The Power of Tanggap Ing Sasmita



FINDING SRIMULAT (Charles Ghozali, Indonesia, 2013)

Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha! Sumprit! Ini film gilak! Sudah lama aku tidak tertawa--dan menangis!--seperti ini di bioskop! Kereeeeen!

"Finding Srimulat" bukan film yang mengandalkan jelujuran cerita yang sebab-musababnya rapi jali. Dengan bangunan cerita yang sederhana (Adi, seorang pemuda penggemar Srimulat, mengajak kelompok ini untuk manggung lagi), dan malah ada yang menyebutnya wagu, toh kita dibawa berayun-ayun dari nyengir, tertawa, dan, ganjilnya, menangis juga. Ini sebuah film yang mengajak kita mengenal lebih dekat Srimulat, kelompok lawak legenderis negeri ini. Selain memberi kita kesempatan ikut-ikutan nonton Srimulat di balik dan di atas panggung, ada juga adegan musikal "Lenggang Puspita" di Stasiun Balapan yang jika di-YouTube-kan bisa-bisa menggilas Gangnam Style!

Ya, entah kenapa, di tengah berbagai adegan yang mengundang tawa itu, seperti ada tangis di arus bawahnya. Bukan tangis meratap memelas. Lebih tepatnya, tangis haru. Haru menyaksikan kegigihan dalam mengarungi nasib yang tidak selalu ramah. Kisah Gogon paling mewakili hal ini. Sebelum dia ngomong, baru melihat jambulnya, kita sudah ketawa. Ya, kita tertawa, namun kemudian kita disodori kegetiran hidup keluarga satu ini. Gogon dan Susi, istrinya, sering bertengkar akibat kesulitan ekonomi. Pertengkaran yang malah membuat kita, lagi-lagi, ketawa. Lalu Gogon ketemu dua pengemis. Mereka bisa mengumpulkan 300-400 ribu per hari, sedangkan Gogon hanya mendapatkan 120 ribu seminggu. "Aku pelawak, bukan pengemis!" katanya. Lalu Gogon ketemu dengan Mamiek, Tessy, dan Adi (Reza Rahadian) yang menjemputnya untuk mewujudkan rencana manggung lagi. Lalu anak Gogon menyusul, meminta oleh-oleh kalau bapaknya pulang nanti. Dan, kita terharu saat Gogon memeluk anaknya, sengguk-sengguk berharap rencana kali ini sukses.

Impian Gogon--juga impian Srimulat--lalu jadi wakil impian rakyat negeri ini. Rakyat yang tulus dan tangguh. Rakyat yang rindu untuk meraih sukses, namun dengan jalan yang bener dan pener. Ketika kesulitan merintang, tidak lalu menempuh jalan pintas. Ketika ada tawaran menggiurkan, tidak lantas kemaruk merenggutnya.

Aku biasanya sebel dengan ceramah kesuksesan ala motivator mengawang-awang itu. Namun, cerita sukses ala Srimulat ini entah kenapa terasa dekat, membumi, menohok. Ia tidak berbicara soal "Asal kamu bisa memimpikannya, kamu pasti bisa meraihnya!" Ia tidak berbicara tentang perjuangan yang individualistis dan egois. Sebaliknya, sukses diraih lewat gotong royong, lewat keguyuban sebuah keluarga besar yang bersedia bahu-membahu, ringan sama dijinjing berat sama dipikul.

Dalam konteks ini, solusi atas masalah pentas Srimulat di Jakarta itu, menurutku, sangat cemerlang. Mungkin ada yang akan menyebutnya penyelesaian yang gampangan atau mendadak dangdut. Menurutku, tidak. Ini bukan penyelesaian yang tiba-tiba saja jatuh dari langit. Sebaliknya, ini penyelesaian yang sangat nJawani. Ini penyelesaian yang berangkat dari kepekaan batin, yang terbit dari keeratan tali kekeluargaan tadi. Penyelesaian yang lahir karena "tanggap ing sasmita".

Jelasnya, saat di Solo, tampaknya sebagian anggota Srimulat, khususnya Djujuk, sudah menangkap gelagat adanya sesuatu yang tidak beres dalam diri Adi. Itu terwakili oleh celetukan Mamiek. Lalu, saat ngobrol dengan Djujuk, Adi tidak menjawab telepon dari istrinya, dan Djujuk menebaknya dengan tepat. Maka, saat Djujuk mengiyakan ajakan Adi untuk pentas di Jakarta, tampaknya ia tidak pasrah bongkokan begitu saja, melainkan sudah pasang kuda-kuda, siap-siap menghadapi kemungkinan buruk. Karena itu, ketika kemungkinan buruk itu benar-benar terjadi, ia sudah siap menawarkan jalan keluar. Itulah "the power of tanggap ing sasmita".

Maka, adegan puncak yang mirip-mirip dengan Moulin Rouge itu (hahahaha!) sungguh ngakak dan menyegarkan.

Jadi, setengah seperempat bintang untuk film yang berpesan moral "Hidup itu cuma mampir cengengesan" ini! ***

15.04.2013


Comments

  1. Ulasannya singkat padan dan no-nonsense. Ending yang moulin rouge ini khas di ludruk dan srimulat yang diwarnai mlayu mrono mlayu mrene dengan berbagai dramanya. Aku senang dengan pencampuran yang santai antara serius, ketawa, sedih, dan (untuk menggunakan klise) berani mix and match dengan genre.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion