Balada Tresna dan Karsa
Panggilan hidup manusia itu adalah mengenal Allah dan mengasihi sesama.
Dua orang sahabat, Tresna dan Karsa, menyepakati hal itu.
Namun, mereka menempuh jalan yang berbeda untuk menerapkannya.
Tresna dengan tekun terus berlari mengejar panggilan hidupnya, dan dalam berlari itu ia yakin bahwa Tuhan memelihara dirinya dan mencukupi kebutuhannya—dalam keadaan apa pun.
Karsa dengan gigih berupaya meraih berbagai kemenangan dan kesuksesan dalam hidup ini, dan dengan itu ia yakin bahwa ia akan dapat mengejar panggilan hidupnya secara lebih efektif.
Ada perbedaan yang besar—sangat besar—dalam kedua pendekatan itu.
Bagi Karsa, hidup adalah tentang bagaimana menjadikan Bapa tersenyum bangga melihat betapa gagahnya kita.
Bagi Tresna, hidup adalah tentang bagaimana memandang wajah Bapa dan mendapatkan kekuatan dari senyum-Nya.
Bagi Karsa, hidup adalah membangun impian, meretas kerutinan hidup, mengejar perkara yang hebat-hebat dan luar biasa. "Engkau diciptakan untuk terbang tinggi, Kawan. Tanpa impian, tak ayal engkau akan cepat patah di tengah jalan," katanya.
Bagi Tresna, hidup adalah soal menemukan makna di tengah keseharian yang rutin dan biasa-biasa saja. ”Kesempatan besar untuk melayani Tuhan dan sesama jarang datang, tetapi kesempatan-kesempatan kecil ada di sekitar kita setiap hari,” katanya.
Bagi Karsa, memimpin adalah berada selangkah di depan sehingga dapat mengarahkan mata orang lain pada impian yang gemilang.
Bagi Tresna, memimpin adalah menyentuh kehidupan: tertawa dengan mereka yang tertawa; berduka dengan mereka yang berduka.
Bagi Karsa, orang lain adalah pendukung—yang mesti diuji dan dipastikan kesetiaannya—atau perintang—yang mesti dengan pintar disingkirkan—agar impian lekas tergenggam.
Bagi Tresna, orang lain adalah sesama pejalan dan peziarah, senasib sepenanggungan, dalam pergumulan yang berlain-lainan.
Bagi Karsa, ketaatan adalah sebuah pendakian. Setiap langkah ketaatan pasti membawamu ke tataran kuasa dan wewenang yang lebih tinggi, mengaruniakan kepadamu kemenangan dan kesuksesan yang lebih besar, membuatmu memerintah di dalam hidup ini bersama dengan Sang Raja atas segala raja, dalam hari-hari yang semakin benderang. Kalau kau tergelincir, awas, jangan sampai kau terguling ke jurang; kau harus segera bangkit dan menerjang lawan.
Bagi Tresna, ketaatan adalah sebuah penggalian. Langkah ketaatan adalah melekat erat pada Sang Penuntun: yang membawamu menggali semakin dalam, kadang-kadang menemukan butir-butir rahmat dan anugerah yang terselami, kadang-kadang melewati ceruk gelap yang penuh misteri, kadang-kadang membentur keraguan dan ketidakpastian. Yang pasti, Sang Penuntun mendekapmu dengan erat, tak bakal melepaskanmu.
Seiring dengan berjalannya waktu, Tresna dan Karsa mendapati, tak terelakkan, jalan yang mereka tempuh ternyata telah terpisah jauh—sangat jauh.
Dua orang sahabat, Tresna dan Karsa, menyepakati hal itu.
Namun, mereka menempuh jalan yang berbeda untuk menerapkannya.
Tresna dengan tekun terus berlari mengejar panggilan hidupnya, dan dalam berlari itu ia yakin bahwa Tuhan memelihara dirinya dan mencukupi kebutuhannya—dalam keadaan apa pun.
Karsa dengan gigih berupaya meraih berbagai kemenangan dan kesuksesan dalam hidup ini, dan dengan itu ia yakin bahwa ia akan dapat mengejar panggilan hidupnya secara lebih efektif.
Ada perbedaan yang besar—sangat besar—dalam kedua pendekatan itu.
Bagi Karsa, hidup adalah tentang bagaimana menjadikan Bapa tersenyum bangga melihat betapa gagahnya kita.
Bagi Tresna, hidup adalah tentang bagaimana memandang wajah Bapa dan mendapatkan kekuatan dari senyum-Nya.
Bagi Karsa, hidup adalah membangun impian, meretas kerutinan hidup, mengejar perkara yang hebat-hebat dan luar biasa. "Engkau diciptakan untuk terbang tinggi, Kawan. Tanpa impian, tak ayal engkau akan cepat patah di tengah jalan," katanya.
Bagi Tresna, hidup adalah soal menemukan makna di tengah keseharian yang rutin dan biasa-biasa saja. ”Kesempatan besar untuk melayani Tuhan dan sesama jarang datang, tetapi kesempatan-kesempatan kecil ada di sekitar kita setiap hari,” katanya.
Bagi Karsa, memimpin adalah berada selangkah di depan sehingga dapat mengarahkan mata orang lain pada impian yang gemilang.
Bagi Tresna, memimpin adalah menyentuh kehidupan: tertawa dengan mereka yang tertawa; berduka dengan mereka yang berduka.
Bagi Karsa, orang lain adalah pendukung—yang mesti diuji dan dipastikan kesetiaannya—atau perintang—yang mesti dengan pintar disingkirkan—agar impian lekas tergenggam.
Bagi Tresna, orang lain adalah sesama pejalan dan peziarah, senasib sepenanggungan, dalam pergumulan yang berlain-lainan.
Bagi Karsa, ketaatan adalah sebuah pendakian. Setiap langkah ketaatan pasti membawamu ke tataran kuasa dan wewenang yang lebih tinggi, mengaruniakan kepadamu kemenangan dan kesuksesan yang lebih besar, membuatmu memerintah di dalam hidup ini bersama dengan Sang Raja atas segala raja, dalam hari-hari yang semakin benderang. Kalau kau tergelincir, awas, jangan sampai kau terguling ke jurang; kau harus segera bangkit dan menerjang lawan.
Bagi Tresna, ketaatan adalah sebuah penggalian. Langkah ketaatan adalah melekat erat pada Sang Penuntun: yang membawamu menggali semakin dalam, kadang-kadang menemukan butir-butir rahmat dan anugerah yang terselami, kadang-kadang melewati ceruk gelap yang penuh misteri, kadang-kadang membentur keraguan dan ketidakpastian. Yang pasti, Sang Penuntun mendekapmu dengan erat, tak bakal melepaskanmu.
Seiring dengan berjalannya waktu, Tresna dan Karsa mendapati, tak terelakkan, jalan yang mereka tempuh ternyata telah terpisah jauh—sangat jauh.
Comments
Post a Comment