Obat dan Kesembuhan
Ketika memberikan resep kepada pasien, dokter secara tersirat berkata, “Kalau Anda minum obat ini, Anda akan sembuh!” Sebagai pasien, apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan bergumam, “Aku harus berusaha sembuh! Aku harus mendisiplinkan diri untuk sembuh! Aku harus menerapkan langkah-langkah menuju kesembuhan! Aku harus berjaga-jaga, aku tidak boleh lengah, aku tidak boleh lemah! Aku harus sembuh!” Tampaknya hanya orang kurang waras yang berpikir seperti itu. Kebanyakan kita tentu cukup pintar untuk paham bahwa yang perlu kita lakukan tidak lain adalah minum obat menurut aturan. Ya, tentu saja dibarengi hal-hal yang mendukung penyembuhan: diet makan yang tepat, latihan fisik yang patut, istirahat yang cukup. Dengan memenuhi kondisi itu, kita tinggal berharap proses kesembuhan akan berlangsung sebaik mungkin. Begitu, bukan?
Di dalam firman Tuhan, terutama di Perjanjian Baru, banyak perintah atau pernyataan yang berpola seperti nasihat dokter tadi. Berikut ini beberapa contohnya:
“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”
“Tinggallah di dalam Aku, maka kamu akan berbuah.”
“Maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan.”
“Allah sangat baik kepada kita. Itu sebabnya saya minta dengan sangat supaya kalian mempersembahkan dirimu sebagai suatu kurban hidup... Biarkan Allah membuat pribadimu menjadi baru, supaya kalian berubah.”
Dalam teori, tentu kita sepakat bahwa, dalam pernyataan-pernyataan di atas, bagian yang merupakan “obat” (sebab) adalah: “mengasihi Aku”, “tinggal di dalam Aku”, “kemurahan Allah”, “Allah sangat baik kepada kita”, dan “Allah membuat pribadimu menjadi baru”; adapun bagian yang merupakan “kesembuhan” (akibat/hasil) tidak lain adalah “menuruti segala perintah-Ku”, “berbuah”, “pertobatan”, “mempersembahkan diri sebagai suatu kurban yang hidup”, dan “berubah”. Sepakat?
Namun, coba kita perhatikan, dalam praktek, bagaimana kita memperlakukan pernyataan-pernyataan tadi? Seberapa sering kita berusaha keras untuk menuruti segala perintah Tuhan untuk memperlihatkan bahwa kita mengasihi Dia? Seberapa keras kita berusaha berbuah (dalam gereja tertentu, hal ini berarti menjangkau dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus) untuk membuktikan bahwa kita tinggal di dalam Dia? Seberapa tekun kita mengerahkan kekuatan, berdoa dan berpuasa, untuk bertobat, agar kita mengalami kemurahan Allah? Seberapa gigih kita mempersembahkan diri sebagai suatu kurban hidup, berusaha menjaga kesucian hidup, agar Allah berkenan dan bersikap baik kepada kita? Seberapa gencar kita berusaha berubah, berusaha memperbarui pola pikir (pembaruan pikiran), agar kita menjadi pribadi yang baru, yang lebih baik?
Ah, tanpa sadar, kita bersikap seperti pasien yang kurang waras tadi! Kita menjungkirbalikkan pernyataan-pernyataan tersebut. Kita minum “kesembuhan” dan berharap mendapatkan “obat”. Kita berusaha mengerjakan “hasil”, dan menunggu munculnya “penyebab”. Tidak heran kalau banyak orang kerohaniannya kusut masai!
Yang perlu kita lakukan adalah minum “obat”. Kalau kita minum “obat” dengan benar, “kesembuhan” tidak perlu diusahakan, “penyembuhan” akan berlangsung dengan sendirinya, dan, pada waktunya, kita akan memetik “hasil”-nya. Begitulah proses yang sewajarnya. Jangan dibalik-balik.
Dalam kerohanian, tadi sudah kita sepakati, “obat”-nya adalah ini: “mengasihi Aku”, “tinggal di dalam Aku”, “kemurahan Allah”, “Allah sangat baik kepada kita”, dan “Allah membuat pribadimu menjadi baru”. Berarti inilah kebenaran yang perlu kita “minum” secara teratur. Inilah kebenaran yang perlu kita renungkan sering-sering. Inilah kebenaran yang selayaknya menjadi fokus hidup kita sehari-hari. Inilah kebenaran yang perlu kita resapkan sampai ke sumsum tulang.
Bila kita memenuhi kondisi di atas, “kesembuhan”—yaitu “menuruti segala perintah-Ku”, “berbuah”, “pertobatan”, “mempersembahkan diri sebagai suatu kurban yang hidup”, dan “berubah”—berangsur akan terungkap dalam kehidupan kita. Begitulah prosesnya. Bukan kebalikannya.
Mungkin ada yang nyeletuk, “Tuh, ada lho kita harus mengasihi Tuhan. Berarti itu usaha kita ‘kan? Kita harus berusaha mengasihi Tuhan ‘kan? Membuktikan kasih kita kepada Tuhan dengan menaati segala perintah-Nya ‘kan?”
Sabar sedikit, Adikku yang legalistik dan keras kepala! Jika dibaca dalam konteksnya (Yohanes 14), pernyataan “mengasihi Aku” tersebut mengacu pada percaya kepada Yesus dan kepada Bapa, percaya pada karya keselamatan dan penebusan-Nya. Dan, jangan lupa, kasih tidak pernah bersumber dari diri kita. Sebaliknya, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” Dengan begitu, “mengasihi Aku” bisa dibaca sebagai percaya pada kasih-Nya, berpegang teguh pada kasih-Nya, jatuh cinta mabuk kepayang pada kasih-Nya yang begitu besar. Apakah kita bisa berusaha untuk jatuh cinta? Jadi, “mengasihi Aku” bukanlah soal usaha kita, melainkan soal percaya, soal menerima, menyambut, dan merayakan kasih-Nya.
“Mengasihi Aku” lalu sejajar dengan “tinggal di dalam Aku”. Frasa ini dapat berarti “menjadikan Kristus sebagai rumah (home, tempat kediaman, tempat kesukaan, ruang tempat kita leluasa menjadi diri sendiri) selama-lamanya.”
Nah, pertanyaannya sekarang, seberapa teratur kita minum “obat” itu? Serapa sering kita merenungkan kasih Tuhan, merefleksikan Kristus sebagai tempat kesukaan kita? Seberapa banyak kita berfokus pada kemurahan Allah, kebaikan-Nya, dan anugerah hidup baru-Nya dalam keseharian kita? “Kasih itu tangguh menghadapi bahaya dan maut. Kegairahan tertawa menghadapi gertakan neraka. Api cinta pantang mundur, dan menyapu habis segala sesuatu yang merintanginya. Air bah tak mampu menenggelamkannya, hujan badai tak mampu memadamkannya. Kasih tidak dapat dibeli, tidak dapat pula dijual—kasih tidak akan ditemukan di pasar mana pun”—apakah kita membiarkan kebenaran tentang kasih-Nya yang tak kunjung padam ini meresap sampai ke sumsum tulang?
Mungkin ada lagi yang nyeletuk, “Lalu itu, faktor-faktor pendukung kesembuhan itu—diet, latihan fisik, istirahat—bukankah itu mengacu pada usaha-usaha kita? Bukankah itu jerih payah kita, agar anugerah Tuhan di dalam hidup kita tidak menjadi sia-sia?”
Sebentar, sebentar. Dirimu hendak menjaga anugerah Tuhan dengan kekuatanmu sendiri, dengan kesalehanmu sendiri? Ahai! Jadi, kekuatanmu, kesalehanmu, jerih payah usahamu itu lebih kuat, lebih perkasa, dari anugerah Tuhan ya? Ahai!
Baiklah. Agar tidak salah paham, mari kita cermati faktor-faktor pendukung tadi, dan melihat padanannya secara rohani.
Diet. Ini dapat mengacu pada kemampuan mengenali ajaran sehat. Apakah ajaran itu berfokus pada pembenaran melalui usaha dan amal ibadah manusia (legalisme) atau pada pembenaran melalui karya Kristus yang sempurna (anugerah)? Apakah berbicara tentang anugerah hidup baru atau perbaikan tingkah laku? Apakah mengajarkan kita untuk mengusahakan keselamatan dengan amal perbuatan (working for our salvation) atau merayakan dan mengerjakan keselamatan yang sudah dianugerahkan (working out our salvation)? Apakah ajaran itu mendorong kitan hidup dalam kemerdekaan yang menghancurkan kemerdekaan (Roma 6:16, The Message) atau dalam kemerdekaan yang menjadikan kita leluasa untuk mengasihi dan melayani sesama? Nah, bagaimana kita dapat mengenali ajaran sehat seperti itu? Dengan kemampuan sendiri? Silakan coba sendiri kalau bisa. Firman Tuhan mengarahkan kita untuk bersandar pada bimbingan Roh Kudus, yang akan menuntun kita ke dalam seluruh kebenaran.
Latihan fisik. Ini bisa berbicara tentang latihan beribadah atau melatih otot iman. Ibadah dan iman kita perlu berfokus ke arah yang benar: pada Siapa yang kita percayai. Ya, iman berfokus pada Yesus Kristus, yang tidak lain tidak bukan adalah “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Iman bukan tentang mengklaim apa yang kita anggap sebagai janji Tuhan (kekayaan, kesuksesan, terobosan hidup, jodoh, dan sebagainya), menggumulinya, dan terus setia menantikannya sampai hal itu terwujud. Sebaliknya, iman adalah menyadari bahwa Kristus adalah “ya dan amin” bagi segenap janji Allah. Iman bukan perjalanan menuju Ruang Mahakudus; sebaliknya, iman adalah bergerak di dalam Ruang Mahakudus: di dalam Kristus kita hidup, kita ada, kita bergerak! Iman bukan mengandalkan betapa eratnya kita berpegang pada Tuhan; sebaliknya, iman merasa aman menyadari betapa eratnya Tuhan memegang kita. Martyn Lloyd-Jones mengatakan, “Kita dapat mengungkapkannya demikian: orang yang beriman adalah orang yang tidak lagi memandang pada dirinya sendiri dan tidak lagi mengandalkan dirinya sendiri. Ia tidak lagi melihat pada kondisinya yang dahulu. Ia tidak melihat pada kondisinya saat ini. Ia bahkan tidak melihat pada bagaimana kiranya kondisinya kelak sebagai hasil dari jerih payahnya memperbaiki diri sendiri. Ia memandang sepenuhnya kepada Tuhan Yesus Kristus dan karya-Nya yang sempurna, dan mengandalkan hal itu sepenuhnya. Ia berhenti berkata, ‘Ah ya, dulu aku biasa melakukan dosa-dosa yang parah, namun aku sudah melakukan ini dan itu.’ Ia berhenti berkata seperti itu. Jika ia terus berkata-kata seperti itu, ia belum memahami apa itu iman. Iman berbicara dengan cara yang lain sama sekali dan orang itu akan berkata, ‘Ya, aku telah berbuat dosa secara mengerikan, namun aku tahu bahwa aku adalah anak Allah karena aku tidak mengandalkan kebenaranku sendiri; kebenaranku ada di dalam Yesus Kristus dan Allah sudah memperhitungkan hal itu sebagai kebenaranku.’”
Istirahat. Benarkah kita suka beristirahat (rest)? Kebanyakan orang gelisah (restless), menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas, seakan-akan identitas dirinya ditentukan oleh aktivitas itu. Yesus Kristus mengundang kita untuk keluar dari kegelisahan semacam ini. Maukah kita menyambut undangan-Nya yang lembut ini: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Berusahalah untuk masuk ke dalam perhentian itu”? Beristirahat di dalam Kristus berarti puas akan Dia, menyadari bahwa identitas kita ditentukan semata-mata oleh kasih-Nya. Seperti dikatakan Brennan Manning, “Definisikan dirimu sendiri secara radikal sebagai orang yang dikasihi oleh Tuhan. Itulah identitas diri yang sejati. Identitas lainnya hanyalah ilusi.”
Tentu saja, masih ada faktor pendukung lain yang belum tercakup dalam perbandingan tadi. Ini sekadar ilustrasi. Yang jelas, faktor pendukung itu—apa pun bentuknya—pastilah bukan sesuatu yang kita sanggup mengupayakannya sendiri; faktor pendukung itu tidak pernah berasal dari bawah, dari kemampuan dan daya upaya manusia, melainkan merupakan pemberian dari atas. Merupakan anugerah. Ya, anugerah-Nya cukup, lengkap, komplet, bahkan berlimpah, dan sempurna dalam menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan untuk hidup yang saleh.
Kalau kita batuk, mungkin perlu waktu seminggu untuk sembuh kembali. Adapun proses kesembuhan ini—dari pola pikir legalistik menuju pemahaman penuh akan anugerah-Nya—memakan waktu sepanjang hayat, bahkan mungkin sepanjang kekekalan. Dan, kecepatan proses itu dalam diri tiap-tiap orang percaya berbeda-beda. Kita juga masih dapat jatuh bangun. Kita masih dapat gagal di sana-sini. Jadi, tak perlu membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Tidak usah saling menggigit dan saling menelan. Sebaliknya, kita perlu belajar bersabar satu sama lain. Yang kuat menanggung yang lemah. Saling mendorong dalam kasih dan dalam perbuatan baik. Dan, yang terutama, tidak berusaha mengejar kesembuhan dengan mengupayakan kesembuhan itu dengan kekuatan sendiri, melainkan dengan secara tak putus-putus minum obat anugerah-Nya, sambil secara tak sudah-sudah mendaraskan puji syukur, “Terima kasih! Terima kasih!” ***
Di dalam firman Tuhan, terutama di Perjanjian Baru, banyak perintah atau pernyataan yang berpola seperti nasihat dokter tadi. Berikut ini beberapa contohnya:
“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”
“Tinggallah di dalam Aku, maka kamu akan berbuah.”
“Maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan.”
“Allah sangat baik kepada kita. Itu sebabnya saya minta dengan sangat supaya kalian mempersembahkan dirimu sebagai suatu kurban hidup... Biarkan Allah membuat pribadimu menjadi baru, supaya kalian berubah.”
Dalam teori, tentu kita sepakat bahwa, dalam pernyataan-pernyataan di atas, bagian yang merupakan “obat” (sebab) adalah: “mengasihi Aku”, “tinggal di dalam Aku”, “kemurahan Allah”, “Allah sangat baik kepada kita”, dan “Allah membuat pribadimu menjadi baru”; adapun bagian yang merupakan “kesembuhan” (akibat/hasil) tidak lain adalah “menuruti segala perintah-Ku”, “berbuah”, “pertobatan”, “mempersembahkan diri sebagai suatu kurban yang hidup”, dan “berubah”. Sepakat?
Namun, coba kita perhatikan, dalam praktek, bagaimana kita memperlakukan pernyataan-pernyataan tadi? Seberapa sering kita berusaha keras untuk menuruti segala perintah Tuhan untuk memperlihatkan bahwa kita mengasihi Dia? Seberapa keras kita berusaha berbuah (dalam gereja tertentu, hal ini berarti menjangkau dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus) untuk membuktikan bahwa kita tinggal di dalam Dia? Seberapa tekun kita mengerahkan kekuatan, berdoa dan berpuasa, untuk bertobat, agar kita mengalami kemurahan Allah? Seberapa gigih kita mempersembahkan diri sebagai suatu kurban hidup, berusaha menjaga kesucian hidup, agar Allah berkenan dan bersikap baik kepada kita? Seberapa gencar kita berusaha berubah, berusaha memperbarui pola pikir (pembaruan pikiran), agar kita menjadi pribadi yang baru, yang lebih baik?
Ah, tanpa sadar, kita bersikap seperti pasien yang kurang waras tadi! Kita menjungkirbalikkan pernyataan-pernyataan tersebut. Kita minum “kesembuhan” dan berharap mendapatkan “obat”. Kita berusaha mengerjakan “hasil”, dan menunggu munculnya “penyebab”. Tidak heran kalau banyak orang kerohaniannya kusut masai!
Yang perlu kita lakukan adalah minum “obat”. Kalau kita minum “obat” dengan benar, “kesembuhan” tidak perlu diusahakan, “penyembuhan” akan berlangsung dengan sendirinya, dan, pada waktunya, kita akan memetik “hasil”-nya. Begitulah proses yang sewajarnya. Jangan dibalik-balik.
Dalam kerohanian, tadi sudah kita sepakati, “obat”-nya adalah ini: “mengasihi Aku”, “tinggal di dalam Aku”, “kemurahan Allah”, “Allah sangat baik kepada kita”, dan “Allah membuat pribadimu menjadi baru”. Berarti inilah kebenaran yang perlu kita “minum” secara teratur. Inilah kebenaran yang perlu kita renungkan sering-sering. Inilah kebenaran yang selayaknya menjadi fokus hidup kita sehari-hari. Inilah kebenaran yang perlu kita resapkan sampai ke sumsum tulang.
Bila kita memenuhi kondisi di atas, “kesembuhan”—yaitu “menuruti segala perintah-Ku”, “berbuah”, “pertobatan”, “mempersembahkan diri sebagai suatu kurban yang hidup”, dan “berubah”—berangsur akan terungkap dalam kehidupan kita. Begitulah prosesnya. Bukan kebalikannya.
Mungkin ada yang nyeletuk, “Tuh, ada lho kita harus mengasihi Tuhan. Berarti itu usaha kita ‘kan? Kita harus berusaha mengasihi Tuhan ‘kan? Membuktikan kasih kita kepada Tuhan dengan menaati segala perintah-Nya ‘kan?”
Sabar sedikit, Adikku yang legalistik dan keras kepala! Jika dibaca dalam konteksnya (Yohanes 14), pernyataan “mengasihi Aku” tersebut mengacu pada percaya kepada Yesus dan kepada Bapa, percaya pada karya keselamatan dan penebusan-Nya. Dan, jangan lupa, kasih tidak pernah bersumber dari diri kita. Sebaliknya, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” Dengan begitu, “mengasihi Aku” bisa dibaca sebagai percaya pada kasih-Nya, berpegang teguh pada kasih-Nya, jatuh cinta mabuk kepayang pada kasih-Nya yang begitu besar. Apakah kita bisa berusaha untuk jatuh cinta? Jadi, “mengasihi Aku” bukanlah soal usaha kita, melainkan soal percaya, soal menerima, menyambut, dan merayakan kasih-Nya.
“Mengasihi Aku” lalu sejajar dengan “tinggal di dalam Aku”. Frasa ini dapat berarti “menjadikan Kristus sebagai rumah (home, tempat kediaman, tempat kesukaan, ruang tempat kita leluasa menjadi diri sendiri) selama-lamanya.”
Nah, pertanyaannya sekarang, seberapa teratur kita minum “obat” itu? Serapa sering kita merenungkan kasih Tuhan, merefleksikan Kristus sebagai tempat kesukaan kita? Seberapa banyak kita berfokus pada kemurahan Allah, kebaikan-Nya, dan anugerah hidup baru-Nya dalam keseharian kita? “Kasih itu tangguh menghadapi bahaya dan maut. Kegairahan tertawa menghadapi gertakan neraka. Api cinta pantang mundur, dan menyapu habis segala sesuatu yang merintanginya. Air bah tak mampu menenggelamkannya, hujan badai tak mampu memadamkannya. Kasih tidak dapat dibeli, tidak dapat pula dijual—kasih tidak akan ditemukan di pasar mana pun”—apakah kita membiarkan kebenaran tentang kasih-Nya yang tak kunjung padam ini meresap sampai ke sumsum tulang?
Mungkin ada lagi yang nyeletuk, “Lalu itu, faktor-faktor pendukung kesembuhan itu—diet, latihan fisik, istirahat—bukankah itu mengacu pada usaha-usaha kita? Bukankah itu jerih payah kita, agar anugerah Tuhan di dalam hidup kita tidak menjadi sia-sia?”
Sebentar, sebentar. Dirimu hendak menjaga anugerah Tuhan dengan kekuatanmu sendiri, dengan kesalehanmu sendiri? Ahai! Jadi, kekuatanmu, kesalehanmu, jerih payah usahamu itu lebih kuat, lebih perkasa, dari anugerah Tuhan ya? Ahai!
Baiklah. Agar tidak salah paham, mari kita cermati faktor-faktor pendukung tadi, dan melihat padanannya secara rohani.
Diet. Ini dapat mengacu pada kemampuan mengenali ajaran sehat. Apakah ajaran itu berfokus pada pembenaran melalui usaha dan amal ibadah manusia (legalisme) atau pada pembenaran melalui karya Kristus yang sempurna (anugerah)? Apakah berbicara tentang anugerah hidup baru atau perbaikan tingkah laku? Apakah mengajarkan kita untuk mengusahakan keselamatan dengan amal perbuatan (working for our salvation) atau merayakan dan mengerjakan keselamatan yang sudah dianugerahkan (working out our salvation)? Apakah ajaran itu mendorong kitan hidup dalam kemerdekaan yang menghancurkan kemerdekaan (Roma 6:16, The Message) atau dalam kemerdekaan yang menjadikan kita leluasa untuk mengasihi dan melayani sesama? Nah, bagaimana kita dapat mengenali ajaran sehat seperti itu? Dengan kemampuan sendiri? Silakan coba sendiri kalau bisa. Firman Tuhan mengarahkan kita untuk bersandar pada bimbingan Roh Kudus, yang akan menuntun kita ke dalam seluruh kebenaran.
Latihan fisik. Ini bisa berbicara tentang latihan beribadah atau melatih otot iman. Ibadah dan iman kita perlu berfokus ke arah yang benar: pada Siapa yang kita percayai. Ya, iman berfokus pada Yesus Kristus, yang tidak lain tidak bukan adalah “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Iman bukan tentang mengklaim apa yang kita anggap sebagai janji Tuhan (kekayaan, kesuksesan, terobosan hidup, jodoh, dan sebagainya), menggumulinya, dan terus setia menantikannya sampai hal itu terwujud. Sebaliknya, iman adalah menyadari bahwa Kristus adalah “ya dan amin” bagi segenap janji Allah. Iman bukan perjalanan menuju Ruang Mahakudus; sebaliknya, iman adalah bergerak di dalam Ruang Mahakudus: di dalam Kristus kita hidup, kita ada, kita bergerak! Iman bukan mengandalkan betapa eratnya kita berpegang pada Tuhan; sebaliknya, iman merasa aman menyadari betapa eratnya Tuhan memegang kita. Martyn Lloyd-Jones mengatakan, “Kita dapat mengungkapkannya demikian: orang yang beriman adalah orang yang tidak lagi memandang pada dirinya sendiri dan tidak lagi mengandalkan dirinya sendiri. Ia tidak lagi melihat pada kondisinya yang dahulu. Ia tidak melihat pada kondisinya saat ini. Ia bahkan tidak melihat pada bagaimana kiranya kondisinya kelak sebagai hasil dari jerih payahnya memperbaiki diri sendiri. Ia memandang sepenuhnya kepada Tuhan Yesus Kristus dan karya-Nya yang sempurna, dan mengandalkan hal itu sepenuhnya. Ia berhenti berkata, ‘Ah ya, dulu aku biasa melakukan dosa-dosa yang parah, namun aku sudah melakukan ini dan itu.’ Ia berhenti berkata seperti itu. Jika ia terus berkata-kata seperti itu, ia belum memahami apa itu iman. Iman berbicara dengan cara yang lain sama sekali dan orang itu akan berkata, ‘Ya, aku telah berbuat dosa secara mengerikan, namun aku tahu bahwa aku adalah anak Allah karena aku tidak mengandalkan kebenaranku sendiri; kebenaranku ada di dalam Yesus Kristus dan Allah sudah memperhitungkan hal itu sebagai kebenaranku.’”
Istirahat. Benarkah kita suka beristirahat (rest)? Kebanyakan orang gelisah (restless), menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas, seakan-akan identitas dirinya ditentukan oleh aktivitas itu. Yesus Kristus mengundang kita untuk keluar dari kegelisahan semacam ini. Maukah kita menyambut undangan-Nya yang lembut ini: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Berusahalah untuk masuk ke dalam perhentian itu”? Beristirahat di dalam Kristus berarti puas akan Dia, menyadari bahwa identitas kita ditentukan semata-mata oleh kasih-Nya. Seperti dikatakan Brennan Manning, “Definisikan dirimu sendiri secara radikal sebagai orang yang dikasihi oleh Tuhan. Itulah identitas diri yang sejati. Identitas lainnya hanyalah ilusi.”
Tentu saja, masih ada faktor pendukung lain yang belum tercakup dalam perbandingan tadi. Ini sekadar ilustrasi. Yang jelas, faktor pendukung itu—apa pun bentuknya—pastilah bukan sesuatu yang kita sanggup mengupayakannya sendiri; faktor pendukung itu tidak pernah berasal dari bawah, dari kemampuan dan daya upaya manusia, melainkan merupakan pemberian dari atas. Merupakan anugerah. Ya, anugerah-Nya cukup, lengkap, komplet, bahkan berlimpah, dan sempurna dalam menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan untuk hidup yang saleh.
Kalau kita batuk, mungkin perlu waktu seminggu untuk sembuh kembali. Adapun proses kesembuhan ini—dari pola pikir legalistik menuju pemahaman penuh akan anugerah-Nya—memakan waktu sepanjang hayat, bahkan mungkin sepanjang kekekalan. Dan, kecepatan proses itu dalam diri tiap-tiap orang percaya berbeda-beda. Kita juga masih dapat jatuh bangun. Kita masih dapat gagal di sana-sini. Jadi, tak perlu membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Tidak usah saling menggigit dan saling menelan. Sebaliknya, kita perlu belajar bersabar satu sama lain. Yang kuat menanggung yang lemah. Saling mendorong dalam kasih dan dalam perbuatan baik. Dan, yang terutama, tidak berusaha mengejar kesembuhan dengan mengupayakan kesembuhan itu dengan kekuatan sendiri, melainkan dengan secara tak putus-putus minum obat anugerah-Nya, sambil secara tak sudah-sudah mendaraskan puji syukur, “Terima kasih! Terima kasih!” ***
Comments
Post a Comment