Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?


 

“Cerpen dan dongeng ini dipilih berdasarkan karya penulis favorit pembaca Majalah Bobo dan mewakili era sepanjang 50 tahun Majalah Bobo,” tulis David Togatorop, Editor in Chief Majalah Bobo, dalam kata pengantar untuk Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng.

 

Edisi khusus yang baru beredar pada minggu kedua Oktober 2023 ini tampil secara mewah, dengan sampul tebal berspot UV dan emboss warna emas serta, yang paling menyita perhatian saya, dibubuhi tagline “Terbaik Sepanjang Masa”. Saya tertarik untuk menilik sejauh mana tim redaksi Majalah Bobo bersungguh-sungguh untuk memenuhi klaim tersebut.

 

Saya tidak akan menyorotinya secara kualitas, apakah cerpen dan dongeng yang tersaji benar-benar yang “Terbaik” di antara yang pernah dimuat di Majalah Bobo, karena saya tidak memiliki kapasitas untuk itu. Mestinya redaksilah yang menjelaskan dasar pemilihan dan penyematan kategori “Terbaik” tersebut. Sayang sekali, redaksi tidak memaparkannya.

 

Karena itu, saya akan meneliti secara kuantitas, sejauh mana cerpen dan dongeng dalam koleksi ini mewakili gambaran “Sepanjang Masa”, yang tentu saja mengacu pada 50 tahun perjalanan Majalah Bobo sejak terbit perdana pada 14 April 1973.

 

Edisi Koleksi Terbatas ini menampilkan 27 cerpen dan 23 dongeng. Redaksi tidak menjelaskan perbedaan antara cerpen dan dongeng. Berdasarkan pengamatan sekilas, cerpen adalah cerita berlatar kontemporer, menampilkan kisah-kisah realistis yang selaras dengan pengalaman keseharian anak-anak. Adapun dongeng adalah cerita-cerita imajinatif berlatar masa lalu atau dunia khayal.

 

Dengan adanya 50 cerita, saya membayangkan, setiap tahun bakal diwakili oleh satu cerita yang dianggap terbaik. Betapa seru dan asyik, dan sebuah koleksi yang sungguh berharga!

 

Benarkah demikian? Nyatanya, edisi ini hanya menampilkan cerita dari 18 tahun, dengan rincian sebagai berikut: 1983 (1 cerita), 1985 (1 cerita), 1986 (3 cerita), 1987 (2 cerita), 1988 (1 cerita), 1989 (2 cerita), 1990 (4 cerita), 1991 (8 cerita), 1992 (1 cerita), 1993 (5 cerita), 1994 (7 cerita), 1995 (3 cerita), 1996 (5 cerita), 1997 (1 cerita), 1998 (1 cerita), 2000 (2 cerita), 2002 (1 cerita), dan 2003 (2 cerita).

 

Berarti, hanya 36% tahun yang terwakili dari masa terbit 50 tahun. Tahun 1991 paling banyak wakilnya, yaitu 8 cerita. Apakah pada tahun itu cerpen dan dongeng di Majalah Bobo tengah mencapai puncak kualitasnya? Entahlah, tidak ada penjelasan lebih lanjut dari redaksi.

 

Bila diperinci menurut dekade, penyebarannya sebagai berikut: Dekade Pertama (1973 – 1982) = kosong; Dekade Kedua (1983 – 1992) = 23 cerita; Dekade Ketiga (1993 – 2002) = 25 cerita; Dekade Keempat (2003 – 2012) = 2 cerita; Dekade Kelima (2013 – 2022) = kosong. Penyebaran sangat jelas terlihat njomplang, tidak merata dan tidak seimbang.

 

Bagaimana pula dari aspek penulisnya? Edisi ini hanya menampilkan cerita karya enam penulis, dengan rincian sebagai berikut: Anita Ratnayanti (2 cerita), CIS (1 cerita), Lena D. (14 cerita), Ny. Widya Suwarna (10 cerita), V. Wisnuwardhana (1 cerita), dan Vanda Parengkuan (22 cerita).

 

Selama 50 tahun penerbitan, Majalah Bobo hanya melahirkan enam “penulis favorit pembaca”? Sulit dipercaya. Apakah mereka ini benar-benar penulis favorit pilihan pembaca—melalui survei atau angket, misalnya? Kalaupun hanya enam penulis, masakan ada dua penulis favorit yang hanya diwakili oleh satu cerita karyanya, sedangkan seorang penulis mendominasi dengan 22 (44%) cerita?

 

Lagi-lagi, suatu penyebaran yang tidak seimbang. Mestinya makin banyak penulis makin meriah, dan pembaca mendapatkan kesempatan untuk mengenang lebih banyak nama yang pernah memperkaya dunia imajinasi mereka.

 

Redaksi memberikan catatan: “Semua teks dan ilustrasi yang diterbitkan telah melalui upaya redaksi dalam menghubungi penulis dan ilustrator bersangkutan.” Dengan sajian karya dan penulis yang tidak seimbang tadi, catatan ini menimbulkan pertanyaan.

 

Pertama, apakah arsip dan dokumentasi Majalah Bobo, baik dalam hal naskah cerita maupun data kontak penulis, tidak lengkap? Jika demikian, cukup bisa dimaklumi bahwa redaksi kesulitan menemukan cerita dari dekade pertama. Namun, mengapa karya dari dua dekade terakhir malah nyaris kosong melompong, hanya diwakili dua cerita dari tahun 2003? Bukankah semestinya dokumentasi naskah lebih mudah diakses dan para penulisnya lebih mudah dihubungi?

 

Atau, kedua, hal ini hanya menunjukkan bahwa tim redaksi kurang bersungguh-sungguh untuk membuktikan klaimnya sendiri, sekadar mengejar target terbit dengan pokoknya mengumpulkan 50 cerita? Klaim “Terbaik Sepanjang Masa” jadi terlalu megah. Soal “Terbaik”, redaksi sama sekali tidak memberikan penjelasan. Soal “Sepanjang Masa”, redaksi gagal menampilkan wakil cerita dari setiap tahun penerbitan dan gagal pula memperlihatkan keragaman penulis yang karyanya pernah menghiasi Majalah Bobo.

 

Sangat disayangkan, pembaca kehilangan kesempatan untuk melacak perkembangan cerpen dan dongeng serta penulis cerita Majalah Bobo dari tahun ke tahun sepanjang 50 tahun penerbitannya. ***

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion