Orang Kaya di Kolam Renang

Umurnya 74 tahun—kebalikan dengan angka umur saya. Sebut saja namanya Pak Teguh. Rambutnya tipis dan memutih. Ia sedang rehat di sebelah saya sehabis berenang gaya katak selebar kolam.

Beberapa waktu belakangan saya berlatih berenang. Tempatnya di Umbang Tirta, kolam renang tertua di Yogyakarta. Pelatihnya atas rekomendasi seorang teman yang sudah lebih dulu rajin berenang. Ternyata, saya mendapatkan lebih dari sekadar latihan renang.

Kolam renang rupanya salah satu ruang publik yang selama ini saya lewatkan. Di sini orang bukan hanya berolahraga renang, tetapi juga berkomunikasi dan bersosialisasi gaya lama. Saat orang masuk ke kolam renang, tentu ia meninggalkan gadgetnya, bukan? Kecuali remaja-remaja kenes yang nyemplung ke kolam sambil nyangking tongsis untuk berswafoto ria.

Maka, di tengah-tengah jeda di bibir kolam, mengatur napas, menunggu giliran meluncur, orang dapat memanfaatkannya untuk berinteraksi dengan orang di sebelahnya—seperti saya dengan Pak Teguh itu. Tanpa gagdet, kami berbincang, bertatap muka, berbagi cerita dengan asyik. Tidak jarang percakapan semacam ini berlanjut di tepi kolam seusai berenang, sambil bareng-bareng menyeruput teh hangat dan arem-arem.

Di era medsos, interaksi gaya lama ini terasa mewah. Ruang dan kesempatan untuk melakukannya kian tergerus. Kadang-kadang ruangnya ada, misalnya ngobrol bareng di kafe, tetapi tiap-tiap orang toh masih asyik dengan gadgetnya masing-masing. Akibatnya, perjumpaan tidak jarang jadi kurang optimal.

Apa pentingnya perjumpaan semacam itu? Saya teringat Kate DiCamillo, penulis buku anak-anak penyabet sejumlah penghargaan. Karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain Because of Winn-Dixie, The Tale of Desperaux, dan The Miraculous Journey of Edward Tulane. Ia berkata, Setiap kali Anda melihat dunia dan orang-orang di dalamnya secara cermat, hal itu mengubah Anda. Setiap kali Anda berusaha untuk mendengarkan, untuk mengagumi, untuk bertanya-tanya, dunia menanggapi, membuka dan memberi dirinya kembali kepada Anda menurut cara-cara yang tidak pernah Anda bayangkan. Cerita apakah yang tersembunyi di balik wajah orang-orang yang Anda lewati? Pengharapan apakah? Keputusasaan apakah? Cinta apakah?

Kita diundang untuk menyimak dunia dan orang-orang di sekitar secara lebih cermat. Kita diminta untuk mempedulikan, bukan sekadar menjalani hidup secara acuh tak acuh. Perjumpaan semacam itu melibatkan kesediaan untuk membuka diri, menerima, dan berbagi.

Buahnya, hidup kita diperkaya. Kita berlatih melihat dunia dengan kacamata yang majemuk, bukan sekadar kacamata diri yang bisa jadi egois dan picik. Kita belajar menerima sudut pandang orang lain yang berbeda bukan sebagai ancaman, tetapi pelengkap atas sudut pandang diri yang terbatas.

Empati kita juga dipertajam. Kita mencoba memasuki dunia liyan, menilik dunia melalui sudut pandangnya, tidak buru-buru memberikan cap atau penilaian hitam-putih. Kita tidak bergegas menarik garis “kami versus mereka,” tetapi telaten mencari serat-serat kesenasiban dan persaudaraan. Perjumpaan intensif dan timbal-balik dengan sesama menolong kita bertumbuh menjadi manusia yang kian utuh.

Pertemuan langsung, tentu saja, bukan satu-satunya sarana untuk memperkaya hidup dan mengembangkan empati. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa membaca karya-karya sastra dan menyimak film-film berkualitas menawarkan manfaat yang serupa. Namun, pertemuan langsung mengadung keunggulan yang tak tergantikan. Ia mengintensifkan kadar komunikasi dan pertukaran wawasan, mengurangi potensi kesalahpahaman, serta sejalan dengan kodrat dan kerinduan kita sebagai manusia. Seperti dikatakan Amir Hamzah, “Aku manusia. Rindu rasa. Rindu rupa.”

Seperti pagi itu, melalui kisah Pak Teguh, dunia saya terasa kian pepak.

"Semangat hidupnya besar sekali," komentar pelatih saya. Katanya, dalam kondisi sakit, bapak ini berenang setiap hari. Saya penasaran ingin mengorek keterangan secara langsung.

Ia pernah stroke, dan jantungnya dipasangi cincin. Saraf tulang belakangnya ada yang terjepit. Seminggu dua kali, ia mesti cuci darah.

"Bapak berenang setiap hari?"

"Tidak juga. Senin dan Kamis saya cuci darah. Saya berenang Selasa, Rabu, Sabtu, dan Minggu."

Air kolam bergolak-golak. Angin lumayan kencang pagi itu.

"Ya, dinikmati saja. Wong anak-anak juga sudah mentas semua. Mau apa lagi."

Katanya, saya seumuran salah satu anaknya. Entah yang mana dari keempat anaknya.

"Saya ini orang kaya."

Saya menunggu sambil mengatur napas. Siap-siap mendengar satu lagi kisah from zero to hero.

"Kaya penyakit."

Pak Teguh terkekeh. Rambut peraknya yang basah memantulkan sinar matahari.

"Anak saya tiga orang lulusan Amerika," lanjutnya enteng. "Tetapi, yang dua tidak mau kerja."

"Lho kenapa, Pak?"

"Maunya menggaji orang lain."

Jangkrik!

Saya nyengir, pamit padanya, memancal tembok kolam, lalu meluncur dengan gaya bebas. Lumayan, bisa setengah lebar kolam. Kalau Selasa pagi, kolam Umbang Tirta baru saja dikuras dan diisi ulang. Airnya bening dan segar sekali. ***

Tulisan ini pernah dimuat di kanal Kolom (Detik) pada Jumat, 5 Mei 2017.

Kolam Renang UNY

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri