Film yang Lemah Lembut


 Of Gods and Men (Xavier Beauvois, Prancis, 2010)

Ada film-film berlabel "Kristen" yang justru membuatku jengah. Film-film dengan kualitas produksi buruk, plot bolong-bolong, akting dan dialognya kaku--namun, karena dianggap menyampaikan cerita atau pesan Alkitabiah, lantas diarak dan dielu-elukan gereja dan orang Kristen sebagai film "wajib tonton". Film-film itu membuatku berjengit, memperlakukan iman secara gampangan--kalau tidak seperti para motivator ya seperti tukang sulap. Aku akan malu kalau sampai temanku yang non-Kristen menontonnya, dan memandangnya sebagai perwakilan iman kristiani. Dan, jujur, aku meringis senang kalau film semacam itu terkapar di box office. (Enggak usah menyebut judul ya. Kalian tahulah model film yang kubicarakan ini.)

Lalu, sesekali muncul film yang sebenarnya tidak bersikeras melabeli dirinya sebagai "film Kristen", namun malah menampilkan iman kristiani secara elok dan cemerlang. Film yang kualitas produksinya kuat, plot, akting, dan dialognya juga kuat. Film yang kuat sebagai film, dan mengangkat iman sebagai subyeknya secara elegan, bukan menjadi semacam propaganda atau ceramah agama. Film yang mengundangku untuk menimbang kembali dari sudut lain, merenungkan, menantang, dan sekaligus memperkaya keimananku. Film yang dengan senang hati--dengan haru dan bangga--akan kurekomendasikan pada kawan non-Kristen yang berniat belajar tentang iman kristiani.

Ya, film seperti "Of Gods and Men" ini. Film yang diangkat dari kisah nyata biarawan Trappis di biara Tibhirine di Aljazair, bekas jajahan Prancis.

Biara ini telah sekian lama bertumbuh bersama, bahkan menopang, komunitas tempat mereka berada, yang warganya mayoritas Muslim. Mereka menyediakan pengobatan--dan sesekali sepatu--bagi warga, dan juga sejumlah bantuan administrasi. Mereka berkebun. Mereka beternak lebah madu dan menjual madunya di pasar setempat. Mereka menghadiri upacara khitanan. Mereka menjadi tempat curhat bagi warga. Seorang warga menggambarkannya demikian, "Kalianlah cabang itu. Kami ini burung-burungnya. Kalau kalian pergi, kami akan kehilangan pijakan." Terdengar seperti persilangan antara seruan Nabi Yeremia tentang mengusahakan kesejahteraan komunitas tempat kita berada dan perumpamaan Yesus tentang biji sesawi: "Hal Kerajaan Surga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar daripada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya." Mereka berada di sana, seperti dikatakan seorang biarawan, "untuk menjadi saudara bagi semua orang".

Lalu, di tengah ketenteraman itu, muncullah teror itu. Mulanya di tempat yang jauh. Seorang perempuan ditikam dan dilemparkan dari bus karena tidak berhijab. Seorang guru dibunuh karena mengajarkan bahwa jatuh cinta itu normal. Warga asing ditembaki atau digorok lehernya. Dan, teror itu, tinggal menunggu waktu saja, bakal merangsek ke desa itu, ke biara itu.

Pemerintah menawarkan perlindungan oleh militer atau mendesak para biarawan itu pergi. Mereka bersikeras mengambil sikap sendiri. Apakah pergi? Pergi ke mana? Toh mereka sudah mempersembahkan hidup bagi misi ini. Atau tinggal? Di satu sisi, mereka merasa misi belum rampung. Di sisi lain, bukan hanya keselamatan mereka yang terancam, ketenteraman hidup warga juga. Militer pun sempat mencurigai mereka melindungi para teroris karena sempat menolong teroris yang terluka--tergambar dalam adegan apik pertemuan antara helikopter militer dan menara kapel biara. Jadi, bagaimana sebaiknya mereka bersikap? Ini tidak patut saya utarakan di sini; sebaiknya kawan-kawan yang berminat menonton menyimaknya sendiri.

Aku hanya ingin menambahkan: setelah sekian lama menonton berbagai film, baru kali ini aku menyebut sebuah film sebagai "lemah lembut". Adegan demi adegan mengalir dengan tenang, tidak terkesan tergesa-gesa, komposisi gambar meneduhkan, kamera seolah mengajak kita mengamati--bahkan menyentuh--wajah-wajah yang muncul, dan dialog-dialog diucapkan dengan telaten, seolah memberi kita waktu meresapi maknanya (simak, misalnya, percakapan tentang cinta antara Luc dan seorang gadis desa, atau dialog tentang kemartiran antara Christian dan Christophe).

Adegan yang menjadi puncak kelemahlembutan itu adalah adegan anggur dan musik. Para biarawan mengisi gelas dengan anggur, mengangkatnya, mencecapnya. Tersenyum, mulut terbuka, tertawa tanpa suara, tercenung, terdiam, tertegun, bertatapan, mata berkaca-kaca. Sepanjang adegan itu, petilan musik dari balet Swan Lake mengiringi di latar. Sebuah adegan yang sublim. Sampai kemudian... teror itu menggedor pintu biara!

Oya, kekerasan yang kusebutkan tadi kebanyakan hanya disampaikan melalui dialog. Namun, saat kamera benar-benar memotret kekerasan yang terjadi--atau akibatnya--aku mendapatkan kesan, kamera bukan terutama bermaksud mengguncangkan perasaan kita, namun justru mengundang kita untuk memandang peristiwa itu dengan penuh belas kasihan--pada para pelaku! ***

Bagi teman-teman yang berminat menggali lebih jauh tentang film ini, aku merekomendasikan tautan berikut ini:

Ulasan Steven D. Greydanus

Ulasan Jeffrey Overstreet

Artikel Steven D. Greydanus

Artikel Brian Zahnd tentang Christian de Chergé

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri