Pemilu Masa Orde Baru

Pemilu 1987
SHP Perangko Pemilu 1987 (Sumber: https://m7network.wordpress.com)

 

PEMILU 1987. Pemilu pertamaku. Pemilu yang memancing gairahku untuk ikut larut dalam hura-hura kampanye sekaligus Pemilu yang memadamkan minatku untuk berkecimpung dalam urusan politik.

Sebagai bagian dari kaum minoritas Kristen, tidak terpikir olehku untuk memilih Partai Hijau. Pilihan yang tersisa tinggal Partai Kuning atau Partai Merah. Kuning adalah kepastian. Kuning adalah kejayaan, kebesaran, dan kemenangan. Kampanyenya megah, kolosal, tetapi juga santun, tertib, dan formal. Langkah penuh keyakinan sang juara bertahan bahwa dalam pertandingan kali ini dia pula yang bakal keluar sebagai pemenang. Tak tergantikan.

Mungkin justru karena itu, Merah malah tampak menggoda. Sadar dirinya toh bakal kebagian jatah sebagai juru kunci, ia berkelit untuk mencuri nilai di sana-sini---kemenangan-kemenangan kecil yang sudah menggembirakan jika berhasil membikin si Kuning meradang. Pasukannya tidak banyak, tetapi lebih berdenyut dengan daya hidup, lebih gegap dalam bersorak, lebih urakan, lebih garang, lebih menggelegak. Kecil dan ditakdirkan untuk kalah, tapi tak hendak digilas begitu saja. Dan, karenanya, memikat darah muda yang bosan dengan kemapanan kaum tua.

Di kampungku daya pikat itu secara khusus terwakili oleh Lilis, putri sulung pentolan Partai Merah sekaligus kepala sekolah SMP swasta favorit. Saat ujian kesenian, ketika siswa lain masih menampilkan tari tradisional atau paling jauh tari kreasi baru, Lilis dan gerombolannya menggebrak dengan tari disko diiringi Dancing Queen-nya ABBA. Orang sekampung sudah berjejalan melongok sejak mereka menggelar latihan di salah satu ruang kelas. Pada hari-H, mereka tampil dengan kostum gemerlap yang membikin penonton bergejolak. Para penari pria mengenakan celana cutbray ala A. Rafiq dan kemeja lengan panjang dengan kancing di dada dibiarkan terbuka. Penari wanita mengenakan sepatu bot, celana pendek ketat, dan atasan you-can-see bertaburan manik-manik gemerlap dan belahan dada yang nyaris terjun bebas. Seingatku, baru kali itu orang kampungku begitu tersedot minatnya menonton pertunjukan tarian, nyaris tak kalah dengan gairah mereka saat menonton jathilan atau orkes dangdut. Sampai bertahun-tahun orang masih ingat dan menyebut-nyebut “diskonya Mbak Lilis”.

Cemerlang betul gagasan menjadikan Lilis, yang saat itu sudah mahasiswa dan penampilannya kian menggelora, ujung tombak kampanye puncak Partai Merah. Ia tampil begitu mbois: sepatu berhak tinggi, celana kulit hitam ketat, kaus merah, dibungkus jaket kulit yang sewarna dengan celananya, dan rambut ikal sepundak. Ia laksana kupu-kupu hitam melenggang anggun di antara gerumbul kembang sepatu merah menyala. Magnet yang sungguh sulit ditepiskan oleh remaja puber sebaya diriku.

“Ayo ikut, Dik! Kita berkeliling senang-senang ramai-ramai. Ambil saja kausnya itu. Pilih sendiri.”

Ajakan yang sederhana, tanpa jargon-jargon politik, ditebarkan dengan senyum merekah bibir merah mengilat, nyatanya efektif benar. Aku, yang semula sekadar mengantar Tejo, yang memang simpatisan Partai Merah, tahu-tahu sudah ikut berjejal-jejal di dalam truk yang mengangkut kami dari Ngadirejo ke Temanggung. Berpanas-panas, bersorak-sorai selantang-lantangnya, mendendangkan lagu-lagu perjuangan, memekikkan yel-yel dalam bahasa Jawa, “Partai Merah tidak memaksa! Partai Merah tidak memaksa!” Sepanjang siang sampai petang, Temanggung membara.


Aku pulang dengan tubuh berbau apek, letih, dan puas, serasa baru mengalahkan tim lawan dalam pertandingan kasti di persawahan seusai panen. Dan malamnya aku tidur lelap. Berhias mimpi yang indah: di hamparan persawahan yang luas menguning, aku menggumuli penuh gairah seorang gadis bergaun hitam merah. Aku terbangun dengan napas terengah-engah dan celana dalam basah.

Bapak tidak berkomentar apa-apa ketika aku pulang dari kampanye dalam kondisi kusut namun cengar-cengir. Aku senang Bapak tidak suka mengekang ini-itu, dan baru menghentikan langkah anaknya saat dianggap hendak menuju kawasan kurang ajar. Kukira, untuk Pemilu ini pun, Bapak akan memberiku kelonggaran, membebaskanku memilih partai yang kusukai, seturut dengan asas kebebasan yang digembar-gemborkan sepanjang kampanye. Rupanya dugaanku meleset. Tepat pada malam menjelang pencoblosan, Bapak mengajakku berbicara empat mata.

“Bagaimana? Sudah siap untuk pemilihan besok? Sudah mantap apa pilihanmu?”

Aku tersenyum kecut. Kalau Bapak mengajak berbicara serius begini, berarti persoalannya sudah dianggap berada di ranah gawat darurat, tidak bisa leluasa mengikuti kemauanku, tidak boleh main-main lagi. Masa hura-hura pesta demokrasi sudah rampung, kami memasuki tahap menentukan guna menjaga kelangsungan dan kesinambungan pembangunan bangsa dan negara, dan menjauhkan segala bentuk rongrongan atas stabilitas nasional. Aku tahu tugasku adalah membuka telinga lebar-lebar dan manggut-manggut mengaminkan arahan Bapak.

“Asas Pemilu itu bukan hanya LUBER---langsung, umum, bebas, dan rahasia. Itu saja tidak cukup. Kita juga harus memilih dengan akal sehat. Dengan kepala dingin.”

LUBER, tetapi ada “tetapi”-nya. Dan, berarti lebih baik aku tutup mulut saja.

“Kamu mengerti belaka bapakmu ini pegawai negeri sipil alias abdi negara. Bapak menyuapi mulutmu, mulut kakak-kakakmu, ya dari beras pemberian negara. Jadi kita berkepentingan mendukung negara ini tetap stabil. Bebas ya memang bebas, tapi kita tidak bebas dari konsekuensi pilihan kita.”

Melintas dalam benakku, berarti ada partai negara dan ada partai swasta, dan kita harus berjuang sebaik mungkin, agar partai negara terus berjaya, agar periuk nasi tidak terjungkal. Namun, aku menelan pertanyaan itu. Tidak ada gunanya menggugat Bapak. Pernah dengar cerita pakdeku di luar pulau, pemilu diadakan di kantor. Pegawai yang ketahuan tidak memilih Partai Kuning pasti kena batunya. Kariernya dihambat. Pangkatnya tidak kunjung dinaikkan. Dicekik pelan-pelan. Sampai pensiun dengan nelangsa.

“Senang-senang ikut kampanye boleh-boleh saja. Namanya juga anak muda. Namun, kamu tidak perlu repot mengurusi politik. Sekolah saja yang baik biar nanti dapat pekerjaan yang bagus.”

Arahan Bapak betul-betul lebih ganas dan tandas daripada rangkaian ceramah dalam Penataran P4 pola 100 jam. Tiada yang perlu dibantah.

“Jadi, kamu sudah mengerti besok memilih apa?”

“Sudah, Pak.”

“Sudah mantap?”

“Sudah, Pak.”

Pada hari pencoblosan, tanpa pikir panjang aku mencoblos---tentu saja---Partai Kuning. Tanpa gairah. Tiada lagi bayangan senyum merekah Lilis sang primadona. Hanya menyadari, ada hal-hal yang tidak bisa dilawan dari bilik Pemilu. Memilih ini atau memilih itu tidak bakal mengubah apa-apa---atau mungkin malah mengubah segalanya? Sempat juga muncul pertanyaan, kalau memang “rahasia”, bagaimana pilihan kita di dalam bilik bisa ketahuan. Namun, pertanyaan semacam itu lebih baik masuk kotak saja. Arahan Bapak sesungguhnya adalah Pedoman Umum Kebijakan Politik Keluarga yang Disempurnakan, yang sungguh elok buat diikuti dan dituruti demi kesejahteraan hidup yang baik dan benar, yang tertib dan berkeadilan sosial bagi---ya, setidaknya bagi segenap keluargaku.

Maka, segampang aku memutuskan ikut kampanye Partai Merah karena terpikat pesona Lilis, segampang itu pula aku melepaskan kebebasanku memilih demi menuruti nasihat Bapak dan mencoblos Partai Kuning. Ya, untuk apa berlagak sibuk mengurusi politik ketika ada urusan perut yang mesti diprioritaskan? Riwayat kegairahanku dengan politik pun tidak berumur panjang.

(Kutipan dari Arie Saptaji, Temanggung, Yogyakarta, novel ketiga Trilogi Temanggung [Yogyakarta: Pustaka Patria, 2020], h. 9-14. Novel dapat dipesan di Tokopedia: https://www.tokopedia.com/pustakapatria/etalase/trilogi-temanggung)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion