5 Film Hollywood Paling Seru 2015 yang Berhasil Saya Tonton di Bioskop
Judulnya memang mesti spesifik begitu. Pertama, sebagai tanda tahu diri, sadar keterbatasan. Kedua, supaya tidak ngapusi--seperti situs-situs pengejar rating yang suka memberi judul A, padahal isi artikelnya Z.
Keterbatasan. Saya seorang tukang nonton, bukan kritikus profesional. Saya tidak menonton film sebanyak-banyaknya, tekun membikin ulasan, lalu pada akhir tahun bisa menyusun daftar yang relatif mantap: Film Terbaik Tahun Sekian. Sebagai tukang nonton, modal saya 3P: pengin nonton, punya duit, punya waktu. Kalau ada P yang tidak terpenuhi, ya gawal. Karena keterbatasan itu, saya pilih film dengan latar berikut ini.
Bioskop. Film bagus idealnya ditonton di bioskop. Ini pilihan pertama untuk film yang, setelah membaca berita atau ulasannya, membuat saya menggebu pengin menontonnya. Kualitas gambar, tata suara, dan suasana nonton bareng dengan penonton lain memberi nilai tambah nonton di bioskop. Menonton film layar lebar di layar mungil laptop atau televisi ibarat menonton repro lukisan, bukan lukisan asli. Banyak detail gambar yang sulit ditangkap, dan volume suara mesti diredam (kecuali kalau mau digedor tetangga). Maka, untuk daftar ini, hanya saya seleksi dari film yang berhasil saya tonton di bioskop.
Hollywood. Bioskop di sini apa boleh buat masih dijajah film Hollywood. Mirip dengan kuliner. Burger McD relatif gampang ditemukan di pusat kota, namun untuk mencicipi bebek bacem nyamleng mesti rela blusukan ke Pasar Ngino, Seyegan, Sleman. Film Indonesia, terus terang, masih sedikit yang benar-benar menerbitkan rasa pengin nonton. Dari yang sedikit itu, kebanyakan bernasib plung-lap: Kamis mulai nyemplung tayang di bioskop, Senin sudah lenyap karena sepi penonton. Begitulah: hadir, namun cepat tersingkir. Jadi, bukannya enggak cinta karya anak bangsa, melainkan memang lebih gampang mengakses film Hollywood. Paham?
Seru. Ya, dengan kata lain, memuaskan sebagai tontonan. Unsur tuntunan--walau nanti akan disinggung juga sih--nomor sekian sajalah. Kalau ke bioskop, yang utama dicari 'kan memang tontonan. Kalau perlu tuntunan, ya datanglah ke dosen pembimbing, kyai, pendeta, dukun, atau penyair esai.
Maka, biar tidak cerewet berkepanjangan, inilah lima film Hollywod paling seru yang berhasil saya tonton di bioskop sampai pertengahan Desember 2015, dengan urutan terbalik.
Versi Kenneth Branagh ini oke banget sebagai hiburan keluarga. Bagi saya lebih memuaskan dari versi animasi Disney. Selain menampilkan gaun pesta biru kemilau yang mengundang decak kagum, film ini menegaskan karakter Cinderella sebagai gadis yang pengampun. Menolak larut dalam dendam masa lalu, ia berinisiatif mengulurkan rekonsiliasi pada ibu dan saudari tirinya. Pesan politik yang bagus, bukan?
Adegan memikat berlangsung di gedung opera, dengan koreografi laga yang keren. Namun, adegan ini menimbulkan efek samping yang bikin termangu-mangu: Kenapa seni tradisional negeri ini tidak kunjung dikemas secara elok dan bisa jadi tontonan rutin bergengsi? Satu per satu malah rontok. Juga, dongeng-dongeng Nusantara, tidak seperti Cinderella tadi, mana pernah didaur ulang secara menawan--cuma dibesut jadi sinetron abal-abal atau bahan lawakan amburadul? Lho, nonton film laga kok jadi mikirin seni tradisional, nyambung dari mana!
Senang melihat aneka sumber daya dicurahkan untuk misi penyelamatan. Senang melihat perbedaan pendapat yang terjadi tidak diperuncing jadi perseteruan lovers versus haters, namun dinegoisasikan untuk menentukan kemungkinan yang diperkirakan terbaik. Senang menyimak bagaimana kecelakaan itu menjadi berkat terselubung: membuka ruang kesempatan untuk menjelajahi kemungkinan baru, baik dalam upaya bertahan hidup (bertanam kentang organik di Mars!) maupun dalam strategi penyelamatan. Senang di tengah suasana genting itu para awak masih sempat saling meledek. Sebuah contoh bagus untuk upaya Revolusi Mental.
Dengan animasi yang ciamik dan cerita yang membetot emosi, film ini bukan hanya tontonan jempolan, melainkan bisa juga dijadikan bahan diskusi yang tak kunjung habis. Bagi mereka yang menganggap hidup itu semestinya serba hepi dan ditaburi pikiran-pikiran positif ala Yang Mulia Bapak Mario Teguh, film ini bisa menjadi cubitan gemas. Emosi yang cenderung dicap negatif pun nyatanya memiliki peran tersendiri dalam menentukan arah dan memperkaya hidup.
Imperator Furiosa (Charlize Theron), perempuan berambut cepak, melarikan para Induk/Istri Immortan Joe, penguasa setempat. Mad Max (Tom Hardy) malah terkesan sebagai pendukung, sepanjang film lebih banyak menggeram daripada ngomong. Di satu kesempatan, Max adu tembak jarak jauh dengan lawan. Luput. Furiosa mengambil alih. Dalam sekali tembak--dhuaaar!--robohlah si musuh. Di semesta ini, perempuan tak lebih lembek dari laki-laki.
Selebihnya, ini film yang menggelegak. Berkisah tentang pertarungan nasib demi merebut firdaus tempat menyemai harapan akan kehidupan baru. Aksi demi aksi silih berganti semakin sengit. Kejar-kejaran dengan kendaraan futuristik yang kaya imajinasi. Lokasinya mencekam dan mencengangkan, menambah kegentingan pertarungan. Gerak kamera yang gesit lincah membuat penonton ikut tercebur ke tengah arena. Sebuah sungguhan sinematis berkelas, sukses memadukan kebrutalan dan puisi. Film yang bikin orgasme. ***
Keterbatasan. Saya seorang tukang nonton, bukan kritikus profesional. Saya tidak menonton film sebanyak-banyaknya, tekun membikin ulasan, lalu pada akhir tahun bisa menyusun daftar yang relatif mantap: Film Terbaik Tahun Sekian. Sebagai tukang nonton, modal saya 3P: pengin nonton, punya duit, punya waktu. Kalau ada P yang tidak terpenuhi, ya gawal. Karena keterbatasan itu, saya pilih film dengan latar berikut ini.
Bioskop. Film bagus idealnya ditonton di bioskop. Ini pilihan pertama untuk film yang, setelah membaca berita atau ulasannya, membuat saya menggebu pengin menontonnya. Kualitas gambar, tata suara, dan suasana nonton bareng dengan penonton lain memberi nilai tambah nonton di bioskop. Menonton film layar lebar di layar mungil laptop atau televisi ibarat menonton repro lukisan, bukan lukisan asli. Banyak detail gambar yang sulit ditangkap, dan volume suara mesti diredam (kecuali kalau mau digedor tetangga). Maka, untuk daftar ini, hanya saya seleksi dari film yang berhasil saya tonton di bioskop.
Hollywood. Bioskop di sini apa boleh buat masih dijajah film Hollywood. Mirip dengan kuliner. Burger McD relatif gampang ditemukan di pusat kota, namun untuk mencicipi bebek bacem nyamleng mesti rela blusukan ke Pasar Ngino, Seyegan, Sleman. Film Indonesia, terus terang, masih sedikit yang benar-benar menerbitkan rasa pengin nonton. Dari yang sedikit itu, kebanyakan bernasib plung-lap: Kamis mulai nyemplung tayang di bioskop, Senin sudah lenyap karena sepi penonton. Begitulah: hadir, namun cepat tersingkir. Jadi, bukannya enggak cinta karya anak bangsa, melainkan memang lebih gampang mengakses film Hollywood. Paham?
Seru. Ya, dengan kata lain, memuaskan sebagai tontonan. Unsur tuntunan--walau nanti akan disinggung juga sih--nomor sekian sajalah. Kalau ke bioskop, yang utama dicari 'kan memang tontonan. Kalau perlu tuntunan, ya datanglah ke dosen pembimbing, kyai, pendeta, dukun, atau penyair esai.
Maka, biar tidak cerewet berkepanjangan, inilah lima film Hollywod paling seru yang berhasil saya tonton di bioskop sampai pertengahan Desember 2015, dengan urutan terbalik.
5. Cinderella
Sudah puluhan kali dongeng Charles Perrault ini diangkat ke layar lebar. Salah satu yang terkenal versi animasi Disney, yang mengelilingi Cinderella dengan hewan-hewan imut, cerdik, dan nggemesin. Di Indonesia pun pernah dibikin operet, dengan bintang Ira Maya Sopha. Salah satu lagunya, dinyanyikan para tikus, begitu kondang sampai diangkat jadi slogan pemerintahan Jokowi: "Kerja, kerja, mari kita kerja/Gunting, jahit, jadilah gaun/Gaun indah menarik untuk putri yang cantik." Ya, kiranya kinerja Jokowi and his gang sukses membikin gaun yang menarik untuk putri yang cantik, Indonesia tanah air kita. (Eh, ini ulasan film atau apaan sih?)Versi Kenneth Branagh ini oke banget sebagai hiburan keluarga. Bagi saya lebih memuaskan dari versi animasi Disney. Selain menampilkan gaun pesta biru kemilau yang mengundang decak kagum, film ini menegaskan karakter Cinderella sebagai gadis yang pengampun. Menolak larut dalam dendam masa lalu, ia berinisiatif mengulurkan rekonsiliasi pada ibu dan saudari tirinya. Pesan politik yang bagus, bukan?
4. Mission Impossible: Rouge Nation
Film-film Mission Impossible identik dengan film laki-laki. Eh, dalam film kelima ini, muncul sosok Ilsa Faust, yang diperankan aktris Swedia Rebecca Ferguson secara elegan membara. Ia bukan hanya kanca wingking, namun kawan pengiring yang sepadan bagi si protagonis, Ethan Hunt (Tom Cruise, tua-tua tapi masih liat juga). Kalau trend ini berlanjut di sekuelnya nanti, bakal menarik.Adegan memikat berlangsung di gedung opera, dengan koreografi laga yang keren. Namun, adegan ini menimbulkan efek samping yang bikin termangu-mangu: Kenapa seni tradisional negeri ini tidak kunjung dikemas secara elok dan bisa jadi tontonan rutin bergengsi? Satu per satu malah rontok. Juga, dongeng-dongeng Nusantara, tidak seperti Cinderella tadi, mana pernah didaur ulang secara menawan--cuma dibesut jadi sinetron abal-abal atau bahan lawakan amburadul? Lho, nonton film laga kok jadi mikirin seni tradisional, nyambung dari mana!
3. The Martian
Film yang megah, menghangatkan hati, tegang tapi lucu, dan optimistis. Berkisah tentang upaya penyelamatan Mark Watney (Matt Damon), yang tertinggal di Planet Mars karena dikira tewas saat serangan badai.Senang melihat aneka sumber daya dicurahkan untuk misi penyelamatan. Senang melihat perbedaan pendapat yang terjadi tidak diperuncing jadi perseteruan lovers versus haters, namun dinegoisasikan untuk menentukan kemungkinan yang diperkirakan terbaik. Senang menyimak bagaimana kecelakaan itu menjadi berkat terselubung: membuka ruang kesempatan untuk menjelajahi kemungkinan baru, baik dalam upaya bertahan hidup (bertanam kentang organik di Mars!) maupun dalam strategi penyelamatan. Senang di tengah suasana genting itu para awak masih sempat saling meledek. Sebuah contoh bagus untuk upaya Revolusi Mental.
Inside Out |
2. Inside Out
Film animasi Pixar ini menjelajahi wilayah baru: jeroan otak manusia, tepatnya seorang bocah sebelas tahun yang pindah rumah ke kota lain dan mengalami gegar emosi akibat perubahan yang terjadi. Dalam film lain, isi otak manusia biasanya disampaikan dalam bentuk voice over. Film ini memvisualisasikannya sebagai dunia paralel. Isi otak yang diwakili lima emosi utama--Senang, Sedih, Takut, Jijik, Marah--digambarkan merespons peristiwa keseharian si tokoh.Dengan animasi yang ciamik dan cerita yang membetot emosi, film ini bukan hanya tontonan jempolan, melainkan bisa juga dijadikan bahan diskusi yang tak kunjung habis. Bagi mereka yang menganggap hidup itu semestinya serba hepi dan ditaburi pikiran-pikiran positif ala Yang Mulia Bapak Mario Teguh, film ini bisa menjadi cubitan gemas. Emosi yang cenderung dicap negatif pun nyatanya memiliki peran tersendiri dalam menentukan arah dan memperkaya hidup.
Mad Max: Fury Road |
1. Mad Max: Fury Road
Ini film yang terkesan salah judul. Kasusnya mirip dengan Mission Impossible, namun dalam skala yang lebih mencolok. Trilogi Mad Max yang kondang tiga dekade lalu, dan melambungkan nama Mel Gibson, identik dengan film sangar laki-laki edan di dunia yang edan pula. Dalam film keempat ini, peran tokoh perempuan lebih dominan. Jadinya, lebih cocok kalau berjudul Fury Furiosa, atau kalau di-Indonesiakan bisa meminjam judul puisi Hartoyo Andangdjaja, Perempuan-Perempuan Perkasa.Imperator Furiosa (Charlize Theron), perempuan berambut cepak, melarikan para Induk/Istri Immortan Joe, penguasa setempat. Mad Max (Tom Hardy) malah terkesan sebagai pendukung, sepanjang film lebih banyak menggeram daripada ngomong. Di satu kesempatan, Max adu tembak jarak jauh dengan lawan. Luput. Furiosa mengambil alih. Dalam sekali tembak--dhuaaar!--robohlah si musuh. Di semesta ini, perempuan tak lebih lembek dari laki-laki.
Selebihnya, ini film yang menggelegak. Berkisah tentang pertarungan nasib demi merebut firdaus tempat menyemai harapan akan kehidupan baru. Aksi demi aksi silih berganti semakin sengit. Kejar-kejaran dengan kendaraan futuristik yang kaya imajinasi. Lokasinya mencekam dan mencengangkan, menambah kegentingan pertarungan. Gerak kamera yang gesit lincah membuat penonton ikut tercebur ke tengah arena. Sebuah sungguhan sinematis berkelas, sukses memadukan kebrutalan dan puisi. Film yang bikin orgasme. ***
Comments
Post a Comment