Baur dan Sunyi
Sumber: http://www.penjualbuku.com/content/uploads/mtoc/product_images/anita0073.jpg |
Benarkah aku menarik?
Tiba-tiba aku ragu, dan merasa perlu lebih menata penampilanku. Tak pernah aku segelisah saat-saat akhir ini. Biasanya aku sudah mantap tampil seadanya. Kalau bercermin ya sekedar menarik rambut ke sana, menarik ke sini, bedakan dan cs-nya. Cukup. Aku bangga dengan diriku. Ada daya tarik yang aku punyai. Tak amat kusadari memang, tapi sekitarku memberikan pengakuan yang tulus.
Pertama, ibuku sendiri. Ah. Ibu
selalu menyanjung buah rahimnya, ya? Ia sering memuji, aku adalah putrinya yang
paling Ayu. Nama yang diberikannya kepadaku juga “Ayu”. Kadang aku berlagak
sebel – soalnya, dua saudara perempuanku juga dipuji begitu! Mereka jadi
mengejekku. Iri mungkin, ya? Hehe, ge-er!
Satelit-satelitku juga omong begitu.
Mereka jujur dan ceplas-ceplos memuji, tanpa ragu tanpa cemburu. Mekar-kuncup
juga hidungku yang sudah gemuk ini.
Dan yang ketiga, lebih menguatkan
lagi. Biasanya yang membawa berita begini Ana, wartawan-gosip paling top di
sekolahku. Apa beritanya? Ada cowok menaksirku! Dan sedikit hari lagi, menyusul
penaksir yang lain; dan daftar pun memanjang. Wow! Itu ‘kan simpati cowok.
Mereka kalau tertarik dengan sesuatu, umumnya, langsung keluar pujiannya. Dan
kalau mereka bersimpati, artinya penampilanku sudah patut di mata mereka. Tak
percuma aku senantiasa mengumbar senyum murah-murah; toh tidak perlu mengimpor.
Namun sekarang, tiang-tiang rasa
percaya diri itu kusangsikan sendiri kekukuhannya. Aku goyah berdiri di
atasnya. Dan merasa perlu bertanya: Benarkah aku menarik?
Kutatapi lama-lama bayangan dalam
cermin. Kutelengkan wajah ke kanan dan ke kiri. Kuputar tubuh. Rasanya ada saja
yang kurang lengkap. Padahal, sejak zaman kuno-majenun juga sudah begini
tampangku. Apa yang kurang? Mengapa keraguan itu demikian kuat meliputiku?
Mengapa aku tak mampu lagi tampil seadanya, merasa puas dengan kesederhanaan?
Kuremas rambut dengan gemas. Entah mulai kapan aku setengah gila, selalu resah
begini. Yang kurasa, alasannya teramat mendebarkan.
Ya, apa artinya bila seorang nona
remaja mempertanyakan kemenarikannya?
***
Aku sedang jatuh cinta.
Payahnya, dia yang kucintai adalah
orang yang tak acuh padaku. Tak pernah kudengar ia mengumbar simpati macam
cowok lain. Kalau berpapasan, ia cuma menyentakkan senyum sekilas, sekadar
menyatakan bahwa kami rekan satu sekolah. Tak lebih. Mulanya aku juga tak
peduli.
Namun kemudian, entah sejak kapan,
pesona itu terjulur halus tiba meraihku. Dan aku terjerat. Aku berusaha merebut
sebanyak mungkin kesempatan untuk memperhatikannya. Langkahnya tampil tegap dan
gagah, dibarengi senyum dan tatapan teduh matanya. Suara yang biasa ia
lantunkan lewat pembacaan puisi, atau dalam upacara, terasa lebih empuk di
telinga. Mabuk rasanya, perasaanku gemetar.
Dulu, kelas satu dulu, kami pernah sekelas.
Dan segala tingkah-polahnya yang sempat kuingat mencuat menjelma kenangan indah
memukau. Sayang, aku tak amat dekat dengannya. Dari dulu, ia seperti jauh buat
diriku. Tapi, kulihat ia pria yang baik. Rasa kagum itu mengental sekarang.
Ia remaja yang gesit; aktif dalam
berbagai kegiatan di sekolah, tapi juga tak kedodoran nilai rapotnya. Ia
berhasil memadukan dua kemampuan yang bagai dua kutub berlawanan: jago basket
sekaligus pengharum nama sekolah lewat keandalannya membaca puisi. Ia… apalagi?
Bagaimana aku harus menderetkan setumpuk kelebihan-kelebihannya?
Dan, aku telah mencintainya, sangat
mencintai: walau baru sampai taraf perasaan. Baru sampai pada taraf perhatian
yang sepihak.
Tersisa satu pertanyaan: Sanggupkah
aku balik menghantam perhatiannya? Mulailah keraguan itu. Aku takut tampil
norak di matanya. Aku ingin senyumku terasa lebih mesra untuknya. Aku ingin ia
tahu bahwa aku memperhatikannya. Namun kemudian, justru aku mulai dilanda rasa
gemetar untuk bertatapan dengannya.
Kupandang ia dari kejauhan.
Kuperhatikan. Aku merasa tak sanggup untuk menyatakan cintaku dengan “agresif”.
Lama-lama, aku merasa tolol bila mencoba menarik perhatiannya dengan penampilan
saja. Dalam bercinta, aku memang masih kurang “piknik”, kurang pengalaman. Ini
cinta pertamaku.
Sungguh sulit berada dalam posisi
begini. Sungguh sulit, justru karena aku, pihak wanita, yang mencintai.
Lingkunganku bagai menggariskan, belum pantas seorang wanita mendului
menyatakan cinta. Dan aku tak sanggup untuk berontak terhadap tatakrama itu.
Tapi, kuatkah aku?
***
“Ayu! Kau mau ke luar?!”
Hup! Aku menoleh gugup. Mata elang
bapak biologi telah menusukku tajam-tajam. Wuih, serem!
“Ti… tid… dak, Pak!” jawabku gagap,
lalu menunduk.
“Hm, sebaiknya matamu memandang ke
papan tulis saja,” kata beliau ketus.
Sialan! Pasti mata anak sekelas
memperhatikan aku sekarang. Pasti mereka bertanya-tanya. Soalnya, Ayu yang
biasanya ceriwis sekonyong-konyong menjelma pelamun kagetan. Apalagi wajah di
sampingku ini – Ana – pasti sudah berlipat-lipat keningnya. Dia kurang
memperhatikan aku tadi, karena selalu serius kalau menghadapi pelajaran idola.
Huh, angker benar mata guru satu ini.
Sialan!
***
“Hayo, kamu kena penyakit apa?” sergap Ana ketika
istirahat.
“Biasa. Cuci mata. Bosan
terus-terusan memandang benang kusut,” kilahku mengelak. Pak biologi memang
gemar membuat garis dan lingkaran kalau menerangkan: kacau!
“Nggak percaya! Aku lihat ada sinar
lain dalam tatapanmu tadi.”
Aku kaget. Sebentar saja. Segera
kukembangkan senyum dan bertepuk tangan penuh semangat menggoda. “Hebat benar
calon psikolog kita ini!”
Ouw! Aku menjerit kena cubitannya.
Ana memakiku gemas. Senang nonton dia begitu. Ia paling gemas, tapi kelihatan
kalau campur bangga, kalau cita-citanya diungkit jadi bahan ledekan. Cita-cita
yang mungkin berkaitan dengan hobi
memburu gosip!
“Kau mau cerita padaku?”
“Cerita apa? Tentang tarian burung
gereja? Atau bougenvil yang bergoyang diterpa angin? Makanya jangan sok genius,
melototi Pak Guru terus. Dia ‘kan sudah nggak ganteng,” aku mengejek lagi.
Ana tambah gencar mencubiti dan
memaki. Penasaran banget ia. Kalaupun sekarang ia kabur ke kantin, jelas ia
belum menyerah.
Ah, An, aku masih bisa bersandiwara
pura-pura, ya? Maafkan. Rasanya sulit untuk berbagi gelisah yang satu ini.
Aku tadi memandang dia. Ya, sedang
senam di halaman bersama anak-anak sekelasnya. Kulihat gerakannya indah, sangat
indah. Mungkin aku memang telah memandang secara “lain”.
Beginikah orang yang mencinta:
segalanya menjadi hiperbola?
***
Waktu hari-hari masih normal, aku suka berjalan pulang
dengan gadis-gadis cap murai. Kalian bisa membayangkan kalau gadis-gadis puber
berkumpul? Banyak bahan omongan, lepas dan blak-blakan diliputi guyon segar.
Topik bisa segunung, dari film, kaset, buku sampai model rambut plus gosip.
Kemasihsendirianku juga kerap dilontarkan hangat-hangat. Atau, mereka
mengomongkan cowok masing-masing.
Sekarang, ketika mereka membicarakan
cowok masing-masing, sesuatu terasa menekanku. Betapa bahagia mereka
berbincang-bincang. Sedang aku? Biasanya memang tak kalah cerewet dalam buka
mulut. Kini, hanya sekadar menjaga kewajaran..
Aku juga selalu mengelak bila harus
bertatapan dengan manik mata Ana. Kali ini, aku terpaksa mengecewakannya. Aku
belum siap untuk membeberkan kegelisahanku kepada orang lain.
Untuk melanjutkannya, aku tak mau
memaksa menyiksa diri. Biar aku sendiri; biar mereka curiga dan macam-macam
kalau mau berprasangka. Tak semua persoalan harus dibebergelarkan kepada orang
lain, sembarang orang.
Kadang Ana yang tetap menemaniku.
Kalau ia mengungkit apa yang telah kupendam, segera aku mengelak, kualihkan
topik. Syukurlah, ia mau mengerti. Aku ingin bercerita, sebenarnya. Namun
seperti ada yang mencegah, mohon waktu yang enak.
Persoalan itu sendiri sebenarnya
masih tak karuan, karena berlangsung sepihak dan takut-takut menemalikan diri
dengan pihak yang diharapkan.
***
Kesepian malam minggu terasa menyengatku kali ini. Aku
sendiri, merasa sendiri. Ayah dan ibu ke rumah kenalan, menghadiri pesta kawin
perak. Sari, kakakku, asyik dengan Hendi, kekasih terkasih, di teras. Tumben
tidak keliling kota. Mungkin kasihan, mau menemaniku.
Aku duduk dengan pikiran menerawang
di depan televisi, memencet-mencet remote control sembarangan. Ada
cemburu ketika haha-hihi Sari dan Hendi menelusup sampai ke ruang tengah. Betapa
mereka rukun berbahagia.
Bayangan dia seketika menyentak. Dia
yang jauh. Dia yang terasa tak tergapai.…
Entah bagaimana, tadi, aku bisa
mengangguk ketika diseret Ana, nonton basket. Padahal, aku tak pernah merasa
suka dengan permainan satu ini. Mungkin Ana mengajakku untuk mencari hiburan;
wajahku tampak kuyu di matanya.
Ketika duduk di pinggir lapangan, debaran itu menyentak.
Ya, aku tahu sekarang, dia, lagi-lagi dia! Pandangku terus terpesona; tanpa
takut kepergok. Penampilannya sungguh prima mendominasi. Ia berkelebat di
antara lawan, melemparkan bola kepada kawan: gerak-gerak manis penuh kelincahan
gesit terkontrol. Ah, aku tak amat paham permainan ini, tapi telah begitu
saksama memperhatikannya. Bukan, bukan permainannya!
Sang bintang lapangan!
Dan segalanya buyar ketika sekali
lagi sorak-sorai panjang menggema. Ana meloncat dari sisiku, menyerbu ke
lapangan. Sang bintang, tentu saja, paling banyak mendapat salut. Dia mengumbar
senyum begitu menawan.
Aku…. Sebenarnya tinggal loncat, dan
ikut menyalaminya. Mengapa aku tetap terpaku di sini?
Tes! Oh, kristal air bergulir
melintasi pipiku. Kuseka cepat-cepat.
Tiba-tiba ada rasa jenuh. Kumatikan
televisi. Dengan gundah kubanting pintu dan kuempaskan tubuh ke kasur.
***
Sendiri.
Betapa menyakitkan kata itu
menghunjam hatiku, malam ini.
Adakah dia juga tengah dicabik-cabik
sepi? Memang, selama ini, belum pernah kudengar, lewat gosip, dia mempunyai
kekasih. Tapi, siapa tahu? Cowok macam dia tak perlu antre, dijamin malah
banyak yang mengincar. Siapa tahu sudah ada yang menarik cita cintanya? Siapa
tahu?
Pertanyan itu pun kembali menusuk:
benarkah aku menarik?
Dadaku sesak. Mengapa aku yang
biasanya luwes kepada siapa pun, sekarang begitu gemetar untuk mendekati
seorang Han? Mengapa?
Han….
Ya, namanya Han. Nama yang teramat
liris bila didesahkan. Nama yang menggelisahkan.
***
Ketika segalanya masih baur, muncul tikaman lain; dan
membuahkan dilema. Aku seperti masuk ke lembah bayang-bayang, dipermainkan
keraguanku sendiri. Makin guncang saja kejernihan yang selama ini sebenarnya
sudah susut sedikit demi sedikit.
Tak kusangka tatapannya menyimpan
cinta. Kalau aku selalu tersenyum bila berpapasan, sebenarnya tidak ada yang
istimewa. Toh aku juga melakukan hal yang sama kepada semua temanku. Tanpa
kusadari, tatapan mata dengan sesuatu yang lain itu telah menjelma sosok
gelisah berdiri di depanku.
Tangannya terulur gemetar menyerahkan
sampul biru itu. Dan aku, tak ayal, ikut gemetar. Masih kucoba tersenyum
sekilas. Bergegas kutinggalkan mata penuh penantian itu dengan dada kacau.
Arya… tak kusangka kau mencintaiku.
Benar saja. Kalimat-kalimat cinta
yang jujur menyergapku. Kata-katanya mengalir lembut dan terpilih (Kuakui, ia
calon pengarang yang hebat. Han, mereka bersahabat cukup akrab, pernah
membacakan puisinya di atas pentas). Terasa amat tulus, dari perasaan yang lama
disungkupi.
Paginya, ia seperti sengaja menantiku
di pintu kelasnya yang berurutan dengan kelasku. Mata itu memandang dengan
penantian penuh harap. Aku gundah. Aku menunduk untuk menghindari sinar yang
meresahkan itu. Apa yang bisa kukatakan?
Dua bayangkan membuhulkan benang
kusut di batok kepalaku.
***
Ada saat seseorang tak mampu menyesaikan sendiri
persoalannya. Dan kali ini, aku memilih lari kepada Sari. Ia saudara paling
dekat denganku. Untuk bercerita kepada ibu, aku merasa sungkan. Kuakui ia cukup
bijaksana. Namun, untuk persoalan cinta, tentu cita-rasanya lain zaman; walau
ibu tentu akan berusaha untuk mengerti. Tapi dengan Sari, rasanya akan lebih
sreg.
“Mbak,” kutekan pundaknya. Ia
mengerti; kapan boleh meledak tertawa, kapan harus serius.
“Mbak, mana yang akan kaupilih: orang
yang mencintaimu atau yang kaucintai?”
“Aku atau kamu?” begitu intronya,
sambil tersenyum lembut. Kubalas dengan senyum tipis: tahu sama tahulah!
“Semuanya berat. Semuanya
mengharuskan adanya tanggung jawab. Kita biasanya suka memberi, ketimbang
menerima cinta. Ketika kita mencintai, sebenarnya yang lebih penting adalah:
apakah orang itu juga mencintai kita atau tidak. (Aku memejamkan mata). Waktu
aku mencintai Mas Hendi, aku gelisah. Dan aku merasa lebih bahagia ketika tahu,
bahwa ia juga mencintaiku.”
“Kalau kita dicintai orang yang tidak
kita cintai? Apakah aku harus menipu perasaanku? Sedang aku mencintai orang
lain, meski aku ragu apakah ia mencintaiku.”
“Perasaan cinta memang tidak bisa
dipaksakan. Berusaha mencintai orang yang semula tidak kita cintai, sama
sulitnya dengan mengharapkan seseorang mencintai kita. Tapi, kita melihat
kenyataan. Dengan orang yang mencintai kita, kita akan mendapatkan kepastian.
Sedang orang yang yang kita cintai, yang masih kita ragukan cintanya, yaah… segalanya
juga seraba meragukan.
“Namun, sekali lagi, perasaan tidak
bisa dipaksakan. Artinya, kau bisa menolak orang yang mencintaimu itu. Tapi kau
juga tak bisa terlalu mengharapkan, orang yang kaucintai akan mencintaimu. Itu
gampangnya.
“Percintaan sebenarnya baru berjalan
bila keduanya saling menanggapi.”
Kuhamburkan tubuhku ke dada Sari. Aku
menangis dengan air mata pedih. Sari mengelus lembut rambutku.
***
Tak semudah kata-kata.
Kabut ini semakin lindap, begitu
kalau kutulis puisinya. Mendung dan angin membuatku guncang. Daun-daun
berguguran.
Mengapa aku tidak bisa bersikap tegas
kali ini? Hari-hariku seperti dicengkeram bayang-bayang Han. Sementara Arya
kubiarkan menanti begitu lama tanpa kepastian; ah, sebenarnya ia sangat sabar.
Hatiku terasa sunyi. Amat sunyi.
***
“Kau tambah murung saja. Ada persoalan, bukan? Baru sekali
ini kau tak mau mengatakannya. Apa persoalannya begitu berat, atau sangat
pribadi? Berceritalah. Sebagai sahabat.”
Kuraih tangan Ana. Kugenggam erat.
Matanya terlihat teduh, tulus. Ada keharuan. Betapa bahagia bila semua orang
menjadi sahabat.
“Bukan aku tak ingin bercerita.
Sangat sulit untuk mengungkapkannya. Kadang ada persoalan yang tidak harus
dibagi kepada orang lain.”
“Yang ini?”
Aku menggeleng. “Kurasa aku hanya
membutuhkan waktu yang tepat. Saat aku akan bisa bercerita panjang lebar.”
“Baiklah. Aku mau menunggu.”
Kuremas lagi tangannya. Ana, karibku.
Kau selalu penuh perhatian. Juga kepadaku. Mengapa aku tak bisa berbagi
denganmu kali ini?
“Eh, bagaimana kalau nanti nonton?
Cari hiburan, biar nggak tegang,” ajaknya kemudian, santai dan dengan senyum
manis. Pandai nian dikau mengalihkan pembicaraan, untuk menjaga perasaanku agar
tak makin murung.
Dan segalanya berpuncak petang itu.
Klimaks yang entah harus kusesali,
kusyukuri atau apa, aku tak tahu. Dunia berputar cepat mencuatkan
kejutan-kejutanya. Batas antara rasa sakit dan kelegaan tak lagi jelas.
Perasaan sudah tanpa warna, namun juga bukan bening. Sebuah konsentrasi yang
pekat antara kepastian dan ketidaktentuan: garis antara yang tidak berarah.
Aku menggigil.
“Lihat, ada Han. Gila dia! Pacarnya
benar-benar hebat. Betul juga omongan teman-teman.”
Sepasang remaja dengan kemudaannya
bergayutan mesra. Begitu hangat. Begitu damai. Tak sadar ada hati yang remuk.
Aku gagal menjadi pendamping ketegapan itu. Sebuah keanggunan telah
merenggutnya lebih dulu. Aku telah kalah.
Baru seminggu yang lalu Ana
mengetahuinya. Ia tidak bercerita sebelumnya; toh itu bukan masalah yang ia
anggap perlu untuk kuketahui. Bagaimana ia akan mengenal hatiku yang tiba-tiba
tertutup, hati yang lebih rahasia dari biru laut lazuardi?
Entah seminggu, sebulan atau setahun,
aku telah kalah; tanpa pernah berlaga. Begitu parah.
Malamnya, ketika bantalku sudah
basah, aku belum bisa mengambil keputusan untuk Arya. ***
(Cerpen ini pernah dimuat di Anita Cemerlang, Vol. 197, 22 Mei – 1 Juni
1986, dan kemudian dibukukan dalam Lintasan
Cinta [Yogyakarta: PBMR ANDI, 2007]).
Comments
Post a Comment