Kehidupan yang Baik

Pendahuluan:
Ketika kita ingin memasang listrik di rumah, kita tidak puas hanya dengan mendapatkan nasihat, saran, atau pendapat tentang instalasi listrik yang baik. “Anda tahu, banyak pendapat tentang instalasi listrik, tetapi pendapat yang satu tidak lebih baik dari pendapat yang lain. Bahwa listrik harus dipasang menurut aturan tertentu agar aman, itu kan hanya pemaksaan pendapat oleh PLN yang mau mengambil keuntungan dari pelanggan. Silakan saja menginstal listrik semau Anda. Kalau Anda rasa baik, lakukan saja.” Ada orang yang bersikap seperti itu? Tidak ada! Kita ingin yang mengerjakan instalasi itu orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang instalasi listrik.

Begitu juga kalau otak kita perlu dibedah. Bagaimana kalau dokter itu berkata, ”Kita tidak tahu pasti apa yang ada di dalam tengkorak kepala manusia. Ada yang berpendapat begini, ada pula yang berpendapat begitu. Pendapat saya belum tentu lebih baik dari pendapat orang lain. Tetapi, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mengobati kepala Anda.” Anda mau dioperasi oleh dokter semacam itu? Tentu saja tidak! Anda akan mencari dokter yang paling berpengetahuan dan paling berpengalaman dalam hal bedah otak.

Kita menginginkan pengetahuan yang jelas. Kita menghendaki sesuatu yang dapat dipercaya dan diandalkan. Kita mengharapkan kepastian yang dapat dijadikan pegangan. Itulah sebabnya orang mengatakan bahwa pengetahuan itu penting. Knowledge is power. Firman Allah pun menegaskan, ”Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah (TB); My people are destroyed for lack of knowledge (KJV).” Kebenaran ini berlaku baik dalam perkara yang tampak sepele maupun dalam perkara yang serius. Orang, misalnya, bisa mati muda gara-gara tidak memiliki pengetahuan tentang makanan sehat.

Masalahnya, pada zaman ini, yang disebut pengetahuan biasanya terbatas pada perkara-perkara yang kasat mata. Matematika. Fisika. Kimia. Biologi. Kedokteran. Teknik. Apa yang disebut sebagai ilmu pasti, eksakta. Itu memang perkara-perkara yang penting, dan kita tidak menyanggah pentingnya pengetahuan dalam bidang-bidang tersebut. Namun, dalam bidang-bidang lain yang tak kalah penting, atau malah lebih penting, kita justru tidak memiliki pengetahuan. Kita cukup puas dengan pendapat, nilai-nilai, preferensi, atau tradisi. Bukan pengetahuan.

Renungkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Apakah kebaikan itu? Apakah kejahatan itu? Bagaimana tabiat manusia itu? Apa yang terjadi setelah manusia mati? Apakah alam semesta ini hanya terdiri atas materi, atau ada makna yang lebih dalam di baliknya? Benarkah penderitaan itu ada artinya? Apakah Allah itu ada? Seperti apakah Dia? Apakah kehidupan ini hanya kebetulan? Adakah standar moral yang kelak akan dijadikan tolok ukur untuk bagi pertanggungjawaban kita, dan kalau standar moral itu ada, bagaimana kita mengetahuinya? Apakah manusia itu berharga?

Pertanyaan-pertanyaan itu mewakili perkara-perkara yang paling penting bagi keberadaan dan kehidupan umat manusia. Kita mungkin tidak mempelajarinya di ruang kelas atau ruang kelas, tetapi kita mengetahuinya.

Namun, menurut pandangan saat ini, pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak dapat dijawab oleh pengetahuan. Kita hanya bisa mengutarakan pendapat, preferensi, atau mungkin nasihat dan saran tentang hal-hal itu.

Pertanyaan-pertanyaan tadi tidak lain berkaitan dengan moralitas dan spiritualitas. Para penulis Alkitab, dan khususnya Tuhan Yesus, mengklaim bahwa mereka menawarkan pengetahuan seputar pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bukan sekadar pendapat, nasihat, atau saran untuk hidup yang lebih baik, tetapi pengetahuan tentang sesuatu yang nyata (real), tentang realitas yang paling hakiki, tentang keberadaan Allah. Catatan: Sebenarnya, setiap agama dan aliran filsafat berawal dari klaim semacam ini. Tentang apakah klaim mereka benar atau tidak, itu soal lain.

Di Alkitab, silakan cari kata-kata know dan knowlegde (pengetahuan, pengenalan). Perhatikan, penulis Alkitab mengklaimnya sebagai pengetahuan, bukan sekadar pendapat, nasihat, atau saran.
”Jikalau engkau berseru kepada pengertian, dan menujukan suaramu kepada kepandaian... maka engkau akan memperoleh pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah” (Amsal 2:2, 5).
”Aku tahu kepada siapa aku percaya” (2 Timotius 1:12).
Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah (TB); My people are destroyed for lack of knowledge (KJV)” (Hosea 4:6).
Pengetahuan adalah persentuhan dengan realitas, dengan apa yang nyata, dengan apa yang benar. Realitas moral dan spiritual ini sama nyatanya, bahkan lebih nyata, daripada realitas fisik dan material. “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Korintus 4:18).
Kalau Anda tidak akan memasang listrik di rumah hanya berdasarkan pendapat orang, puaskah Anda menjalani kehidupan ini hanya berdasarkan pendapat orang?

Kenapa, khususnya dalam area moral dan spiritual, kita cenderung menghindari pengetahuan dan mencoba mengedepankan pendapat? Karena, seperti dikatakan Paulus, “Pengetahuan [pengetahuan semata]… membuat orang menjadi sombong” (1 Korintus 8:1). Pengetahuan cenderung membuat orang sombong dan tidak toleran. Orang yang merasa dirinya lebih berpengetahuan, lantas merasa dirinya lebih kudus dari orang lain, dapat merendahkan orang lain atau melakukan kekerasan terhadap orang lain.

Bagaimana menghindarinya? Bukan dengan menyamarkan pengetahuan. Bukan dengan menganggap bahwa pengetahuan moral dan spiritual itu sebenarnya hanya pendapat. Contohnya, ada orang yang berpendapat Iron Man 2 lebih baik dari Iron Man 1, tetapi ada yang berpendapat sebaliknya, Iron Man 2 lebih buruk dari Iron Man 1. Untuk hal semacam ini, kita dapat berkata, ”Ah, itu kan hanya perbedaan selera.” Tetapi, bagaimana dengan perbedaan semacam ini? Ada yang berpendapat, ”Freesex itu oke-oke saja.” Ada yang berpendapat, ”Freesex itu berdosa.” Apakah kedua pendapat itu sama-sama benar? Sama-sama baik? Hanya menunjukkan perbedaan selera, dan kita perlu memberikan ruang yang sama untuk setiap pendapat? Begitu juga: Apakah ateisme dan kepercayaan kepada Tuhan yang esa itu hanya perbedaan pendapat dan orang perlu bertolerasi terhadap keduanya?

Toleransi itu sendiri dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia itu berharga dan bermartabat setara. Nah, itu suatu klaim moral dan spiritual. Kita tidak akan bisa mengedepankan toleransi dengan menyamaratakan semua klaim moral sebagai klaim yang relatif karena dengan begitu kita malah menghancurkan dasar dari toleransi itu. (Ada yang berpendapat manusia itu bermartabat sama, ada pula pendapat yang rasis. Kalau kita menolerir kedua pandangan itu, kita sedang menghancurkan toleransi!)

Jadi bagaimana? Kesombongan memang masalah yang berat. Namun, kesombongan bukan masalah kebenaran (maksudnya: kebenaran, sekalipun disampaikan orang sombong, tetaplah kebenaran), melainkan masalah karakter. Kesombongan dibangun dari ilusi, bahwa dengan mengetahui sesuatu itu kita menjadi lebih hebat dari orang lain dan pantas merendahkan mereka. Kesombongan, dengan demikian, menunjukkan tidak adanya pengetahuan: pengetahuan akan klaim Yesus dan pengetahuan akan martabat manusia.

Karena itu, dalam Alkitab, ujian tertinggi bagi pengetahuan bukanlah IQ atau banyaknya informasi yang kita ketahui. Ujian itu adalah kasih. “Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun” (1 Korintus 8:1). Kasih itu lebih dari sekadar bertoleransi. Kasih berarti mengutamakan kebaikan dan kesejahteraan orang lain, bahkan dengan mengorbankan diri kita.

Empat Pertanyaan Mendasar
Pengetahuan itu penting. Namun, tidak semua pengetahuan setara nilai kepentingannya. Nah, apakah pengetahuan yang paling penting, paling mendasar, paling hakiki dalam kehidupan kita? Orang biasa menyebutnya sebagai world view---pandangan dunia. Pandangan kita tentang bagaimana dunia dan kehidupan ini berlangsung. Semacam peta yang menunjukkan tempat kita di tengah dunia dan kehidupan ini (cf. peta di mal atau toko). Sadar atau tidak, setiap orang pasti memiliki pandangan dunia tertentu, dan pandangan dunia itulah yang membentuk corak kehidupannya. Pandangan dunia kita menjawab empat pertanyaan mendasar berikut ini.

1.      Apakah yang real/nyata itu? Apakah realitas atau kenyataan itu?
Apakah yang dapat saya percayai? Apakah yang dapat saya andalkan? Banyak orang beranggapan, yang nyata/real adalah apa yang dapat dilihat, disentuh, diukur. Kita dalam budaya Timur masih memperhitungkan realitas ”dunia lain”, alam roh. Masalahnya, bagaimana sikap kita terhadap realitas itu? Apakah kita memiliki pengetahuan yang benar? Atau, kita cukup puas dengan pendapat dan tradisi manusia? Kita tidak protes ketika matematika ”memaksakan” bahwa 2 + 2 = 4; tetapi, bagaimana tanggapan kita ketika dikatakan bahwa ”Percabulan itu dosa”? Apakah kita menganggapnya sekadar sebagai pendapat? Atau, sebagai pengetahuan moral dan spiritual yang sama nyatanya dengan pengetahuan matematika?

Yesus bercerita tentang orang yang kaya-raya, yang dengan penuh kepuasan berkata, ”Jiwaku, ada padamu banyak barang.” Barang. Benda. Kekayaan. Itulah realitasnya. Itulah yang diandalkannya. Makan, minum, dan bersenang-senang. Malam itu sesuatu terjadi padanya. Ia mati, dan mendapati bahwa ia hanya hidup dalam ilusi---apa yang semula diandalkannya itu ternyata tidak dapat lagi menolongnya. Ketika kita mengabaikan realitas sejati, kita akan mengalami krisis, kita menanggung akibatnya, kita akan menderita karenanya. Penderitaan, kata orang bijak, terjadi ketika kita bertabrakan dengan realitas. Hal itu bisa di dunia saat ini, namun paling parah ketika kita baru menyadarinya di dunia yang akan datang.

Apakah realitas Anda? Apa yang Anda andalkan?

2.      Siapakah yang memiliki kehidupan yang baik itu?
Sekalipun dicaci sebagai menjual mimpi, banyak orang terpikat pada sinetron di televisi. Sekalipun dicerca sebagai ajang gosip, banyak orang terpaku menonton tayangan infotainment kehidupan para selebritas. Kenapa? Justru dalam impian dan gosip yang disiarkan itulah, orang merasa menemukan jawaban atas pertanyaan ini: seperti inilah kehidupan yang baik itu, seperti inilah orang-orang yang telah mengecapnya. Rumah mewah, wajah cantik dan tampan, postur tubuh yang seksi, keuangan yang berlimpah, kemashyuran, kehidupan yang penuh dengan tamasya dan aneka kesenangan. It’s a wonderful life, isn’t it? Dan, orang pun dihinggapi kecemburuan, ketidakpuasan, atau bekerja mati-matian demi mengejar kehidupan yang baik itu. Itulah krisisnya.

3.      Siapakah orang yang baik itu?
Sungguh menarik, sekalipun kita cenderung menolak adanya pengetahuan moral, dan menganggap semuanya itu hanyalah pendapat yang relatif, tetapi kita tak bisa menghindar dari pertanyaan ini. Dengan bahasa yang berbeda-beda, kita mengelompokkan orang sebagai orang yang baik dan orang yang jahat. Kita mencaci koruptor, dan kita memuji murid yang jujur. Dengan standar apa kita melakukan penilaian?

Kebingungan tentang kehidupan yang baik dan orang yang baik ini dapat kita amati dengan membandingkan iklan dan obituari (tulisan mengenang orang yang meninggal dunia). Apa yang ditawarkan iklan? Rambut yang lebih berkilau, gigi yang lebih berseri, hubungan seks yang lebih memuaskan, keuangan yang lebih berlimpah, tempat tamasya yang lebih eksotis, teve layar lebar yang lebih canggih, dan seterusnya. Apakah hal-hal semacam itu akan muncul dalam obituari? Biasanya tidak. Obituari akan cenderung menggambarkan orang yang meninggal itu sebagai orang yang baik.

Di situlah persoalannya: kita ingin menjadi orang yang baik, tetapi kita cenderung lebih mengejar/mengutamakan kehidupan yang baik. Hal ini membawa kita kepada pertanyaan keempat.

4.      Bagaimana saya dapat menjadi orang yang sungguh-sungguh baik?
Dalam sejarah, pertanyaan ini melibatkan pendidikan dan pembinaan karakter. Bangsa Israel kuno, karena mereka percaya bahwa pengetahuan moral dan spiritual itu terbuka bagi semua orang, sanggup menanggapi empat pertanyaan mendasar tadi. Orangtua dan para guru bukan sekadar menyebarkan informasi, melainkan membentuk orang-orang yang baik, orang-orang yang akan berbicara di dalam kebenaran dan bertindak di dalam kasih. ”Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! [menjawab pertanyaan pertama: Apakah yang nyata itu?] Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. [menjawab pertanyaan kedua dan ketiga: Siapakah orang baik itu?] Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun [menjawab pertanyaan keempat: Bagaimana kita menjadi orang yang sungguh-sungguh baik?] (Ulangan 6:4-7). Keempat pertanyaan mendasar tadi dijawab dalam satu paragraf singkat ini!

Di dunia saat ini, universitas mana yang mengajarkan hal seperti itu? Ada universitas untuk mendalami ilmu bermain piano sampai ilmu teknik nuklir, tetapi universitas mana yang menekuni pendidikan moral dan spiritual? Universitas---dari kata universe, alam semesta, universal---tidak mampu memberikan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan universal itu. Mereka tidak menawarkan ”pengetahuan”, melainkan hanya ”pendapat”.

Jawaban Yesus

1.                    Apakah yang real/nyata itu? Apakah realitas atau kenyataan itu?
Menurut Yesus, pusat dari realitas tidak lain adalah Allah, Pribadi yang kasih dan kesanggupan-Nya melampaui apa yang dapat kita bayangkan dan kita pikirkan. Alam semesta tidak muncul dengan sendiri, seperti yang disampaikan dalam ”pengetahuan ilmiah.” Manusia juga tidak muncul begitu saja. Sebaliknya, Allah menciptakan apa yang ada dari apa yang tidak ada. Alam semesta dan manusia ada karena Sang Pencipta. Manusia merupakan rupa dan gambar Allah---keberadaan manusia sangat bergantung pada realitas Allah.

Tentang realitas ini, Yesus berkata, ”Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yohanes 17:3). Mengenal atau memiliki pengetahuan, bukan berarti ”memiliki pengetahuan tentang”, melainkan masuk ke dalam realitas Allah, mengalami realitas Allah. Bila kita berada di dalam realitas ini, kita mengalami hidup kekal, hidup yang tidak terputus oleh kematian sekalipun (cf. Roma 8:38-39).

2.                    Siapakah yang memiliki kehidupan yang baik itu?
Kata yang digunakan Yesus untuk “baik” dalam Alkitab adalah makarios atau blessed (diberkati, KJV), berbahagia (TB). Amplified Bible menguraikannya sebagai: ”bahagia, patut dicemburui, dan makmur secara rohani---dengan sukacita kehidupan dan kepuasan batin di dalam kemurahan dan keselamatan Allah, bagaimanapun kondisi lahiriah orang tersebut.”

”Patut dicemburui.” Kita diam-diam iri melihat kehidupan selebritas, tetapi Tuhan Yesus menunjukkan kondisi kehidupan seperti apa yang patut kita cemburui. Berbahagialah orang yang miskin. Berbahagialah orang yang berdukacita. Berbahagialah orang yang lemah lembut. Berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran. Berbahagialah orang yang memiliki hubungan personal dengan Allah, yang hidup di dalam realitas Allah, di dalam hadirat-Nya, di dalam kuasa-Nya, di dalam kasih-Nya. Berbahagialah Anda, sekalipun tampaknya Anda tidak mengecap kehidupan baik yang ditawarkan oleh dunia ini. Berbahagialah bila Anda sekarang telah memasuki kerajaan ini, realitas ini. Kondisi seperti itulah yang patut dicemburui!

“Bagaimanapun kondisi lahiriah orang tersebut.” Kita kadang-kadang mencampuradukkan kehidupan yang baik versi Yesus dengan kehidupan yang baik versi dunia. Kita merasa baru benar-benar diberkati ketika kondisi lahiriah kita sehat dan makmur. Atau, lebih jauh lagi, kita membuat klaim: ”Orang saleh/benar pasti sehat dan makmur.” Kalau kita meneliti Alkitab, ketaatan kepada kebenaran memang dapat mendatangkan kesehatan jasmani dan kemakmuran materi, tetapi tidak kurang pula ketaatan yang justru mendatangkan penderitaan dan penganiayaan. Silakan baca baik-baik kehidupan Paulus atau Ibrani 11, misalnya. ”Dunia ini tidak layak bagi mereka” (Ibrani 11:38). Artinya, ukuran dunia ini tidak berlaku bagi mereka, versi kehidupan baik menurut dunia tidak cocok bagi mereka.

”Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat” (2 Korintus 11:23-28). Pada akhir hidupnya, Paulus berkata, ”Engkau tahu bahwa semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku; termasuk Figelus dan Hermogenes” (2 Timotius 1:15). Pertanyaan: Kalau menurut ukuran dunia, menurut versi dunia, apakah kehidupan Paulus adalah kehidupan yang baik, yang sukses? Adakah yang akan ”mengiklankan” kehidupan seperti itu? Sebaliknya, apa kira-kira yang akan dikatakan Yesus tentang kehidupan Paulus?

Paulus mengaku bahwa ia mengenal baik kekurangan maupun kelimpahan, tetapi ”Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13). Baginya, kekurangan dan kelimpahan bukanlah barometer kondisi hidupnya. Baik-buruk kehidupannya tidak ditentukan oleh kekurangan ataupun kelimpahan. Baik-buruk kehidupannya ditandai oleh satu hal: apakah ia berpegang teguh pada realitas yang sesungguhnya, bergantung sepenuhnya pada Allah, di tengah segala perkara, di tengah apa pun kondisi lahiriah yang melingkupinya.

3.                    Siapakah orang yang baik itu?
Orang yang baik adalah orang digerakkan oleh kasih, orang yang menindakkan kasih karena kondisi rohaniahnya sudah diubahkan. Yohanes berkata, ”Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:7-8). Kasih ini bukanlah sesuatu yang setimental, hati yang berbunga-bunga, atau emosi yang meluap-luap.

Kasih ini, sebagaimana kasih Yesus, bukan menuntut dilayani, melainkan dengan penuh kerelaan melayani dan memberikan nyawa (berkorban) bagi kebaikan dan kesejahteraan sesama. Kalau kita melihat kekurangan dalam diri orang lain, apakah kita mengecamnya, atau kita turun melayani untuk menolongnya? Atau, mungkin kita merasa tidak lagi diberi makan dengan baik dalam jemaat ini, kita merasa tidak bertumbuh di dalam jemaat ini, bukankah itu sebenarnya merupakan kesempatan untuk melayani tanpa syarat dan tanpa pamrih di tempat yang tidak memberikan balasan pada kita? Kalau kita melakukan kebaikan hanya kepada orang yang berbuat baik kepada kita, atau karena kita mengharapkan imbalan---orang jahat pun berbuat demikian. Kasih Kristus mengundang kita untuk berdoa dan memberkati bahkan musuh dan penganiaya kita.

Itulah kasih yang lahir dari pengetahuan/pengenalan akan Allah. Tuhan mau kita sebagai jemaat bersama-sama bertumbuh di dalam kasih. Begitulah, memiliki pengetahuan yang benar akan Allah tidak akan membuat orang sombong, sebaliknya ia akan seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk, semakin rendah hati dan penuh kasih.

4.                    Bagaimana saya dapat menjadi orang yang sungguh-sungguh baik?
Dengan mengandalkan Tuhan Yesus Kristus. Dengan menerima perkataan-Nya sebagai pengetahuan kebenaran. Dengan tinggal di dalam Firman-Nya. Singkatnya, dengan menjadi murid-Nya. Yesus, yang Kamis lalu kita rayakan kenaikan-Nya ke surga, masih hidup dan hidup selama-lamanya. Dan, Dia masih membuka pendaftaran bagi siapa saja yang bersedia menjadi murid-Nya.

Bila kita adalah murid-Nya, marilah kita bersama-sama belajar untuk hidup menurut pandangan dunia yang dipaparkan Tuhan Yesus. Sebaliknya, bila ada di antara Anda yang menyanggah jawaban Yesus tadi, saya ingin menantang Anda untuk melakukan satu hal ini. Luangkan waktu sepanjang minggu ini: Menurut Anda, jawaban siapakah yang lebih baik dari jawaban Yesus? Renungkan, dan jawablah secara jujur. ***

Sumber: John Ortberg, Smart People: Part One, transkrip khotbah di Menlo Park Presbyterian Church, California, pada Minggu, 6 Desember 2009.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri