Kehidupan yang Baik
Pendahuluan:
Ketika kita ingin memasang
listrik di rumah, kita tidak puas hanya dengan mendapatkan nasihat, saran, atau
pendapat tentang instalasi listrik yang baik. “Anda tahu, banyak pendapat
tentang instalasi listrik, tetapi pendapat yang satu tidak lebih baik dari
pendapat yang lain. Bahwa listrik harus dipasang menurut aturan tertentu agar
aman, itu kan
hanya pemaksaan pendapat oleh PLN yang mau mengambil keuntungan dari pelanggan.
Silakan saja menginstal listrik semau Anda. Kalau Anda rasa baik, lakukan
saja.” Ada
orang yang bersikap seperti itu? Tidak ada! Kita ingin yang mengerjakan
instalasi itu orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang instalasi
listrik.
Begitu juga kalau otak kita
perlu dibedah. Bagaimana kalau dokter itu berkata, ”Kita tidak tahu pasti apa
yang ada di dalam tengkorak kepala manusia. Ada yang berpendapat begini, ada pula yang
berpendapat begitu. Pendapat saya belum tentu lebih baik dari pendapat orang
lain. Tetapi, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mengobati kepala Anda.”
Anda mau dioperasi oleh dokter semacam itu? Tentu saja tidak! Anda akan
mencari dokter yang paling berpengetahuan dan paling berpengalaman dalam hal
bedah otak.
Kita menginginkan pengetahuan yang jelas. Kita menghendaki sesuatu yang
dapat dipercaya dan diandalkan. Kita mengharapkan kepastian yang dapat
dijadikan pegangan. Itulah sebabnya orang mengatakan bahwa pengetahuan itu
penting. Knowledge is power. Firman
Allah pun menegaskan, ”Umat-Ku binasa
karena tidak mengenal Allah (TB); My
people are destroyed for lack of knowledge (KJV).” Kebenaran ini berlaku baik dalam
perkara yang tampak sepele maupun dalam perkara yang serius. Orang, misalnya,
bisa mati muda gara-gara tidak memiliki pengetahuan tentang makanan sehat.
Masalahnya, pada zaman ini, yang disebut pengetahuan biasanya terbatas pada
perkara-perkara yang kasat mata. Matematika. Fisika. Kimia. Biologi.
Kedokteran. Teknik. Apa yang disebut sebagai ilmu pasti, eksakta. Itu memang
perkara-perkara yang penting, dan kita tidak menyanggah pentingnya pengetahuan
dalam bidang-bidang tersebut. Namun, dalam bidang-bidang lain yang tak kalah
penting, atau malah lebih penting, kita justru tidak memiliki pengetahuan. Kita
cukup puas dengan pendapat, nilai-nilai, preferensi, atau tradisi. Bukan
pengetahuan.
Renungkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Apakah kebaikan itu? Apakah kejahatan itu? Bagaimana tabiat manusia
itu? Apa yang terjadi setelah manusia mati? Apakah alam
semesta ini hanya terdiri atas materi, atau ada makna yang lebih dalam di
baliknya? Benarkah penderitaan itu ada
artinya? Apakah Allah itu ada? Seperti apakah Dia? Apakah kehidupan ini hanya
kebetulan? Adakah standar moral yang kelak akan dijadikan tolok ukur untuk bagi
pertanggungjawaban kita, dan kalau standar moral itu ada, bagaimana kita
mengetahuinya? Apakah manusia itu berharga?
Pertanyaan-pertanyaan itu mewakili perkara-perkara yang paling penting bagi
keberadaan dan kehidupan umat manusia. Kita mungkin tidak mempelajarinya di
ruang kelas atau ruang kelas, tetapi kita mengetahuinya.
Namun, menurut pandangan saat ini, pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak
dapat dijawab oleh pengetahuan. Kita hanya bisa mengutarakan pendapat,
preferensi, atau mungkin nasihat dan saran tentang hal-hal itu.
Pertanyaan-pertanyaan tadi tidak lain berkaitan dengan moralitas dan
spiritualitas. Para penulis Alkitab, dan khususnya Tuhan Yesus, mengklaim bahwa
mereka menawarkan pengetahuan seputar pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bukan
sekadar pendapat, nasihat, atau saran untuk hidup yang lebih baik, tetapi
pengetahuan tentang sesuatu yang nyata (real),
tentang realitas yang paling hakiki, tentang keberadaan Allah. Catatan: Sebenarnya, setiap agama dan aliran filsafat berawal
dari klaim semacam ini. Tentang apakah klaim mereka benar atau tidak, itu soal
lain.
Di Alkitab, silakan cari kata-kata know
dan knowlegde (pengetahuan,
pengenalan). Perhatikan, penulis Alkitab mengklaimnya sebagai pengetahuan,
bukan sekadar pendapat, nasihat, atau saran.
”Jikalau engkau berseru kepada
pengertian, dan menujukan suaramu kepada kepandaian... maka engkau akan memperoleh
pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah” (Amsal 2:2, 5).
”Aku tahu kepada siapa aku
percaya” (2 Timotius 1:12).
”Umat-Ku binasa karena tidak mengenal
Allah (TB); My people are destroyed
for lack of knowledge (KJV)” (Hosea 4:6).
Pengetahuan adalah persentuhan dengan realitas, dengan apa yang nyata,
dengan apa yang benar. Realitas moral dan spiritual ini sama nyatanya, bahkan
lebih nyata, daripada realitas fisik dan material. “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak
kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan
adalah kekal” (2 Korintus 4:18).
Kalau Anda tidak akan memasang listrik di rumah hanya berdasarkan pendapat
orang, puaskah Anda menjalani kehidupan ini hanya berdasarkan pendapat orang?
Kenapa, khususnya dalam area moral dan spiritual, kita cenderung
menghindari pengetahuan dan mencoba mengedepankan pendapat? Karena, seperti
dikatakan Paulus, “Pengetahuan
[pengetahuan semata]… membuat orang menjadi sombong” (1 Korintus 8:1).
Pengetahuan cenderung membuat orang sombong dan tidak toleran. Orang yang
merasa dirinya lebih berpengetahuan, lantas merasa dirinya lebih kudus dari
orang lain, dapat merendahkan orang lain atau melakukan kekerasan terhadap
orang lain.
Bagaimana menghindarinya? Bukan dengan menyamarkan pengetahuan. Bukan
dengan menganggap bahwa pengetahuan moral dan spiritual itu sebenarnya hanya
pendapat. Contohnya, ada orang yang berpendapat Iron Man 2 lebih baik dari Iron
Man 1, tetapi ada yang berpendapat sebaliknya, Iron Man 2 lebih buruk dari Iron
Man 1. Untuk hal semacam ini, kita dapat berkata, ”Ah, itu kan hanya
perbedaan selera.” Tetapi, bagaimana dengan perbedaan semacam ini? Ada yang
berpendapat, ”Freesex itu oke-oke
saja.” Ada yang berpendapat, ”Freesex
itu berdosa.” Apakah kedua pendapat itu sama-sama benar? Sama-sama baik? Hanya
menunjukkan perbedaan selera, dan kita perlu memberikan ruang yang sama untuk
setiap pendapat? Begitu juga: Apakah ateisme dan kepercayaan kepada Tuhan yang
esa itu hanya perbedaan pendapat dan orang perlu bertolerasi terhadap keduanya?
Toleransi itu sendiri dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia itu berharga
dan bermartabat setara. Nah, itu suatu klaim moral dan spiritual. Kita tidak
akan bisa mengedepankan toleransi dengan menyamaratakan semua klaim moral
sebagai klaim yang relatif karena dengan begitu kita malah menghancurkan dasar
dari toleransi itu. (Ada yang berpendapat manusia itu bermartabat sama, ada pula pendapat yang
rasis. Kalau kita menolerir kedua pandangan itu, kita sedang menghancurkan
toleransi!)
Jadi bagaimana? Kesombongan memang masalah yang berat. Namun, kesombongan
bukan masalah kebenaran (maksudnya: kebenaran, sekalipun disampaikan orang
sombong, tetaplah kebenaran), melainkan masalah karakter. Kesombongan dibangun
dari ilusi, bahwa dengan mengetahui sesuatu itu kita menjadi lebih hebat dari
orang lain dan pantas merendahkan mereka. Kesombongan, dengan demikian,
menunjukkan tidak adanya pengetahuan: pengetahuan akan klaim Yesus dan
pengetahuan akan martabat manusia.
Karena itu, dalam Alkitab, ujian tertinggi bagi pengetahuan bukanlah IQ
atau banyaknya informasi yang kita ketahui. Ujian itu adalah kasih. “Pengetahuan yang demikian membuat orang
menjadi sombong, tetapi kasih membangun” (1 Korintus 8:1). Kasih itu lebih
dari sekadar bertoleransi. Kasih berarti mengutamakan kebaikan dan
kesejahteraan orang lain, bahkan dengan mengorbankan diri kita.
Empat Pertanyaan Mendasar
Pengetahuan itu penting. Namun, tidak semua pengetahuan setara nilai kepentingannya.
Nah, apakah pengetahuan yang paling penting, paling mendasar, paling hakiki
dalam kehidupan kita? Orang biasa menyebutnya sebagai world view---pandangan dunia. Pandangan kita tentang bagaimana
dunia dan kehidupan ini berlangsung. Semacam peta yang menunjukkan tempat kita
di tengah dunia dan kehidupan ini (cf. peta di mal atau toko). Sadar atau
tidak, setiap orang pasti memiliki pandangan dunia tertentu, dan pandangan
dunia itulah yang membentuk corak kehidupannya. Pandangan dunia kita menjawab
empat pertanyaan mendasar berikut ini.
1.
Apakah yang real/nyata itu? Apakah realitas atau
kenyataan itu?
Apakah yang dapat saya percayai? Apakah yang dapat saya andalkan? Banyak
orang beranggapan, yang nyata/real adalah apa yang dapat dilihat, disentuh,
diukur. Kita dalam budaya Timur masih memperhitungkan realitas ”dunia lain”,
alam roh. Masalahnya, bagaimana sikap kita terhadap realitas itu? Apakah kita
memiliki pengetahuan yang benar? Atau, kita cukup puas dengan pendapat dan
tradisi manusia? Kita tidak protes ketika matematika ”memaksakan” bahwa 2 + 2 =
4; tetapi, bagaimana tanggapan kita ketika dikatakan bahwa ”Percabulan itu
dosa”? Apakah kita menganggapnya sekadar sebagai pendapat? Atau, sebagai
pengetahuan moral dan spiritual yang sama nyatanya dengan pengetahuan
matematika?
Yesus bercerita tentang orang yang kaya-raya, yang dengan penuh kepuasan
berkata, ”Jiwaku, ada padamu banyak barang.” Barang. Benda. Kekayaan. Itulah
realitasnya. Itulah yang diandalkannya. Makan, minum, dan bersenang-senang.
Malam itu sesuatu terjadi padanya. Ia mati, dan mendapati bahwa ia hanya hidup
dalam ilusi---apa yang semula diandalkannya itu ternyata tidak dapat lagi
menolongnya. Ketika kita mengabaikan realitas sejati, kita akan mengalami
krisis, kita menanggung akibatnya, kita akan menderita karenanya. Penderitaan,
kata orang bijak, terjadi ketika kita bertabrakan dengan realitas. Hal itu bisa
di dunia saat ini, namun paling parah ketika kita baru menyadarinya di dunia
yang akan datang.
Apakah realitas Anda? Apa yang Anda andalkan?
2. Siapakah yang
memiliki kehidupan yang baik itu?
Sekalipun dicaci sebagai menjual mimpi, banyak orang terpikat pada
sinetron di televisi. Sekalipun dicerca sebagai ajang gosip, banyak orang
terpaku menonton tayangan infotainment kehidupan para selebritas. Kenapa?
Justru dalam impian dan gosip yang disiarkan itulah, orang merasa menemukan
jawaban atas pertanyaan ini: seperti inilah kehidupan yang baik itu, seperti
inilah orang-orang yang telah mengecapnya. Rumah mewah, wajah cantik dan
tampan, postur tubuh yang seksi, keuangan yang berlimpah, kemashyuran,
kehidupan yang penuh dengan tamasya dan aneka kesenangan. It’s a wonderful life, isn’t it? Dan, orang pun dihinggapi
kecemburuan, ketidakpuasan, atau bekerja mati-matian demi mengejar kehidupan
yang baik itu. Itulah krisisnya.
3.
Siapakah orang yang baik itu?
Sungguh menarik, sekalipun kita cenderung menolak adanya pengetahuan moral,
dan menganggap semuanya itu hanyalah pendapat yang relatif, tetapi kita tak
bisa menghindar dari pertanyaan ini. Dengan bahasa yang berbeda-beda, kita
mengelompokkan orang sebagai orang yang baik dan orang yang jahat. Kita mencaci
koruptor, dan kita memuji murid yang jujur. Dengan standar apa kita melakukan
penilaian?
Kebingungan tentang kehidupan yang baik dan orang yang baik ini dapat kita
amati dengan membandingkan iklan dan obituari (tulisan mengenang orang yang
meninggal dunia). Apa yang ditawarkan iklan? Rambut yang lebih berkilau, gigi
yang lebih berseri, hubungan seks yang lebih memuaskan, keuangan yang lebih
berlimpah, tempat tamasya yang lebih eksotis, teve layar lebar yang lebih
canggih, dan seterusnya. Apakah hal-hal semacam itu akan muncul dalam obituari?
Biasanya tidak. Obituari akan cenderung menggambarkan orang yang meninggal itu
sebagai orang yang baik.
Di situlah persoalannya: kita ingin menjadi orang yang baik, tetapi kita
cenderung lebih mengejar/mengutamakan kehidupan yang baik. Hal ini membawa kita
kepada pertanyaan keempat.
4.
Bagaimana saya dapat menjadi orang yang sungguh-sungguh
baik?
Dalam sejarah, pertanyaan ini melibatkan pendidikan dan pembinaan karakter.
Bangsa Israel kuno, karena mereka percaya bahwa pengetahuan moral dan spiritual
itu terbuka bagi semua orang, sanggup menanggapi empat pertanyaan mendasar
tadi. Orangtua dan para guru bukan sekadar menyebarkan informasi, melainkan
membentuk orang-orang yang baik, orang-orang yang akan berbicara di dalam
kebenaran dan bertindak di dalam kasih. ”Dengarlah,
hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! [menjawab pertanyaan
pertama: Apakah yang nyata itu?] Kasihilah
TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu. [menjawab pertanyaan kedua dan ketiga: Siapakah orang
baik itu?] Apa yang kuperintahkan
kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau
mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila
engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau
berbaring dan apabila engkau bangun [menjawab pertanyaan keempat: Bagaimana
kita menjadi orang yang sungguh-sungguh baik?]” (Ulangan 6:4-7). Keempat pertanyaan mendasar tadi dijawab dalam
satu paragraf singkat ini!
Di dunia saat ini, universitas mana yang mengajarkan hal seperti itu? Ada
universitas untuk mendalami ilmu bermain piano sampai ilmu teknik nuklir,
tetapi universitas mana yang menekuni pendidikan moral dan spiritual?
Universitas---dari kata universe, alam semesta, universal---tidak mampu
memberikan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan universal itu. Mereka tidak menawarkan
”pengetahuan”, melainkan hanya ”pendapat”.
Jawaban Yesus
1.
Apakah yang real/nyata itu? Apakah realitas atau
kenyataan itu?
Menurut Yesus, pusat dari realitas tidak lain adalah Allah, Pribadi yang
kasih dan kesanggupan-Nya melampaui apa yang dapat kita bayangkan dan kita
pikirkan. Alam
semesta tidak muncul dengan sendiri, seperti yang disampaikan dalam
”pengetahuan ilmiah.” Manusia juga tidak muncul begitu saja. Sebaliknya, Allah
menciptakan apa yang ada dari apa yang tidak ada. Alam semesta dan manusia ada
karena Sang Pencipta. Manusia merupakan rupa dan gambar Allah---keberadaan
manusia sangat bergantung pada realitas Allah.
Tentang realitas ini, Yesus berkata, ”Inilah
hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah
yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yohanes
17:3). Mengenal atau memiliki pengetahuan, bukan berarti ”memiliki pengetahuan
tentang”, melainkan masuk ke dalam realitas Allah, mengalami realitas Allah.
Bila kita berada di dalam realitas ini, kita mengalami hidup kekal, hidup yang
tidak terputus oleh kematian sekalipun (cf. Roma 8:38-39).
2.
Siapakah yang memiliki kehidupan yang baik itu?
Kata yang digunakan Yesus untuk “baik” dalam Alkitab adalah makarios atau blessed (diberkati, KJV), berbahagia
(TB). Amplified
Bible menguraikannya sebagai: ”bahagia, patut dicemburui, dan makmur secara
rohani---dengan sukacita kehidupan dan kepuasan batin di dalam kemurahan dan
keselamatan Allah, bagaimanapun kondisi lahiriah orang tersebut.”
”Patut dicemburui.” Kita diam-diam iri melihat kehidupan selebritas, tetapi
Tuhan Yesus menunjukkan kondisi kehidupan seperti apa yang patut kita cemburui.
Berbahagialah orang yang miskin. Berbahagialah orang yang berdukacita.
Berbahagialah orang yang lemah lembut. Berbahagialah orang yang dianiaya karena
kebenaran. Berbahagialah orang yang memiliki hubungan personal dengan Allah,
yang hidup di dalam realitas Allah, di dalam hadirat-Nya, di dalam kuasa-Nya,
di dalam kasih-Nya. Berbahagialah Anda, sekalipun tampaknya Anda tidak mengecap
kehidupan baik yang ditawarkan oleh dunia ini. Berbahagialah bila Anda sekarang
telah memasuki kerajaan ini, realitas ini. Kondisi seperti itulah yang patut
dicemburui!
“Bagaimanapun kondisi lahiriah orang tersebut.” Kita kadang-kadang mencampuradukkan
kehidupan yang baik versi Yesus dengan kehidupan yang baik versi dunia. Kita merasa baru
benar-benar diberkati ketika kondisi lahiriah kita sehat dan makmur. Atau,
lebih jauh lagi, kita membuat klaim: ”Orang saleh/benar pasti sehat dan makmur.” Kalau kita meneliti Alkitab, ketaatan
kepada kebenaran memang dapat mendatangkan kesehatan jasmani dan kemakmuran materi,
tetapi tidak kurang pula ketaatan yang justru mendatangkan penderitaan dan
penganiayaan. Silakan baca baik-baik kehidupan Paulus atau Ibrani 11, misalnya.
”Dunia ini tidak layak bagi mereka” (Ibrani
11:38). Artinya, ukuran dunia ini tidak berlaku bagi mereka, versi kehidupan
baik menurut dunia tidak cocok bagi mereka.
”Aku lebih banyak berjerih lelah;
lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya
maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu
pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali
mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut.
Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya
dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya
di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak
saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali
aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan
tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku
sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat” (2 Korintus 11:23-28).
Pada akhir hidupnya, Paulus berkata, ”Engkau
tahu bahwa semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku;
termasuk Figelus dan Hermogenes” (2 Timotius 1:15). Pertanyaan: Kalau
menurut ukuran dunia, menurut versi dunia, apakah kehidupan Paulus adalah
kehidupan yang baik, yang sukses? Adakah yang akan ”mengiklankan” kehidupan
seperti itu? Sebaliknya, apa kira-kira yang akan dikatakan Yesus tentang
kehidupan Paulus?
Paulus mengaku bahwa ia mengenal baik kekurangan maupun kelimpahan, tetapi ”Segala perkara dapat kutanggung di dalam
Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13). Baginya, kekurangan dan
kelimpahan bukanlah barometer kondisi hidupnya. Baik-buruk kehidupannya tidak
ditentukan oleh kekurangan ataupun kelimpahan. Baik-buruk kehidupannya ditandai
oleh satu hal: apakah ia berpegang teguh pada realitas yang sesungguhnya,
bergantung sepenuhnya pada Allah, di tengah segala perkara, di tengah apa pun kondisi
lahiriah yang melingkupinya.
3.
Siapakah orang yang baik itu?
Orang yang baik adalah orang digerakkan oleh kasih, orang yang menindakkan
kasih karena kondisi rohaniahnya sudah diubahkan. Yohanes berkata, ”Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah
kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang
yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak
mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1 Yohanes
4:7-8). Kasih ini bukanlah sesuatu yang setimental, hati yang berbunga-bunga,
atau emosi yang meluap-luap.
Kasih ini, sebagaimana kasih Yesus, bukan menuntut dilayani, melainkan
dengan penuh kerelaan melayani dan memberikan nyawa (berkorban) bagi kebaikan
dan kesejahteraan sesama. Kalau kita melihat kekurangan dalam diri orang lain, apakah
kita mengecamnya, atau kita turun melayani untuk menolongnya? Atau, mungkin
kita merasa tidak lagi diberi makan dengan baik dalam jemaat ini, kita merasa
tidak bertumbuh di dalam jemaat ini, bukankah itu sebenarnya merupakan
kesempatan untuk melayani tanpa syarat dan tanpa pamrih di tempat yang tidak
memberikan balasan pada kita? Kalau kita melakukan kebaikan hanya kepada orang
yang berbuat baik kepada kita, atau karena kita mengharapkan imbalan---orang
jahat pun berbuat demikian. Kasih Kristus mengundang kita untuk berdoa dan memberkati
bahkan musuh dan penganiaya kita.
Itulah kasih yang lahir dari pengetahuan/pengenalan akan Allah. Tuhan mau
kita sebagai jemaat bersama-sama bertumbuh di dalam kasih. Begitulah, memiliki
pengetahuan yang benar akan Allah tidak akan membuat orang sombong, sebaliknya
ia akan seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk, semakin rendah hati
dan penuh kasih.
4.
Bagaimana saya dapat menjadi orang yang sungguh-sungguh
baik?
Dengan mengandalkan Tuhan Yesus Kristus. Dengan menerima perkataan-Nya
sebagai pengetahuan kebenaran. Dengan tinggal di dalam Firman-Nya. Singkatnya,
dengan menjadi murid-Nya. Yesus, yang Kamis lalu kita rayakan kenaikan-Nya ke
surga, masih hidup dan hidup selama-lamanya. Dan, Dia masih membuka pendaftaran
bagi siapa saja yang bersedia menjadi murid-Nya.
Bila kita adalah murid-Nya, marilah kita bersama-sama belajar untuk hidup
menurut pandangan dunia yang dipaparkan Tuhan Yesus. Sebaliknya, bila ada di
antara Anda yang menyanggah jawaban Yesus tadi, saya ingin menantang Anda untuk
melakukan satu hal ini. Luangkan waktu sepanjang minggu ini: Menurut Anda,
jawaban siapakah yang lebih baik dari jawaban Yesus? Renungkan, dan jawablah
secara jujur. ***
Sumber: John Ortberg, Smart People: Part One, transkrip
khotbah di Menlo Park Presbyterian Church, California , pada Minggu,
6 Desember 2009.
Comments
Post a Comment