Dia Memberikan Diri-Nya Sendiri
Ketika
Ratu Elizabeth II mengunjungi AS, ia membawa empat ribu pon barang, termasuk
dua pakaian untuk tiap acara, pakaian berkabung siapa tahu ada yang meninggal,
23 liter plasma, dan tempat duduk toilet putih dari kulit anak kambing. Ia juga
membawa penata rambut sendiri, dua pelayan pria, dan sejumlah pegawai lain.
Kunjungan singkat seorang ratu ke negara asing bisa dengan mudah menghabiskan
dua puluh juta dolar.
Sang
Pencipta Alam Semesta tidak memasuki panggung kehidupan bumi ini dengan cara
seperti itu. Dia tidak datang dengan membelah langit diiringi pasukan malaikat
surgawi dan disongsong karnaval semarak benda-benda angkasa. Tidak, Dia hadir
sebagai bayi merah yang bergantung sepenuhnya pada perawatan suami-isteri muda
yang masih canggung, dan golongan yang pertama menyambut-Nya hanyalah para
gembala.
Dan,
jangan lupa, Dia tidak lahir di istana, melainkan di sebuah kandang. Kandang di
Timur Tengah pada masa itu biasanya ditempatkan jauh dari lokasi pemukimam
penduduk karena merupakan tempat yang sangat jorok oleh timbunan kotoran dan
air kencing hewan bercampur dengan sampah. Bukan sebuah tempat yang steril
untuk kelahiran orok yang masih merah.
Apa
yang hendak dikatakan Tuhan dengan cara kedatangan-Nya yang seperti itu? Dia
datang untuk turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Dia datang untuk menjadi
Immanuel, “Allah bersama kita”. Dia datang dengan kepedulian.
Agama
atau aliran kepercayaan kerap menggambarkan dirinya sebagai ziarah pencerahan,
perjalanan mencari Yang Ilahi. Dalam Kekristenan yang otentik, justru Yang
Ilahi-lah yang terlebih dulu datang mencari kita, untuk mempedulikan dan
menyelamatkan kita. Sebelum timbul kerinduan kita untuk mencari Tuhan,
anugerah-Nya telah terlebih dahulu mencari kita. Dia tidak lagi mengutus
malaikat atau nabi, namun Dia sendiri yang menjelma menjadi manusia.
Dahulu kala di Persia
memerintahlah seorang raja yang baik dan bijaksana. Ia mengasihi rakyatnya. Ia
ingin mengetahui bagaimana kehidupan mereka. Ia ingin mengetahui kesukaran
hidup yang mereka hadapi. Sering ia mengenakan pakaian seorang buruh atau
seorang pengemis, dan berkunjung ke rumah orang-orang miskin. Tidak seorang pun
di antara orang-orang yang dikunjunginya itu yang menyangka bahwa ia adalah
raja mereka.
Suatu ketika ia mengunjungi
orang yang sangat miskin, yang tinggal di sebuah gudang bawah tanah. Ia ikut
memakan makanan mentah yang biasa dimakan orang miskin itu. Ia menghibur orang
miskin itu dengan perkataan yang lemah-lembut dan menyenangkan. Kemudian ia
pergi.
Ketika ia kembali mengunjungi
orang miskin itu, ia memberitahukan identitas dirinya yang sebenarnya, “Akulah
rajamu!”
Betapa terkejutnya orang
miskin itu! Raja itu mengira bahwa orang miskin itu akan meminta beberapa
hadiah atau kemurahan, namun ternyata tidak. Orang itu justru mengatakan,
“Paduka meninggalkan istana dan kemuliaan Paduka untuk mengunjungi hamba di
tempat yang gelap dan suram ini. Paduka memakan makanan mentah yang hamba
makan. Paduka membangkitkan sukacita di dalam hati hamba! Kepada orang lain
Paduka memberikan hadiah-hadiah yang mahal. Kepada hamba Paduka telah
memberikan diri Paduka sendiri!”
Dalam Natal, Raja Kemuliaan,
Tuhan Yesus, memberikan diri-Nya sendiri kepada Anda dan saya! Itulah
kepedulian teragung yang pernah dinyatakan kepada umat manusia. ***
kalau sekarang ada gak ya pemimpin yang berani menyamar jadi rakyat jelata? Terakhir yang saya tahu adalah Sultan HB IX Jogja pada tahun 50-an.
ReplyDeleteAdanya menyamar jadi pesinden, mas Bayu.
ReplyDelete