Kemiskinan, Hukum, dan Anugerah dalam Les Misérables


Istriku, meski sudah kubujuk-bujuk, tidak mau menonton film ini. Kenapa? "Sedih pasti."

Dan, benar, ini film sedih. Dan mengerang dengan penuh kepedihan. Alih-alih dialog, film ini mempersilakan para aktor menyanyikan isi hatinya dengan sepenuh perasaan. Lirik lagunya berupa bait-bait puisi yang mencoba menyarikan pesan novel adiluhung Victor Hugo yang menjadi sumbernya. Alih-alih bentangan lanskap dan adegan-adegan kolosal, film ini memilih lebih banyak menampilkan close up demi close up pemainnya, yang membuat penonton ikut merasakan deru napas mereka. Menyesakkan dada.

"Les Misérables" garapan Tom Hooper (Inggris, 2012) ini sukses dalam dua level: sebagai komentar sosial dan sebagai tamsil rohani.

Sebagai komentar sosial, ia menggambarkan bahwa "Selama masih ada pengutukan sosial, dengan alasan hukum dan adat, yang saat berhadapan dengan peradaban secara artifisial menciptakan neraka di mua bumi dan merumitkan takdir ilahiah dengan ketidakabadian manusia; selama tiga masalah zaman kita tak terpecahkan--degradasi manusia karena kemiskinan, kehancuran perempuan karena kelaparan, dan pengerdilan masa kanak-kanak karena kegelapan fisik dan spiritual; selama ketercekikan sosial masih mungkin terjadi di daerah-daerah tertentu, selama ketakpedulian dan penderitaan tetap bercokol di muka bumi, [film] semacam ini masih selalu ada gunanya."*

Di neraka itu kita menyaksikan Jean Valjean--si jelata yang mencuri sekerat roti untuk membunuh rasa lapar anak saudarinya, dan dipenjarakan sebagai budak kapal selama 20 tahun, dan dilepaskan dengan masa percobaan yang menjadikannya sampah masyarakat, tak memberinya kesempatan untuk memperbaiki nasib. (Halo, Mbak Anggie dan Bu Hartati?) Dan, ketika ia melanggar masa percobaan itu, hukum gigih menguntitnya sampai tubir kematian.

Di neraka itu kita menyimak nyanyian ironis Javert. Ia berdendang bahwa cara untuk menyenangkan hati Tuhan adalah bekerja dengan jujur dan memberi upah secara adil, padahal ia justru mengabdi pada rezim yang membikin "neraka di muka bumi" yang menindas kesempatan untuk bekerja secara jujur dan memperoleh upah secara adil.

Lalu, kita menyaksikan sosok-sosok yang tercekik oleh pengutukan sosial yang keji itu. Fantine, buruh pabrik yang oleh kawan-kawannya sendiri dijerumuskan ke dalam pelacuran. Cosette, bocah manis yang diperbudak oleh sepasang suami-istri pemeras.

Lalu, di jalanan Paris yang kumuh dan bergolak, kita berjumpa dengan para pelengkap penderita lainnya. Gavroche, bocah jalanan yang patriotik. Enjolras, wakil kaum muda yang menyala dengan visi akan masyarakat yang lebih baik. Éponine, permata cemerlang yang tersembul dari tumpukan sampah. Mereka tergilas sebagai tumbal revolusi. Mereka mati. Mati. Mati. Mati. Untuk memperjuangkan mimpi yang tak mereka nikmati. Atau, baru mereka nikmati di dunia lain. Itu bukan utopia. Menurut iman kristiani yang melumuri kisah ini, itu surga. Dan selanjutnya, di pundak orang-orang seperti Marius dan Cosette, yang mereguk cinta setelah revolusi mereda, terpikul tugas untuk menghadirkan surga itu di bumi.

Dalam sosok-sosok itulah, kita menyaksikan kepahlawanan yang mengharukan. "Banyak tindakan hebat telah dilakukan di dalam perjuangan-perjuangan kecil kehidupan. Ada keberanian yang kukuh meskipun tak terlihat, untuk mempertahankan diri dalam kegelapan melawan serbuan kemiskinan dan kebejatan moral. Inilah kemuliaan dan kemenangan batin yang tidak terlihat oleh siapa pun, tidak berbalas kemasyhuran, tidak ada lambaian tangan penghormatan atas kemenangan. Kehidupan, kemalangan, keterasingan, penolakan, kemiskinan, adalah medan perang yang memiliki pahlawan-pahlawan tersendiri. Para pahlawan yang tak dikenal ini kadang justru lebih hebat daripada para pahlawan yang termasyhur."*

***

Sebagai tamsil rohani (yang tetap berkelindan erat dengan isu-isu sosial), ia menggambarkan pergulatan sengit antara hukum dan anugerah. Javert mewakili hukum dan budak hukum; Uskup Digne dan Valjean mewakili wajah anugerah.

Hukum mereduksi manusia menjadi angka. Hukum memvonis: sekali narapidana senantiasa narapidana. Perubahan hidup dan pengakuan bersalah pun tak mampu melunakkan tuntutan hukum. Hukum begitu haus akan keadilan sampai, jika perlu, ia mencekik kehidupan. Dan, sebagai budak hukum, Javert tidak bisa tidur tenang sebelum tuntutan hukum dipuaskan. 

Anugerah membukakan pintu penginapan ketika kamu kedingingan di luar (gambaran anugerah sebagai rumah perlindungan ini juga muncul dalam adegan di biara). Anugerah adalah api pediangan yang menghangatkan. Anugerah adalah roti yang menguatkan. Anugerah adalah ranjang tempat rehat dari penderitaan dan pelanggaran. Anugerah menyapamu sebagai "saudara". Ketika disalahgunakan, anugerah mengampunimu bahkan sebelum kamu meminta ampun. Dan, memberi kepadamu secara berlimpah-limpah bahkan ketika kamu kedapatan mencuri. "Di mana dosa bertambah banyak, di sana anugerah menjadi berlimpah-limpah."

Valejan, anak yang dilahirkan kembali oleh anugerah, berubah dan mendatangkan perubahan. Ia memberikan hidup pada Kota Montreuil-sur-Mer, pada Fantine, pada orang malang yang secara keliru dituduh sebagai Valjean, pada Cosette, pada Marius... dan pada Javert! Pada yang terakhir, pada si budak hukum ini, anugerah malah membuatnya disorientasi. Limbung kehilangan kompas. Ia tak siap menerima pengampunan dan pembebasan tanpa syarat. Ia tak bisa. Ia malu. Merasa ditelanjangi. Dan ia memilih lebih baik terjun dari tubir jembatan, meluncur ke air deras nun di bawah sana.

Pertarungan antara hukum dan anugerah tergelar mencekam dalam kasus Fantine, dalam sebuah peristiwa yang nyaris memutarbalikkan Yohanes 8. Dalam perjumpaan dengan si pezinah, Yesus memilih untuk melepaskan orang yang bersalah dan memberinya kesempatan hidup baru. Javert nyaris menjebloskan ke dalam penjara orang yang tak berdaya seandainya Valjean tak turun tangan. Begitulah. Hukum menyerobot sumber pendapatanmu, mencukur rambutmu, mencabut gigimu, dan menggagahi selangkanganmu. Anugerah memelukmu, merawatmu, memberimu tempat tidur agar kamu bisa mati secara bermartabat--sebagai manusia. ***

04.02.2012

P.S. Film ini bagus dan populer, namun menurutku belum mencapai taraf "klasik". Dan, ia akan merebut simpati para voter Oscar. Film ini bakal menang, mengulang peristiwa saat "Oliver!" (juga film musikal, dan diangkat dari novel terkenal juga, "Oliver Twist" karya Charles Dickens) mendepak "2001: A Space Odyssey", yang nantinya malah jadi film klasik. 

*: Kutipan novel dari Victor Hugo, Les Misérables, a.b. Anton Kurnia (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2006).

Comments

  1. Mas Arie, cuma ada satu adegan yang benar2 senantiasa saya ingat dalam Les Miserables ini, sejak saya kecil (pertama kali saya baca di majalah Bobo).

    Yaitu kisah perjumpaan dengan Bishop Myriel. Masih teringat kisah pendek dari majalah Bobo itu, ketika sang Bishop berkata "Mengapa kamu teledor, bukankah sudah kukatakan bahwa tempat lilin perak ini juga mesti kau bawa?"

    Sayang cuma kisah fantasi. Di dunia nyata, pernahkah Mas bersua dengan pendeta seperti itu?

    ReplyDelete
  2. Setelah mendengar kisah ini pertama kali dari buku Yancey, pada 1999. Dan menonton filmnya tiga tahun kemudian yang dibintangi Liam Neeson, Geoffrey Rush, Uma Thurman dan baru dua minggu lalu mendengar cara mengucapkan judulnya versi Inggris: "leɪ ˌmɪzəˈrɑːb".

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion