Dia Menjelma Menjadi Cerita
Seorang temanku meminjam film untuk ditonton bareng teman-temannya
pada malam Natal. Aku menyodorkan Millions,
salah satu film bersuasana Natal kesayanganganku, tentang bagaimana dua
kakak-beradik menggunakan sekantong uang yang jatuh ke pangkuan mereka. Aku
berharap mereka menikmati ceritanya, dan merayakan Natal dengan menyenangkan.
Karena itu, aku betul-betul tidak siap ketika ia bertanya,
"Apa pesan moral dari film ini?"
Hah? Tidak salah dengar aku? Dengan tergelak, aku mengelak
menjawab pertanyaan itu. "Kau nonton film untuk mendapatkan pesan
moralnya? Kenapa tidak dengar khotbah saja? Banyak tuh pesan moralnya."
Mungkin terdengar kasar ya—tetapi, bagaimana lagi? Aku
diingatkan pada dongeng-dongeng di buku atau majalah anak, yang belum puas
kalau belum menutup diri dengan tulisan berhuruf tebal atau miring: "Pesan
moralnya adalah: Bla bla bla. Bla bla bla."
Aku teringat pada ibu Ofelia, dalam The Pan's Labyrinth, yang mencela putrinya yang beranjak remaja
itu, karena masih berkutat dengan dongeng dan peri. Dan ia mengira bisa
menghadiahkan sesuatu yang lebih indah dari buku dongeng bagi putrinya itu.
Tetapi, bagaimana Ofelia bisa menolak ajakan peri untuk menelusuri labirin misterius
yang akan mengungkapkan asal-muasalnya?
Kebanyakan kita seperti ibu Ofelia. Kita memandang dongeng
atau cerita sebagai perkara kanak-kanak yang mesti buru-buru kita tinggalkan
untuk beranjak dewasa. Dan kedewasaan kita artikan sebagai kemampuan untuk
merangkum buket-buket dongeng itu menjadi sebaris pesan moral.
Semakin beranjak besar, semakin piawai kita melakukannya. Kita
begitu rakus meringkus deskripsi menjadi preskripsi. Kita memaksakan narasi
menjadi doktrin. Kita terperangah takjub pada gelora samudera, namun sekaligus
gamang dan ingin menyulingnya menjadi H2O yang bisa kita periksa
pada cawan petri.
Kenapa seperti ada ketakutan untuk menyambut cerita sebagai
cerita? Kenapa kita seperti was-was dan merasa tidak bijaksana kalau
menghanyutkan diri begitu saja ke dalam alirannya?
Pesan moral terkesan lebih teguh. Doktrin mengisyaratkan
sesuatu yang lebih pasti untuk dipegang. Dan kita bisa mencatat skor yang sudah
kita cetak. Aku sudah mematuhi anjuran ini. Aku sudah menjauhi larangan itu. Tidak boleh ini, tidak boleh itu, jangan sentuh ini,
jangan sentuh itu, harus bayar ini, arus bayar itu. Dan kita bisa umuk, membusungkan
dada, merasa lebih hebat dari orang-orang di sekeliling kita: bahwa
pencapaianku yang menjulang ini tercapai karena aku tekun meniti anak tangga
peraturan demi anak tangga peraturan. Atau, kita terberangus oleh lumpur keputusasaan dan rasa bersalah.
Hidup kita terasa lebih sederhana ketika diukur dari
kepatuhan pada kaidah. Pada kepandaian menerjemahkan pesan moral.
Tetapi—dongeng? Astaga! Kita masuk ke sebuah wilayah asing.
Kita berhadapan dengan peristiwa-peristiwa tak terduga. Kita bertemu dengan
orang-orang aneh. Makhluk-makhluk fantastis. Ada naga. Ada bajingan buruk rupa
yang bersembunyi di ceruk bawah tanah. Ada raja yang berzinah, lalu membunuh,
lalu meratap. Ada anak yang berfoya-foya dengan harta ayahnya, dan ketika
pulang setelah bangkrut, ayahnya memeluknya dengan cinta. Ada perjalanan ke
balik pegunungan. Ada petualangan melintasi samudera. Ada peri-peri. Ada
pengkhianatan. Ada dendam. Ada pangeran tampan dan putri jelita. Dan ada cinta
yang tak kunjung mati.
Seperti Ofelia, kita diseret ke dalam labirin yang penuh
kejutan—labirin yang di ujungnya akan menyingkapkan jati diri kita.
Kehidupan terbesar yang pernah menapaki gurun berdebu planet
ini dan kehidupan terbesar yang pernah ditawarkan kepada kita—keduanya adalah
satu dan sama—dikemas dalam wujud Cerita.
"Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka
mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang
telah Engkau utus."
Mengenal—ini bukan
bahasa hukum. Ini bukan istilah doktrin. Bukan peraturan. Bukan kaidah. Bukan
pesan moral. Mengenal adalah bahasa Kasih.
Dan Kasih adalah Cerita yang paling agung.
"Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu," kata
seorang peziarah kehidupan. Maksudnya, tidak ada hukum yang menentang Kasih. Kasih
tidak bertentangan dengan hukum. Kasih tidak menabrak hukum. Sebaliknya, kasih
melampaui hukum. Mengunggulinya.
Kasih tidak cukup dipadatkan menjadi pesan moral. Kasih
tidak dapat dibahas dalam pasal-pasal hukum. Kasih bakal berantakan jika diterjemahkan
dalam kepatuhan kaku pada peraturan. Ada murid yang mematuhi—tetapi tidak
mengasihi—gurunya. Ada prajurit yang mematuhi—tetapi tidak mengasih—jenderalnya.
Ada suami yang mematuhi—tetapi tidak mengasihi—istrinya.
Kasih diterjemahkan dalam kerelaan untuk terlibat dalam
cerita. Kasih mengundang kita untuk masuk ke dalam sebuah cerita yang lebih
besar dari diri kita. "Aku memberikan hukum yang baru kepada kamu, yaitu
supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian
pula kamu harus saling mengasihi."
"Sama seperti Aku
telah mengasihi kamu." Bagaimana Dia telah mengasihi kita? Dia telah mengasihi
kita dengan menjelma menjadi Cerita.
Bagaimana Dia telah mengasihi? Dengan menjadi bayi
terbungkus kain lampin, bayi yang asal-usulnya diragukan, dan dibesarkan
sepasang suami-istri muda yang masih canggung.
Bagaimana Dia telah mengasihi? Dengan menutupi aib seorang
mempelai laki-laki, dengan meredakan demam, dengan meluruskan punggung yang
bungkuk, dengan mencelikkan mata yang buta, dengan menghardik badai, dengan
memangku anak-anak kecil, dengan menulis di atas debu tanah.
Bagaimana Dia telah mengasihi? Dengan bercerita—cerita-cerita
yang membuat merah telinga sebagian orang, dan orang-orang lainnya melihat
cahaya.
Bagaimana Dia telah mengasihi? Dengan menangis di kuburan seorang
teman.
Bagaimana Dia telah mengasihi? Dengan membiarkan seorang
pelacur meminyaki kaki-Nya dengan air mata.
Bagaimana Dia telah mengasihi? Dengan membasuh kaki para
pengikut-Nya.
Bagaimana Dia telah mengasihi? Dengan menjalani pengadilan
konyol, dengan ditinggalkan para pengikut-Nya, dengan menanggung dera cambukan,
dengan disalibkan telanjang di antara dua pencuri sebagai tontonan umum, dengan
mengampuni musuh, dengan meregang nyawa di antara bumi dan langit.
Bagaimana Dia telah mengasihi? Dengan berkata, "Sudah
selesai. Sudah selesai, hai Hukum, waktumu sudah habis. Sekarang tibalah
waktunya untuk Cerita."
Kubayangkan—sekian hari setelah kebangkitan-Nya—seorang murid
memberanikan diri mendekati-Nya, dan bertanya, "Ya Tuhan, apakah pesan
moral dari Cerita-Mu?"
Kubayangkan terdengar derai tawa-Nya mengisi ceruk-ceruk perbukitan
yang dilimpahi cahaya jingga matahari sore. Kubayangkan Dia menatap lembut
murid itu.
"Pesan moral? Tidakkah kau mengerti? Aku sedang menyusun sebuah Cerita Cinta,
Nak."
Kubayangkan Dia berhenti sejenak. Tersenyum. Kulihat matanya
berkilat-kilat bening. Cemerlang.
"Maukah
kau masuk dan menjalaninya—bersama-Ku?"
wow...keren!!!
ReplyDeleteBagus sekali dan bermakna , thanks untuk tulisannya
ReplyDelete