The Power of Meditation
Meditasi. Ini kedengarannya seperti sebuah kosa kata asing bagi kebanyakan umat kristiani. Orang Kristen bermeditasi serasa sebagai sebuah kejanggalan, sesuatu yang tidak lazim. Kita cenderung mengaitkannya dengan spiritualitas agama-agama Timur. Nyatanya, meditasi adalah salah satu mata rantai penting dalam ibadah kristiani.
Meditasi tak lain adalah resep kesuksesan Yosua. Kitab Mazmur dibuka dengan pentingnya meditasi. Timotius didorong oleh Paulus untuk bertekun dalam meditasi guna menjaga kebugaran dan vitalitas rohaninya.
Bermeditasi dengan merenungkan firman Tuhan juga menjadi praktik keseharian jemaat Tuhan dari abad ke abad. Guigo II, seorang biarawan abad ke-12 misalnya, menguraikan ”tangga” doa sebagai lectio, meditatio, oratio, contemplatio (membaca Alkitab, bermeditasi, berdoa, berkontemplasi).
Mengapa penting bermeditasi? Charles Haddon Spurgeon (1834-1892), ”Raja Pengkhotbah” dari Inggris, memaparkan empat manfaat utama bermeditasi atau merenungkan firman Tuhan.
Pertama, bermeditasi menolong kita menemukan ”intisari” kebenaran firman Allah. Orang yang makan tidak menelan makanannya begitu saja, namun makanan itu mesti melewati proses pencernaan sejak dari mulut sampai ke usus, agar sari-sarinya dapat terserap dengan baik oleh tubuh. Gabah perlu digiling menjadi beras sebelum dapat ditanak dan kemudian dinikmati sebagai nasi.
Begitu juga dengan firman Tuhan. Tidak cukup kita hanya membaca, mendengarkan, menandai atau mempelajarinya. Kita juga perlu bermeditasi atau merenungkannya untuk meresapkan nilai-nilai kebenaran tersebut.
Kedua, bermeditasi menolong kita menanamkan kebenaran itu di dalam ingatan kita. Kita semua cenderung gampang lupa. Khotbah yang kita dengar pada pagi hari, tak jarang siangnya sudah kita lupakan. Perikop Alkitab yang kita baca sebelum mandi pagi, sehabis sarapan sudah tak kita ingat lagi. Lalu, saat kita diperhadapkan pada tantangan dan masalah hidup, kita seperti prajurit yang tidak memegang senjata–tidak tahu mesti mendayagunakan prinsip firman Tuhan yang mana untuk menyikapinya. Merenungkan firman Tuhan, mengunyahnya berulang-ulang seperti sapi memamah biak, menjadikan firman itu lekat dalam ingatan.
Ketiga, bermeditasi menolong kita menyingkapkan kebenaran dan memahami maknanya. Mungkin saja orang menemukan butiran emas di permukaan tanah, namun sebagian besar bungkahan emas terpendam di kedalaman bumi. Artinya, kita perlu menggalinya untuk mendapatkannya. Bermeditasi, dengan demikian, tak lain sebuah kerja keras untuk menggali bungkahan kebenaran yang tersembunyi di kedalaman firman Tuhan. Perlu waktu dan kesabaran.
Keempat, semakin terbiasa kita bermeditasi, semakin mudah pula kita menyambut kebenaran. Pernah memasak di tungku tanah liat? Kalau apinya masih kecil, dan Anda memasukkan kayu yang masih agak lembab, kemungkinan besar api itu akan padam. Namun, saat apinya sudah berkobar-kobar, kayu yang masih lembab pun akan disambarnya. Orang yang terbiasa bermeditasi menjaga api di tungku hatinya senantiasa menyala-nyala. Bagi orang semacam ini, khotbah yang sederhana dan disampaikan oleh pengkhotbah yang membosankan pun bukan masalah: ”kayu yang lembab” itu akan dibakarnya dan membuat hatinya kian berkobar!
Begitu besar manfaat meditasi, namun, seperti tersirat dari uraian di atas, bermeditasi juga sebuah kerja keras, suatu disiplin rohani. Meditasi bukan suatu praktik yang bisa dilakukan sambil lalu. Kita perlu meluangkan waktu khusus, dan sejenak menutup diri dari kesibukan dunia yang menuntut perhatian kita.
Tak mengherankan kalau meditasi terasa sebagai sesosok momok menakutkan bagi orang-orang modern yang supersibuk. Seperti ditengarai oleh Winkie Pratney, ”Orang sekarang ini takut akan keheningan. Orang cenderung lebih suka bergerak, bertindak, atau melakukan kesibukan apa saja, karena mereka takut mendengar suara Allah. Padahal justru kesibukan itulah yang menghambat kita untuk mengenali diri kita yang sebenarnya dan sosok Allah yang sesungguhnya.”
Karenanya, kehadiran buku semacam ini kiranya menggugah gairah pembaca untuk mengembangkan disiplin rohani bermeditasi, untuk meluangkan waktu khusus guna bersaat teduh. Renungan dalam buku ini dimaksudkan untuk menemani—bukan menggantikan—waktu teduh Anda sepanjang tahun ini. Anggaplah renungan ini sebagai hasil pembacaan seorang sahabat yang rindu untuk membagikan apa yang ditemukannya dalam perenungan atas suatu perikop Kitab Suci. Seorang sahabat yang berharap apa yang dibagikannya itu memperkaya perenungan pribadi Anda.
Saat kita merenungkan firman Tuhan dengan tekun, dari hari ke hari kita akan menemukan iman yang segar dan kekuatan yang baru untuk menjalani kehidupan bersama dengan Tuhan. ***
Comments
Post a Comment