Titi Menaklukkan Jakarta
STREET BALLAD: A Jakarta Story (Daniel Ziv, Indonesia, 2013)
Penghasilannya rata-rata 400 ribu sebulan. Seratus ribu untuk suami yang sedang menganggur: uang rokok dan beli pakan ikan hias peliharaan. Seratus ribu untuk uang jajan dan keperluan harian anak. Dua ratus ribu dikirim ke Jawa, membantu orangtua yang sakit-sakitan dan biaya sekolah anak yang tinggal di desa.
Itu penghasilan seorang pengamen yang beroperasi di seputaran Blok M, Jakarta. Namanya Titi Juwariyah. Wajahnya persilangan antara Tri Utami dan Euis Darliah. Suaranya kadang mengingatkan pada Jane Sahilatua kadang mirip dengan Ita Purnamasari.
Kisah hidupnya direkam Daniel Ziv dalam film dokumenter bertajuk "Street Ballad: A Jakarta Story". Pengambilan gambar memakan waktu 4 tahunan. Hasilnya: sebuah potret sebuah subkultur yang dekat, hangat, dan akrab, mengharukan tanpa menjadi lebay, serta di sana-sini menggelikan mengundang tawa. Kita diajak menilik sisi lain Jakarta--dan Indonesia--dari kacamata pengamen yang lumayan unik sosoknya. (Ada film versi panjang, memadukan sosok tiga pengamen, dan rencananya diputar di bioskop awal 2014.)
Titi merantau ke Jakarta sejak usia 14 tahun karena putus sekolah. Sempat menggelandang, ia lalu jadi pengamen karena merasa suaranya lumayan. Ia sudah menikah dua kali. Saat pengambilan gambar, ia tinggal di rumah ibu mertua dengan suami kedua yang sedang menganggur itu--namanya Jagger, suka main ayam jago, konon penggemar berat Rolling Stone--dan anaknya yang paling kecil.
Pagi di rumah ia menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga: menyiapkan makan, memandikan si kecil, menyuapi dan mengantarnya ke sekolah, mencuci baju, mengepel. Urusan rumah beres, baru ia berangkat kerja: mengamen.
Mertuanya seorang pemuka agama sehingga di lingkungan rumah ia mengenakan jilbab. "Tapi enggak mungkin kan saya ngamen pakai jilbab?" katanya. Maka, di tengah jalan sebelum ngamen, ia melepas jilbab dulu. Menurut pengakuannya, penumpang berjilbab jarang memberinya uang. Namun, kala ia menyanyikan lagu Opick, "Bersyukur kepada Allah", ada yang memberinya seratus ribu. Ia pernah dibayar untuk menyanyikan jingle sebuah koran lokal selama tiga hari--mirip dengan kerja buzzer di Twitter. Selebihnya, ia banyak membawakan lagu bikinannya sendiri.
Kisah berkelok mengajak kita mengikuti Titi pulang kampung naik kereta ekonomi ke Ngawi, Jawa Timur. Adegan di desa memberi latar unik dan suasana kejiwaan di balik sosok pengamen seperti Titi. Sekaligus, sekali lagi, memperlihatkan ketimpangan pedih antara Jakarta dan daerah.
Jakarta konon punya slogan angkuh: hadir, atau tersingkir. Titi mewakili sosok yang tersaruk-saruk mencoba hadir. Sekuat dia. Setangguh dia. Dengan impian sederhana: kehidupan yang lebih baik. Maka, di tengah aktivitas mengamen, ia meluangkan waktu untuk ikut kelompok belajar. Adegan di kamar saat ia belajar sekilas tentang komunisme akan membuat kita geli, dan tercenung. Lalu, kita ikut lega saat Titi lulus ujian kesetaraan.
Adegan yang paling kusukai perjalanan naik kereta diiringi lagu "Jaranan". Suara Titi menggeletar serak miris. Tembang dolanan itu jadi terkesan magis. Sekaligus mewakili "gedhebug krincing" perjalanannya, seorang perempuan desa yang mencoba menaklukkan Jakarta.
18.09.2013
*Info lebih lanjut, silakan kunjungi https://www.facebook.com/StreetBallad
Comments
Post a Comment