Antara yang Maya dan yang Nyata
Pada awal maraknya internet, pertanyaan yang kita ajukan satu sama lain, “Apa alamat emailmu?” Email menjadi sarana utama pertukaran kabar di dunia maya. Belakangan ini pertanyaan itu bergeser, ”Kamu punya akun Facebook enggak?”
Situs jejaring sosial seperti Facebook menjadi poros bagi banyak orang ketika mengakses internet. Kalau email sejajar dengan proses surat-menyurat di dunia nyata, Facebook serasa menawari kita untuk membangun rumah di sebuah perkampungan besar, lengkap dengan berbagai fasilitas interaksi yang menarik. Di kampung itu kita bisa bertemu dengan kawan lama atau menjajaki hubungan dengan teman baru.
Selain bertukar kabar dan kabar, kita bisa saling berkunjung dan melongok rumah satu sama lain. Mengetahui aktivitas yang sedang dilakukan teman kita, membaca paparan yang tertulis dalam catatan masing-masing. Orang leluasa untuk saling mengomentari gambar atau tulisan yang mereka baca, bebas pula untuk nampang melalui album fotonya.
Melalui situs tersebut, kita bisa menyiapkan bahan percakapan dengan lebih baik ketika hendak bertemu dengan seseorang. Atau, kita bisa menggalang reuni dengan kawan-kawan yang sudah lama terpisah. Kita juga bisa bergandeng tangan mendukung atau menentang isu tertentu, misalnya gerakan pengumpulan koin untuk membantu Prita.
Singkatnya, fitur-fitur yang tersedia di Facebook banyak mewakili aktivitas dalam dunia nyata, dan bahkan membawanya ke dalam tataran yang sebelumnya tak terbayangkan.
Begitu menariknya, tidak sedikit orang yang asyik berkutat di depan komputernya sampai berjam-jam. Kehidupannya bergulir di dunia maya. Yang seolah-olah begitu nyata.
Di situlah titik soalnya. Ketika yang hanya sarana dijadikan tujuan. Saat yang seharusnya hanya merupakan pengganti dipandang sebagai yang asli.
Ada suami yang menjengkelkan istrinya karena ia lebih suntuk dengan Facebook daripada bermain dengan anak. Atau, ketika sejumlah teman berkumpul, bukannya saling berbincang dan menikmati kebersamaan, masing-masing malah sibuk dengan laptop atau Blackberry, mengupdate status atau mengomentari foto. Atau, penulis yang malah menurun produktivitasnya gara-gara lebih banyak malang-melintang di jejaring sosial tersebut. Belum lagi ada oknum yang menyalahgunakan situs-situs itu untuk berbagai upaya penipuan.
Manusia diciptakan untuk berhubungan. Faktor hubungan inilah yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menakar faedah jejaring sosial di dunia maya. Apakah situs itu memperkuat pembinaan hubungan, atau malah mengikis dan merusaknya?
Hubungan, bagaimanapun, tidak cukup dibangun secara virtual. Hubungan antarmanusia memerlukan kehadiran ”aku” dan ”engkau”, memerlukan tatap muka, memerlukan persentuhan fisik. ”Aku manusia, rindu rasa, rindu rupa,” kata Amir Hamzah dalam puisi Pada-Mu Jua. Itulah unsur yang hilang dalam komunikasi dunia maya.
Komunikasi kita 55% disampaikan melalui raut wajah, sosok dan sikap tubuh---aspek-aspek nonverbal. Saat berhubungan melalui telepon, kita hanya menerima 38% pesan berupa nada suara dan 7% pesan verbal. Sisanya, 55% yang nonverbal tadi, tidak hadir. Nah, komunikasi tertulis hanya menyalurkan 7% pesan verbal dan kehilangan 93% aspek lainnya. Begitu juga, tulisan dan piksel-piksel gambar di dunia maya tidak mampu menggantikan kehadiran fisik seseorang.
Maka, biarlah situs jejaring sosial itu sekadar menjadi pelengkap dalam kehidupan modern kita. Biarlah itu menjadi sarana yang memperkaya hubungan kita. Bukan menjadi kehidupan dan tempat hidup utama kita. ***
Comments
Post a Comment