Yang Bukan Seleb Tidak Usah Ambil Bagian!
Setelah sekian tahun memerintah dan mereguk manis-getirnya kehidupan, Raja Salomo (Sulaiman) menyimpulkan salah satu pengamatannya, yang menunjukkan betapa ia semakin arif memahami perjalanan hidup manusia. Dalam Kitab Pengkhotbah ia menulis, “Aku melihat lagi kesia-siaan di bawah matahari: ada seorang sendirian, ia tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki, dan tidak henti-hentinya ia berlelah-lelah, matanya pun tidak puas dengan kekayaan;—untuk siapa aku berlelah-lelah dan menolak kesenangan?–Ini pun kesia-siaan dan hal yang menyusahkan.”
Umberto Eco, ahli semiotik dan novelis Italia, membuat pengakuan menggelitik. “Saya ingin membuat sebuah buku dan seorang anak, sebab hanya dengan cara itulah kita bisa mengatasi kematian: benda yang terbuat dari kertas dan benda yang terbuat dari daging. Permainan cinta semata-mata, hanya demi kenikmatan belaka, merupakan hal yang tolol; tidak ada hasil yang bisa diperoleh dari hal itu. Tetapi kematian saya bisa mempunyai makna kalau seseorang menggantikan saya dan meneruskan kehidupan saya. Dan saya menulis buku, bukan untuk memperoleh sukses sekarang, tetapi dengan harapan bahwa seribu tahun yang akan datang buku itu paling tidak masih masuk dalam daftar kepustakaan atau dalam catatan kaki.”
Baik Salomo maupun Eco menangkap kegelisahan dan pergumulan manusia untuk memaknai hidupnya, menghitung hari-harinya. Benang merahnya adalah: Setiap orang ingin dikenang.
Namun, ada orang yang “sendirian; tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki”. Ini simbol orang yang egois—hidup hanya untuk diri sendiri. Perspektif mereka sempit, serba mengejar kenyamanan dan sukses sesaat.
Sebaliknya, banyak pula orang yang berusaha "mengatasi kematian". Mereka melakukannya dengan berbagai cara. Ada orang yang menulis buku atau menghasilkan karya seni. Ada yang membangun gedung, lalu menamainya menurut nama mereka. Ada yang memberikan sumbangan besar kepada suatu lembaga, sehingga nama mereka tertera pada piagam penghargaan. Ada pula yang mendirikan yayasan, seperti Yasayan Nobel.
Suatu jalan untuk “mengatasi kematian” yang kian mencuat dan kian marak pada era medsos ini tidak lain adalah: budaya selebritas.
Era Para Seleb
Selebritas, menurut pakar sejarah Daniel Boorstin, adalah "seseorang yang dikenal karena keterkenalannya." Zaman dulu, nama seseorang tidak akan bisa dikenal luas kecuali kalau ia memberikan contoh kebesaran dirinya dalam satu atau lain hal. Dengan kata lain, keunggulan karakter seseoranglah yang benar-benar diperhitungkan. Namun, sepanjang abad kedua puluh, semakin lama semakin rancu pengertian antara pemujaan terhadap selebritas dan pemujaan terhadap para pahlawan yang meneladankan keunggulan karakter. “Kita semua sudah rela disesatkan, sehingga percaya,” kata Boorstin, “bahwa kemasyhuran—keterkenalan—masih menjadi tanda kebesaran.”
Bukan hanya para bintang dalam industri hiburan, tetapi pengusaha, pengacara, dokter, ekonom, penulis, pendidik, pemimpin agama sampai presiden pun bisa tergoda mengenakan selubung selebritas yang serba kemilau. Pejabat pemerintah dan wakil rakyat yang bukannya sibuk tebar kinerja malah hilir-mudik tebar pesona tengah berkubang dalam gebyar budaya selebritas. Dan, kita memuja-muja para pesohor itu—sosok-sosok yang oleh Boorstin disebut pseudo-people, orang-orang semu. Era ini seolah-olah berseru: Yang bukan seleb tidak usah ambil bagian!
Budaya selebritas menghancurkan realitas dan menggantinya dengan ilusi: yang disebut reality show di televisi itu tidak lain pementasan kejadian yang telah direkayasa dan diarahkan; sosok-sosok pesohor yang mondar-mandir di ruang publik itu telah dibesut sedemikian rupa sehingga menampilkan citra sesuai dengan yang diinginkan. Budaya selebritas menawari kita kemasan yang elok, dengan substansi yang bagai kucing dalam karung. Dalam budaya selebritas, prestasi bisa berkibar-kibar tanpa landasan karakter dan budi pekerti yang kokoh. Budaya selebritas, singkatnya, menawarkan perspektif yang juling: ia menyulap kesia-siaan menjadi komoditas yang menawan.
Sebagai sebentuk kesemuan, budaya selebritas tidak jarang menelan korbannya sendiri. Simaklah kisah Bimbi yang “langsung ngetop namanya” dalam lagu Titiek Puspa. Atau, simaklah kisah Howard Hughes.
Menggilas Akal Sehat
Kebanyakan orang akan menganggap ia telah berada di puncak dunia. Apa lagi yang masih kurang? Sejak kecil ia telah bermimpi—“Kalau aku besar nanti, aku akan menerbangkan pesawat tercepat yang pernah dibuat manusia, membesut film terhebat yang pernah ada, dan menjadi orang paling kaya di dunia”—dan hidupnya merupakan penggenapan dari impian tersebut. Ketika masih remaja ia telah mewarisi bisnis ayahnya yang sukses. Dengan kucuran dana yang seperti tak kunjung habis, ia mengerahkan segenap kenekatan untuk mewujudkan serangkaian ide gilanya. Dunia dibuatnya tercengang. Selebihnya, sederetan selebritas jelita jatuh ke dalam pelukannya.
Penggalan hidupnya tersebut diangkat ke dalam film The Aviator (2004) garapan Martin Scorsese. Hughes tampil sebagai sosok yang flamboyan, jenius, visioner, keras kepala, playboy, dan eksentrik. Namun, ia juga sekaligus penyendiri: Ia fobia terhadap orang dan bakteri, dan nantinya digerogoti penyakit mental dan fisik. Dalam dirinya, kita melihat batas tipis antara kejeniusan dan kegilaan.
Film ini merayakan sisi tersebut secara gegap-gempita, tetapi The Aviator berhenti saat Hughes berada di tubir ketidakwarasan. Scorsese tampaknya enggan memotret akhir tragis tokoh ini. Selama sepuluh tahun terakhir masa hidupnya sampai meninggal pada 1976, Hughes menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan menyendiri, berpindah-pindah dari penthouse hotel satu ke penthouse hotel lainnya.
Ketika selama empat tahun tinggal di Desert Inn Hotel, Las Vegas, ia suka menonton televisi mulai dari tengah malam sampai pukul enam pagi. Sayangnya, stasiun setempat hanya mengudara sampai pukul sebelas malam. Asisten Hughes berulang mendesak Hank Greenspun, pemilik stasiun, untuk menyiarkan film-film koboi dan penerbangan kesukaan Hughes pada jam-jam dini hari. Greenspun akhirnya menjawab, “Kenapa ia tidak membeli saja stasiun ini dan memutar program sesuka hatinya?” Hughes sepakat, dan ia pun mengeluarkan 3,6 juta dolar untuk membeli stasiun itu—agar dapat menyiarkan acara favoritnya dari pukul sebelas malam sampai pukul enam dini hari.
Sewaktu ia meninggal dunia, gaya hidupnya yang suka menyendiri dan penggunaan obat-obatan secara berlebihan membuat penampilannya sulit dikenali. Rambut, cambang, kuku jari tangan, dan kuku jari kakinya bertumbuh panjang tak terurus. Tubuhnya yang semula kuat dan tegap tinggal berbobot sekitar 41 kilogram. FBI mesti mengambil sidik jarinya guna mengenali identitas jenazah tersebut. Hidupnya berakhir secara mengenaskan.
Impiannya, akan pesawat yang mampu terbang di atas awan dan mengangkut banyak penumpang sekaligus, merupakan sebuah terobosan jauh ke masa depan. Di sini kita salut akan kegigihannya mewujudkan visi, berapa pun harga yang harus dibayarnya. Di sisi lain, menyimak gaya hidupnya yang serba gemerlap, tetapi sekaligus ditelikung oleh obsesi seksual, cengkeraman materialisme, dan gangguan mental, kita sedang menyaksikan drama selebritas yang getir dan mengguncangkan.
Budaya selebritas melahirkan pemaknaan yang sungsang terhadap pencapaian hidup dan kehidupan itu sendiri. Budaya selebritas memperkuat kesemuan, bukan kesejatian. Ia menawarkan sebuah gaya hidup yang menggilas akal sehat.
Makna Hidup
Orang kerap menyamakan kehidupan yang penuh makna dengan kehidupan yang sukses. Namun, bila kita renungkan lebih jauh, sukses tidak menjamin bahwa kita akan meninggalkan "warisan", sesuatu yang berharga dan akan terus dikenang oleh generasi selanjutnya.
Bahkan, kalau kita hidup hanya untuk mengejar sukses, kita akan sangat frustasi. Mengapa? Ketika kita mengukir sebuah prestasi, kita berpikir, “Aku berhasil!” Namun, beberapa hari atau beberapa minggu kemudian, perasaan itu akan memudar. Maka, kita harus menetapkan sasaran lain, mengejar tantangan lain—selagi gairah dan tenaga belum loyo. Hasilnya: Sebuah lingkaran setan yang terdiri atas tidak pernah cukup dan tidak pernah puas!
Jadi, bagaimana sepatutnya kita hidup? Apakah kita akan menghabiskan hidup ini dengan dengan mengejar sukses demi sukses? Rancho dalam film 3 Idiots mengatakan, “Jangan mengejar sukses. Kejarlah keunggulan, maka kesuksesan akan mengikuti di belakangmu.” Dengan kata lain, ada perkara dalam hidup ini yang jauh lebih hakiki daripada sukses itu sendiri.
Pandangan orang-orang bijak dari zaman ke zaman menunjukkan hal tersebut. Sehubungan dengan makna hidup, mereka menyampaikan jawaban yang sederhana, tetapi sangat mendalam. Orang Yunani, misalnya, menganggap kesenangan hidup yang mendalam lebih ditentukan oleh kondisi pikiran, bukan oleh keadaan tubuh. Negarawan Romawi Cicero menyatakan, “Tidak ada orang bodoh yang bahagia, dan tidak ada orang bijaksana yang tidak bahagia.” Filsuf Yunani Epicurus menyimpulkan, orang yang paling puas mengingat masa lalu dengan penuh ucapan syukur dan menerima situasi mereka saat ini tanpa mencemburui apa yang dimiliki orang lain.
Yesus Kristus ketika mewartakan Injil menawarkan Hukum Kasih. Ia mengaitkan kesuksesan hidup bukan dengan pencapaian, kekuasaan, atau akumulasi kekayaan, melainkan dengan hubungan. Ketika ditanyai tentang perkara yang paling penting dalam hidup ini, ia menunjuk pada tiga hubungan utama dalam kehidupan kita: hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, dan hubungan dengan sesama.
Dalam hubungan dengan Tuhan, kita menemukan signifikansi. Kita diterima dan dikasihi oleh Tuhan tanpa syarat. Kasih Tuhan inilah sumber dan motivasi untuk memiliki hubungan yang benar dengan diri sendiri dan sesama. Brennan Manning, imam Katholik dan penulis AS, menggarisbawahi, “Definisikan dirimu sendiri secara radikal sebagai orang yang dikasihi oleh Tuhan. Itulah identitas diri yang sejati. Identitas lainnya hanyalah ilusi.”
Dalam hubungan dengan diri sendiri, kita menemukan otentisitas. Otentisitas berkaitan dengan kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai pribadi yang unik dan diciptakan oleh Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang. Otentisitas ini selanjutnya menantang kita untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidup, agar dapat melayani orang lain dengan lebih baik lagi.
Adapun dalam hubungan dengan sesama, kita menyatakan kasih. Kita dipanggil untuk menjadi rahmat dan berkat bagi sesama. Orang Jawa mengatakan, “Urip ikut urup” (Hidup kita hendaknya bermanfaat bagi orang lain). Bersediakah kita melayani dan menolong satu sama lain tanpa membedakan suku, agama, ras, atau golongan? Maukah kita “memayu hayuning bawana, ambrasta dur angkara” (mengupayakan kesejahteraan bersama, melawan ketidakadilan)?
Bahwa hubungan adalah yang terutama, bukan berarti kita menafikan sukses. Hubungan dimaksudkan untuk menempatkan sukses pada perspektif yang semestinya. Sukses bukan lagi tujuan akhir; sukses hanyalah salah satu sarana untuk membangun makna hidup. Untuk setiap kesuksesan kita dapat bertanya: Apakah dengan kesuksesan ini saya semakin mensyukuri kebaikan Tuhan? Apakah saya menemukan otentisitas diri lebih jauh lagi? Apakah hal ini mendorong saya mengasihi dan melayani sesama dengan lebih baik?
Dengan memaknai hidup sedemikian rupa, sejatinya kita sedang mengatasi kematian. ***
Comments
Post a Comment