Amadeus: Oh, Kecemburuan
Milos Forman mengunjungi kembali dunia yang pernah
diangkatnya dalam film pemenang Oscar, One Flew Over the Cuckoo's Nest:
rumah sakit jiwa. Hanya saja, sutradara asal Cekoslowakia ini tidak lagi
mengupas soal kegilaan, namun menyoroti tabiat dasar yang telah membelit
manusia sejak mulanya: kecemburuan.
Amadeus berdasarkan naskah drama berjudul sama susunan Peter Shaffer, yang
kemudian juga menuliskan skenarionya. Namun, kisah tentang pertikaian antara
Salieri dan Mozart ini bukan berdasarkan sejarah, melainkan terinspirasi oleh
puisi Alexander Pushkin, ditulis tahun 1830, hampir 40 tahun setelah kematian
Mozart (1756-1791). Dalam puisi itulah, Mozart dan Salieri ditampilkan sebagai
musuh. (Dalam kenyataannya, Mozart dan Salieri tidak bermusuhan; Salieri tidak
membunuh Mozart; dan Salieri bahkan menjadi guru musik salah satu anak Mozart.)
Shaffer, dengan demikian, memanfaatkan unsur-unsur sejarah, namun sekaligus
menyimpangkan sejarah, dan dengan keleluasaan artistik mengeksplorasi isu-isu
yang lebih fundamental dan universal. Meskipun menampilkan Wina pada abad
ke-18, film ini mengundang kita untuk menyimak kembali drama purba yang telah
berlangsung pada masa keturunan pertama Adam.
Kisah dipaparkan dari sudut pandang Salieri saat berada di
sebuah rumah sakit jiwa, setelah ia ditemukan hendak bunuh diri karena dihantui
rasa bersalah akibat "pembunuhan" terhadap Mozart. Jelujuran
kisahnya, sungguh menarik, sejajar dengan kisah korban persembahan pertama dan
pembunuhan pertama dalam tragedi Kain dan Habel.
Sejak kecil Salieri terbakar oleh sebuah hasrat: melayani
Tuhan melalui musik. Ia bernazar akan menjalani kehidupan yang suci dan
bersahaja, berjerih lelah tanpa henti, dan merendahkan diri sedalam-dalamnya.
Itulah korban persembahannya, asalkan Tuhan memberinya karunia bermusik yang
istimewa untuk menjadikannya komposer unggul.
Tuhan mengabulkan harapannya. Sebagian. Salieri pergi ke Wina
dan dalam waktu relatif singkat ia menjadi musisi paling disegani di kota para
musisi itu. Kaisar Joseph II mengangkatnya sebagai musisi istana. Namun, kehadiran
Wolfgang Amadeus Mozart membengkokkan harapannya. Menyimak karya-karya komposer
muda ini, ia langsung mengenali kejeniusan Mozart, namun sekaligus tersadar
akan mediokritas karya-karyanya sendiri. Di sini Amadeus secara
cemerlang mengaitkan kecemburuan dengan pertanyaan tentang keadilan Tuhan dalam
membagi-bagikan karunia.
Yang membuat Salieri murka adalah karena Tuhan memberikan
karunia yang begitu agung kepada orang seperti Mozart. Ia menggambarkan Mozart
sebagai "bocah yang genit... Mozart yang pendengki, suka tertawa
terkikik-kikik, congkak dan kekanak-kanakan ini." Lebih buruk lagi,
menurut Salieri, Tuhan menempatkan di dalam dirinya kerinduan untuk
menggubah musik yang agung dan kemampuan untuk mengenali keagungan,
namun tanpa karunia untuk menghasilkannya. "Engkau menempatkan di dalam
diriku wawasan tentang Yang Tak Terbandingkan, yang tidak diketahui oleh
kebanyakan orang! Kemudian Engkau memastikan bahwa aku sendiri hanya akan
menghasilkan karya yang biasa-biasa saja."
Salieri harus menghadapi kenyataan pahit yang sebelumnya
telah ditelan oleh Kain: Tuhan tidak mengindahkan korban persembahannya. Dan ia
pun mengikuti jalan yang ditempuh oleh pembunuh pertama tersebut.
Murray Abraham sebagai Salieri dan Tom Hulce sebagai Mozart
sama-sama dinominasikan sebagai aktor terbaik Oscar, dan Abrahamlah yang
membawa pulang piala bergengsi itu. Hulce sebenarnya tidak kurang menawan,
namun spektrum emosi yang mesti ditampilkannya memang lebih terbatas.
Sebaliknya, peran Salieri menantang Abraham untuk mengeskpresikan emosi yang
amat bernuansa, dan sekaligus bertentangan: ia membenci Mozart, namun memuja
musik Mozart.
Puncak penampilan keduanya tertuang dalam adegan paling
menawan menjelang akhir film. Mozart mendiktekan Requiem, karya
terakhirnya, dan Salieri menyalinkannya. Di satu sisi kita menyimak proses
kreatif seorang artis jenius, yang terus menggelegak kendati kondisi fisiknya
kian merosot. Di sisi lain, kita menyimak konflik batin yang melanda diri
Salieri: pukulan telak terakhir terhadap mediokritasnya, hasrat untuk
menuntaskan siasat liciknya, dan sekaligus kesadaran bahwa seorang komposer
terbaik sebentar lagi akan bungkam. Di sinilah bayang-bayang Kain menyeringai
segamblang-gamblangnya.
Menyaksikan ekspresi wajah Salieri sepanjang pengakuan
dosanya seperti menatap sebuah cermin diri. Bukankah saya juga dihinggapi
sindroma Salieri, dan dalam taraf tertentu diperhadapkan pula dengan
pertanyaan-pertanyaan tajam yang dilontarkannya?
Adapun Mozart mewakili sosok idaman, figur impian, selebritas
pada zamannya. Saat itu orang terbiasa mengenakan wig, namun perhatikan, wig
Mozart tampil paling nyentrik. Kehidupan mewah penuh pesta, minuman dan wanita
memoles kehidupan pribadi dan keluarga yang rapuh.
Menariknya, kedua sosok itu sama-sama dicekam oleh figur ayah
masing-masing. Ayah Salieri menepiskan kerinduan anaknya untuk menjadi musisi,
membandingkan penampilan para musisi dengan "topeng monyet." Betapa
pahit bagi Salieri saat Bapa di surga ternyata juga "menolak" persembahannya.
Adapun ayah Mozart, Leopold, adalah figur yang dominan. Dan Mozart, di luar
bakat briliannya sebagai komposer, terus menjadi "anak kecil" di
bawah bayang-bayangnya. (Isterinya pun memanggilnya "Wolfi"!) Rasa
bersalah atas kematian sang ayah mendorong Mozart menggubah Don Giovanni,
yang pada gilirannya memberi ide pada Salieri tentang siasat untuk
"membunuh" Mozart. Dominasi orang tua ini terus mencengkeram melalui
figur sang ibu mertua (dalam sebuah adegan menarik, raut wajah ibu mertua ini
menjelma menjadi Queen of the Night dalam The Magic Flute).
Selain Salieri dan Mozart, musik klasik merupakan
"pemeran utama" ketiga dalam film ini. Saya bisa membayangkan Schindler's
List, misalnya, akan tetap "jalan" tanpa ilustrasi musik John
William (termasuk gesekan biola Itzhak Perlman) yang ngelangut. Namun,
tidak demikian dengan Amadeus. Tanpa untaian musik klasik membalut
sekujur kisah, film ini akan seperti adegan gladi The Marriage of Figaro
yang membuat Kaisar Joseph berjengit.
Film ini secara jitu dijuduli Amadeus, bukannya Mozart,
atau malah Salieri. Nama berbahasa Latin itu berarti "dikasihi oleh
Tuhan", dan film ini menangkap ironi dalam kata tersebut. Salieri yang
mendedikasi hidupnya untuk melayani Tuhan, merasa tertolak dan kemudian
mengacungkan tinju kepada-Nya. Sebaliknya, Mozart, yang hidup urakan, justru
dipakai sebagai "suara Tuhan" melalui musik. Kenapa? Ya, kenapa Tuhan
mengindahkan yang satu, dan, tanpa alasan yang dapat kita pahami, tidak
mengindahkan yang lain?
Amadeus, bisa jadi, tidak diniatkan sebagai sebuah "film religius".
Namun, saya mendapatinya sebagai salah satu film "paling religius"
yang memperhadapkan kita pada misteri kedaulatan Tuhan, dan pergumulan kita
dalam menyikapi pilihan kehendak-Nya. Saat film berakhir, kikik tawa Mozart
masih menggema. ***
Film ini akan diputar dalam acara nonton bareng Code
Movie Club pada Selasa, 10 Januari 2012, mulai pukul 19.00 WIB, di Gloria
Graha, Lt. 4, Jl. F.M. Noto 19, Kota Baru, Yogyakarta. Gratis.
Comments
Post a Comment