesan yang kurang lebih sama dengan setelah menonton kisahmu, Marlina.

Begini. Keindahan filmmu seperti hamparan rata dua dimensi. Dingin pula. Kesan meditatifnya mengelabui. Tidak berdenyut. Tidak menggeliat. Seperti lukisan tak bernyawa. Sedap dipandang, tertata begitu rapi, sekaligus mengingatkan untuk diperlakukan secara hati-hati. Dialog dan adegan tak memantik kegentingan dan kegawatan yang semestinya. Lontaran santai Markus yang bakal merampok ternakmu dan menidurimu, misalnya, tak terasa sebagai ancaman yang memicu ketegangan. Datar-datar saja. Babak demi babak, aku merasa hanya disuruh menonton, tetapi tidak dipersilakan masuk ke dalam ruang kisahmu.

Bandingkan dengan Turah (Wicaksono Wisnu Legowo, 2016). Wicaksono terlihat menguasai betul medan cerita dan kejiwaan warga. Seakan-akan seorang bocah Kampung Tirang sendiri menuturkan nasib mereka. Filmmu ini, Marlina, baru di tataran tamasya yang eksotis dengan bonus pertunjukan drama kisahmu yang getir.

Mungkinkah itu sedikit-banyak berkaitan dengan ekspresi wajahmu? Aku teringat pada Frodo yang sepanjang The Lord of the Rings lebih sering mirip orang sembelit. Seingatku kamu hanya sekilas tersenyum saat menikmati sate enak si Topan. Selebihnya: judes menahan geram. Dalam hal ini, penampilan Novi lebih mencuri perhatian, lebih alamiah.

Di satu sisi, aku bisa paham. Memangnya ekspresi bagaimana lagi yang mau diharapkan dari seorang perempuan yang semalam dirampok dan digagahi?

Di sisi lain, ekspresi itu seperti berkata, “Tahan! Berdirilah saja di situ. Kalian tonton saja nasib tragis kami. Tak usah ikut campur. Kami bisa mengatasi persoalan sendiri. Ini isu yang pelik dan sensitif. Tidak main-main. Tidak patut disentuh sembarangan. Memangnya kamu tahu apa?”

Dan, kamu memang mengatasi segalanya sendiri. Sampai kamu harus bergandeng tangan dengan Novi. Hanya dengannya kamu berbagi.

Jika Thelma dan Louise disudutkan oleh keadaan untuk mengakhiri petualangan mereka—dan mereka memilih mengakhirinya dengan seelegan mungkin, menjadi salah satu ending paling mengesankan dalam sejarah sinema—kalian mendapatkan berkat terselubung: kamu dan Novi berkesempatan menyambut babak petualangan baru bersama si bayi.

Namun, ketika kamu dan Novi menghilang di kejauhan, di kelokan jalan, aku merasa kosong dan lengang. Merasa ditepiskan. Mungkin memang itu respons yang kauharapkan dari kami yang menonton kisahmu.

P.S. Biji merah yang kamu gerus bareng bumbu sop ayam itu biji apa sih? Dapat dari mana kok kelihatan masih segar? Jadi, kamu memang sudah siap-siap racun untuk menghadapi situasi tak terduga atau mesti mendadak nyari dulu? Kamu enggak sempat keluar rumah, lho.

Catatan:
Naskah ini terpilih sebagai Pemenang Lomba Penulisan Kritik Film dalam Apresiasi Film Indonesia 2018 yang diadakan oleh Pusbang Film Kemdikbud.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion