Kisah Siwi Gadis Temanggung yang Mengharukan



Saya membaca novel karya teman saya Arie Saptaji ini dengan penuh minat. Mengapa? Karena saya pernah baca novel tulisannya  yang sebelumnya "Warrior Sepatu untuk Sahabat" dan novel perdananya itu menarik serta yang terpenting sederhana. Ya di tengah gempuran bacaan remaja yang sering menceritakan gadis kota lengkap dengan pernak-pernik dan kegenitan kota, asyik juga baca kisah gadis desa dengan latar pegunungan yang alami dan lugu.

Di novel keduanya Arie kembali menuturkan cerita tentang gadis desa nan lugu. Siwi tokoh novel "Dalam Rinai Hujan" ini gadis desa di Temanggung yang bersekolah di sebuah  SMA  di Parakan. Parakan kota kecil di barat Temanggung. Lika-liku anak sekolah SMA lengkap dengan teman-teman pergaulannya atau "peer group" nya diceritakan dengan runtut.

Masalah mulai muncul saat Siswi lulus SMA dan setengah menganggur. Kegiatannya hanya membantu berjualan di warung kecil ibunya. Desa yang dulunya nyaman lama-lama menjadi  tempat yang membosankan. Hiburan  satu-satunya televisi pun tak berhasil mengusir rasa jenuh Siwi. Dia mulai berangan-angan bekerja di kota yang gemerlap.

Gayung bersambut tak sengaja Siwi bertemu Marni gadis tetangga desa yang bekerja di Yogya. Marni yang tampil seksi dan modis memikat hati Siwi untuk ikut ke kota. Hanya pamit pada adiknya Widi tanpa restu ibu yang sedang pergi ke Parakan, Siwi pergi ke Yogya mengikuti Marni dan teman laki-lakinya.

Rupanya kepergian Siwi ke Yogya mengubah nasib dan perjalanan hidupnya. Siwi diperdaya dan akhirnya diperkosa oleh teman Marni. Untunglah saat kebingungan, kelelahan, dan akhirnya pingsan Siwi ditolong seorang penjual nasi goreng yang baik  hati Bu Gino. Bu Ginolah yang akhirnya menampung  Siwi dengan memberi tumpangan untuk tinggal di rumahnya. Bahkan memberi pekerjaan di warung nasi  gorengnya.

Siwi yang masih trauma dengan kejadian tragis yang menimpanya pelan-pelan dihibur  dan dinasehati oleh Bu Gino. Ada pula tokoh Jarot mahasiswa yang  bekerja sambilan menjadi tukang fotokopi. Jarot yang setia menemani dan mengantar Siwi  keliling Yogya. Pelan-pelan luka hati dan trauma jiwa Siwi sembuh.

Sementara di rumah Bu Mujiyo ibu Siwi dan Widi adiknya kebingungan melacak Siwi. Apa lagi telepon genggamnya tertingggal sehingga tak dapat dihubungi. Pencarian  Bu Mijiyo ke Yogya melacak alamat Marni tak berhasil.

Widi dan teman-teman sekolahnya tak mau tinggal diam. Mereka berupaya mencari Siwi dengan  cara membuat blog. Blog ini mendapat tanggapan dari Diah di Yogya. Mereka pun bersama-sama membuat selebaran dan dipasang di temapt-tempat yang strategis di Yogya, termasuk dititipkan di warnet.

Sampaikah selebaran ini ke tangan Siwi? Silakan cari jawabannya di novel "Dalam Rinai Hujan".

Arie Saptaji yang lahir dan besar di Ngadirejo Temanggung ternyata tak melupakan tanah kelahirannya. Novel dengan latar Temanggung, Parakan dan sebuah desa yang ada di sana. Suasana desa yang guyup tergambar dengan intens. Demikian juga latar Yogya yang merupakan kota tempat penulisnya menuntut ilmu sekaligus bermukim sekarang. Tak heran  tempat-tempat di Yogya dideskripsikan dengan meyakinkan. Termasuk filosofi Tugu, Sitihinggil Keraton, Gunung Merapi, dan Segara Kidul atau laut selatan. Demikian juga tentang Selokan Mataram. Kali Code, Kali Gajah Wong.

Barangkali yang luput ditulis dan dijadikan latar cerita adalah UNY atau IKIP Yogyakarta. Arie lebih memilih UGM sebagai tempat kuliah Jarot teman Siwi. Tempat dan alur berjalinan dengan harmonis. Bagi yang pernah tinggal di Yogya atau orang Yogya tentu akrab  dengan tempat-tempat yang  dituturkan. Termasuk Bukit Bintang  rumah makan di ketinggian untuk menikmati malam yang sedang ngetop di Yogya.

Keharuan, rasa sakit, luka dari Siwi mengalir pelan-pelan ke benak dan batin pembaca. Saya bahkan ikut meneteskan air mata saat Siwi di warnet melihat ibunya di video yang ditautkan ke blog. Siwi sempat mengirim kaos untuk Widi namun tak mencantumkan alamat. Maka timbullah ide untuk membuat video balasan surat untuk Siwi. Ibunya berbicara di video seolah-olah sedang berbicara dengan Siwi. Cerita tentang Siwi yang melihat sang ibu ini sukses membuat saya terharu, inilah adegan paling mengharukan!

Alhasil, ini novel remaja atau TeenLit yang layak juga dibaca kita yang sudah melewati masa remaja. Bukunya juga bersampul  bagus dengan gambar wajah di balik kaca yang tertetesi air hujan. Bukunya seukuran buku saku, mungil dan tidak tebal. Saya baca dalam waktu dua hari. Sehari saat antri di BCA dan esoknya sengaja saya selesaikan karena ingin mengulasnya.

Novel ini menghibur, meninggalkan jejak di hati. Apa pun yang menimpa kita ada Tuhan yang senantiasa  menerima kita dengan penuh kasih. Tak ada yang luput dari rencanaNya. Baik dan buruk suatu peristiwa tentu ada hikmahnya, demikian kata tokoh Bu Gino. Kita setuju dengan Bu Gino kan?

--Bude Binda
Banjarnegara, Selasa 18 Desember 2012

* Ulasan ini berdasarkan Dalam Rinai Hujan (GPU, 2012). Novel ini diterbitkan ulang oleh Pustaka Patria (2020) bersama dengan dua novel lain dalam Trilogi Temanggung, yaitu Warrior dan Temanggung, Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri