Menolak Romantisasi Kepahlawanan Tentara


Turang    
Sutradara: Bachtiar Siagian
Penulis Skenario: Bachtiar Siagian
Pemeran: Omar Bach sebagai Rusli; Nizmah Zaglulsyah sebagai Tipi; Tuahta Perangin-angin sebagai Tuah
Tahun Produksi: 1957
Durasi:    1 jam 27 menit
Genre: Drama (Perang)
Rumah Produksi:    Refic Film, Rentjong Film Corp, dan Jajasan Gedung Pemuda Medan

SEBUAH PEDATI dihela sapi menggelinding pelan agak terantuk-antuk di jalan sunyi berkelok. Kusirnya mengenakan pakaian tradisional Karo; penumpangnya laki-laki berkemeja, bersarung, dan menyembunyikan pistol di pinggang celana. Keduanya pasangan rakyat jelata dan tentara gerilya. Kusir mengaku selalu rindu dengan anak-istri di rumah; tentara menyatakan sudah lima tahun tak berjumpa keluarga.
    
Di tengah jalan, pedati mereka dihentikan patroli Belanda. Isi pedati digeledah. Di dalam kantong garam nyatanya tersembunyi peluru-peluru, suplai untuk para gerilyawan. Kembaren, si kusir, ditembak dan tewas di tempat. Rusli, si tentara, berhasil lolos dalam kondisi luka parah.
    
Pembukaan tersebut mempersiapkan kita menuju drama yang menyusul: ini film tentang upaya kolektif rakyat dan tentara dalam mempertahankan kemerdekaan. Gerak hidup keseharian warga (berbelanja garam) dan perjuangan bersenjata (menyelundupkan peluru bagi gerilyawan) berkelindan tak terpisahkan.
    
Turang, sebuah kata dalam bahasa Karo, bisa diartikan sebagai kekasih, kawan, saudara. Kami menontonnya di Galeri Lorong, Yogyakarta, akhir Mei ini, dalam rangkaian acara “Sinema Kontra-Nostalgia: Mematahkan Bingkai Historiografi”[1], berupa pancaran di tembok dari laptop melalui LCD proyektor dengan kualitas suara sekadarnya. Film hitam-putih, ritme terhitung lambat, kamera cenderung statis, toh sukses memikat belasan peminat untuk tidak beranjak dari ruang sempit memanjang itu. Kisahnya sederhana mudah dicerna, tapi menawarkan lapisan-lapisan makna yang mengundang untuk ditelisik lebih dalam.

KESEGARAN AWAL Turang langsung menyergap: latar tempat yang tidak biasa. Dari riuhnya pasar Kabanjahe, kita diajak menelusuri jalan berkelok, menembus belantara, hingga tiba di kaki pegunungan. Di sana, tersembunyi sebuah permukiman yang dengan bangga menamai dirinya Kampung Merdeka. Nama itu bukan sekadar label, melainkan gerbang menuju narasi kemerdekaan yang berbeda, jauh dari hiruk-pikuk pertempuran besar di pusat kekuasaan.

Film ini dengan cermat merekam kehidupan sehari-hari yang sederhana dan harmonis di Kampung Merdeka. Adegan ala time-lapse penanaman jagung, misalnya, bukan sekadar penggambaran siklus pertanian; ia menyiratkan ketahanan dan kesabaran penduduk. Rumah Tipi, dengan ruangnya yang sempit dan berlantai dua—lantai atas difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi—menjadi mikrokosmos kehidupan komunal mereka. Penempatan kamera yang efektif memungkinkan penonton leluasa mengikuti dinamika aktivitas dan interaksi di sana, membuat kita merasa menjadi bagian dari keluarga besar Kampung Merdeka. Kita bukan penonton, kita adalah tamu.

Close-up wajah-wajah penduduk desa, yang disisipkan pada sejumlah adegan, adalah sentuhan kecil yang bermakna besar. John Yorke, penulis drama televisi terkemuka, pernah berujar, “gambaran yang selalu dicari oleh setiap sutradara TV, baik fiksi maupun non-fiksi, adalah close-up wajah manusia saat ia mencatat perubahan.” Di sini, setiap kerutan, setiap tatapan, setiap ekspresi pada wajah-wajah itu adalah cerminan mereka yang paling berat menanggung akibat setiap kekacauan. Mereka adalah representasi nyata dari kemerdekaan hidup yang dirayakan dan dipertahankan, berapa pun harganya. Kemerdekaan bagi mereka adalah keharmonisan hidup yang bersahaja, rukun, dan menyatu dengan alam.

Kehidupan komunal warga Kampung Merdeka, diperkaya dialog dan lagu berbahasa Karo, menampilkan sebuah keguyuban yang begitu mendalam. Mereka tampaknya hidup dalam kepercayaan bahwa semua orang pada dasarnya baik, hingga tidak mewaspadai mata-mata yang menyusup ke tengah-tengah mereka. Ironi ini memperlihatkan betapa rapuhnya kemurnian di hadapan intrik dan bahaya dari luar.

Turang dengan berani menggeser narasi perjuangan kemerdekaan dari medan perang fisik menjadi gangguan terhadap kehidupan normal sehari-hari. Perang bukan lagi ajang perjuangan heroik, melainkan sebuah anomali yang merusak keharmonisan. Visual-visual lanskap pedesaan—gunung menjulang, bentangan ladang, tampak muka suasana kampung, perempuan mandi di pancuran, atau perempuan menumbuk padi dengan lesung—mewakili ketenangan hidup warga, kontras dengan ketegangan perang yang merayap dan mengancam. Bahkan binatang pun turut berperan, dan tak jarang menjadi korban, menegaskan bahwa dampak konflik merambah hingga ke setiap sendi kehidupan.

Film ini juga menjadi dokumentasi penting yang mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan tidak hanya berlangsung di Jawa dan dilakukan oleh orang Jawa. Melalui kisah Kampung Merdeka, Turang memberikan suara kepada mereka yang sering terlupakan dalam narasi besar sejarah Indonesia.

MELALUI KESEGARAN latar tempat dan keindahan kehidupan komunal di Kampung Merdeka, Turang menawarkan perspektif yang radikal: tidak meromantisasi kepahlawanan tentara dalam perjuangan kemerdekaan. Sebaliknya, film ini dengan berani menonjolkan dukungan serta pengorbanan rakyat biasa.

Turang secara gamblang memperlihatkan kenyataan perjuangan yang pahit. Realitas ini kontras dengan narasi perjuangan heroik yang dominan dalam banyak film perang Indonesia. Kita bisa menarik perbandingan dengan film klasik Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950) yang berlatar Jawa dan menempatkan tentara sebagai kelompok elit, sementara warga sipil terpinggirkan sebagai “kanca wingking”—pihak yang mendukung dari belakang, namun jarang menjadi pusat narasi perjuangan.

Konsep ini juga bisa dibandingkan dengan Seven Samurai (Akira Kurosawa, 1954), di mana warga desa berhasil memanfaatkan jasa samurai—yang sebagian besar tewas—sehingga warga dapat melanjutkan kehidupan normal mereka dengan tenang. Namun, di ujung cerita Turang, kehidupan tenang itu justru tercerai-berai oleh kehadiran pasukan gerilya. Ini karena, berbeda dari samurai yang adalah pendekar upahan, tentara bagaimanapun lahir dari rakyat (secara harfiah diwakili oleh Tuah, anak laki-laki kepala desa). Film ini menunjukkan bahwa alih-alih melindungi rakyat, terkadang tentara justru merepotkan, membahayakan, dan bahkan mengorbankan mereka. Ketika Tuah mengucapkan, “Kita serahkan kepada Tuhan,” itu bukan ungkapan pasrah, melainkan refleksi dari keterbatasan manusia di tengah badai takdir.

Turang menolak pandangan bahwa rakyat hanyalah sekumpulan orang tak berdaya, ketakutan, dan senantiasa memerlukan perlindungan tentara. Dengan kesederhanaan ucapan dan tindakan, mereka menunjukkan kecintaan mendalam pada republik, kemerdekaan, dan kehidupan yang harmonis bersahaja. Di bawah ancaman musuh, mereka menjalani hidup dengan tegar, bahkan sejatinya merekalah yang melindungi dan menopang perjuangan para gerilyawan. Mereka berkorban, mempertaruhkan nyawa, bukan karena perintah, melainkan karena naluri untuk mempertahankan eksistensi dan nilai-nilai yang mereka pegang.

Sayangnya, pengorbanan rakyat ini tidak selalu dihargai sepenuhnya oleh para tentara. Kita melihat rakyat menjadi korban: Kembaren, Kepala Desa, dan akhirnya seluruh Kampung Merdeka, termasuk hewan ternak mereka. Di satu sisi, ini adalah akibat dari strategi gerilya yang kurang jitu. Di sisi lain, keberadaan mata-mata dan kenyataan bahwa pasukan Belanda tidak sepenuhnya diisi oleh orang Belanda murni menambah kompleksitas konflik.

Adegan Tipi memasak nasi dengan penuh pengabdian, namun ratapannya atas nasib sang ayah ditepiskan begitu saja oleh Tuah, menggambarkan betapa seringnya penderitaan personal harus ditelan demi kepentingan yang lebih besar—atau yang dianggap lebih besar. Lebih jauh, perdebatan sengit antara Rusli dan komandannya tentang kemungkinan membawa Tipi ikut bergerilya menyingkap bias gender yang kuat. Sebagai perempuan, Tipi dipandang hanya akan menjadi beban dan gangguan bagi pasukan; jasa dan kecakapannya dalam merawat Rusli sama sekali tidak dipertimbangkan.

Turang adalah sebuah karya yang jujur dan penting, yang berani menggeser lensa sejarah. Ia mengundang kita untuk melihat kembali narasi kepahlawanan, mengakui pengorbanan rakyat yang tak terperikan, dan memahami bahwa kemerdekaan seringkali dibayar dengan harga yang tak terlukiskan oleh mereka yang paling rentan.


MENJELANG FILM berakhir, layar menampilkan pasukan gerilya beriring-iringan mendaki bukit berlatar langit yang lapang berawan. Saya terbengong: Lho, jebul Bachtiar Siagian sudah bikin adegan begini to!

Betul. Adegan itu mirip dengan Danse Macabre yang menjadi penutup The Seventh Seal (Ingmar Bergman, 1957). Tokoh-tokoh The Seventh Seal bergerak ke sisi kiri layar, sisi negatif, dihela Sang Maut menuju alam baka. Sebaliknya, pasukan gerilya di Turang bergerak ke arah kanan, sisi positif, penuh tekad menempuh perjalanan yang terjal, penuh tantangan dan sekaligus sarat harapan. Kisah Rusli dan Tipi telah berakhir, tetapi perjuangan menuju dekolonisasi mesti dilanjutkan karena, seperti baris puisi Chairil Anwar yang kemudian dikutip, “kerja belum selesai, belum apa-apa.” The Seventh Seal menegaskan kegentaran individual di hadapan maut; Turang memaparkan perjuangan bersama mengukuhkan kemerdekaan dan kehidupan.

Adegan simbolis ini sekaligus mewakili kegigihan kerja para penggarapnya dalam menyiasati kesulitan teknis yang pelik. Menangkap gambar jarak jauh di lanskap perbukitan dengan perlengkapan kamera yang berat jelas bukan kerja yang mudah. Mereka menjawab tantangan untuk mengusung tema besar tentang perjuangan bersama itu bukan melalui ceramah, melainkan melalui bahasa visual yang megah dan kuat berdaya gugah.

Karena kedua film tersebut dibesut dan dirilis dalam waktu berdekatan, kecil kemungkinan Bachtiar dan Bergman mengintip proses produksi satu sama lain. Toh kemiripan itu menandakan bahwa motif visual tertentu berlaku universal dan lintas budaya untuk menegaskan suatu tema secara efektif. Akan tetapi, adegan Danse Macabre jadi ikonik dalam sejarah sinema dan ditiru di sejumlah film lain karena, tentu saja, The Seventh Seal beredar lebih luas, terus diapresiasi, dan kerap jadi bahan kajian studi perfilman, sedangkan Turang menjemput nasib malang: terkubur tak tentu rimbanya akibat pusaran politik di negeri sendiri.

Nyatanya, Turang tak hendak hilang begitu saja. Sejarah punya cara tersendiri untuk memberikan kejutan, seperti dituturkan oleh Bunga Siagian, putri sang sutradara.[2]

Sebelum berjaya di Pekan Apresiasi Film Nasional (sekarang Festival Film Indonesia) 1960 dengan menyabet empat penghargaan (Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Peran Pembantu Terbaik, dan Tata Artistik Terbaik), film ini melenggang ke Festival Film Asia Afrika pertama yang digelar di Tashkent, Uzbekistan, pada 1958. Festival ini digelar sebagai perpanjangan Konferensi Asia Afrika di Bandung yang membawa semangat antikolonialisme dan pembentukan tata dunia baru. Elena Razlogova, akademisi dari Concordia University Montreal, menulis dalam papernya bahwa Turang adalah “The most celebrated picture at Tashkent.”

Karena penayangan di Tashkent itu, salinan Turang tersimpan di pusat arsip film Rusia Gosfilmofond, Moskow. Akhirnya, berkat kerja kolektif dan solidaritas yang melibatkan banyak aktivis kebudayaan dan akademis dari berbagai negara, Bunga mendapatkan kembali Turang pada Februari 2025. 

Ironisnya, Turang “lahir kembali” di tengah kondisi mutakhir yang mencemaskan: penulisan ulang sejarah dan pengesahan UU TNI.

Konferensi Asia-Afrika termasuk peristiwa penting yang tidak dicantumkan dalam kerangka konsep penulisan sejarah Indonesia versi rezim.[3] Kepeloporan Indonesia dalam perjuangan anti-kolonialisme di kancah global ini bukan pencapaian yang layak dicatat dengan tinta tebal, tetapi suatu kesalahan sejarah yang memalukan dan, karenanya, mesti disembunyikan?[4] Atau, sikap anti-kolonialisme sudah tidak relevan dan bertentangan dengan kebijakan (pihak yang membeking) rezim? Sehubungan dengan Turang, konferensi tersebut secara tidak langsung menyelamatkan keberadaan film berharga ini.

Berbeda arah dari Turang, yang menempatkan rakyat sebagai pilar perjuangan kemerdekaan, UU TNI memperkuat romantisasi terhadap kepahlawanan tentara. Tentara leluasa bergerak di luar barak, dipersilakan menduduki jabatan-jabatan empuk di ruang sipil, sedangkan kepentingan-kepentingan rakyat semakin terdesak.

Di negeri yang waras dan berkebudayaan, lahirnya kembali film penting semacam Turang tentulah dirayakan secara hangat dan penuh hormat. Nyatanya, Turang mesti beredar secara “gerilya”, hanya tayang terbatas di sejumlah festival dan komunitas. Dengan langkah tertatih, Turang meniupkan semangat dengan bisikan lirih: Meskipun dihambat, tetap merambat—itulah rakyat! ***

Sumber foto: International Film Festival Rotterdam, https://iffr.com

[1]  Acara ini menampilkan sosok dan karya Bachtiar Siagian, sutradara ‘kiri’ yang tanpa pengadilan dibuang ke Pulau Buru karena keterlibatannya dalam Lekra. Dua film karyanya dan satu film dokumenter tentangnya masing-masing diputar dalam dua kali kesempatan. Turang (1957) pada 30 Mei dan 20 Juni, Violetta (1962) pada 16 Mei dan 8 Juni, dan Bachtiar (Hafiz Rancajale, 2025) pada 23 Mei dan 13 Juni 2025.
[2]  "Sempat 'hilang' puluhan tahun, bagaimana 'Turang' yang meraih predikat film terbaik Indonesia ditemukan kembali?", BBC News Indonesia, 15 April 2025, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpq71jwzgr8o, diakses 30 Mei 2025.
[3]  Souisa, Hellena. "Ketika Sejarah Indonesia Diperbaharui: Untuk Legitimasi Sang Pemenang?", ABC News, 22 Mei 2025, https://www.abc.net.au/indonesian/2025-05-22/untuk-siapa-penulisan-ulang-sejarah-indonesia/105315356, diakses pada 27 Juni 2025.
[4]  "Fadli Zon soal Penulisan Ulang Sejarah: Kita Tak Cari Kesalahan, tapi Pencapaian", kumparanNEWS, 7 Juni 2025, https://kumparan.com/kumparannews/fadli-zon-soal-penulisan-ulang-sejarah-kita-tak-cari-kesalahan-tapi-pencapaian-25DpRbtrtFv, diakses 27 Juni 2025.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Menggugat Sejarah Kelam Anak Luar Nikah