Potret Dua Perempuan
Kartini dan Yasnina |
Mantan Manten (Farishad Latjuba, 2019) tampaknya sengaja dirilis pada bulan April sebagai kado untuk Hari Kartini. Menariknya, film itu memiliki banyak kesejajaran dengan Kartini (Hanung Bramantyo, 2017).
Kartini menawarkan pembacaan ulang atas kiprah pejuang emansipasi itu. Mantan Manten menampilkan Yasnina, perempuan masa kini yang menghadapi tantangan mirip dengan Kartini.
Tulisan ini akan menelisik kesejajaran tersebut: dua perempuan berbeda zaman, tetapi menghadapi pergumulan yang serupa. (Bagi pembaca yang belum menonton, tulisan ini akan membocorkan alur cerita kedua film.)
Menghadapi Tembok
Kartini dan Yasnina sama-sama menghadapi tembok. Sama-sama menghadapi kekuatan tradisi dan kepongahan laki-laki.
Kartini harus pisah kamar dari Ngasirah, ibu kandungnya, dan harus memanggilnya “Yu” (panggilan untuk pembantu). Setelah menstruasi, ia menjalani pingitan sampai ada bangsawan meminangnya.
Mending jika sang bangsawan masih lajang. Lebih besar kemungkinan ia akan menjalani poligami.
Yasnina ditelikung oleh Iskandar dalam sebuah kasus di perusahaannya. Pengkhianatan ini dilakukan secara terbuka dalam rapat dewan pemegang saham yang didominasi laki-laki, hanya Yasnina seorang yang perempuan.
Mata para lelaki itu tidak memperlihatkan belas kasihan, malah mengharapkannya segera enyah. Tampaknya mereka risih ada perempuan yang cerdas dan kuat di tengah-tengah mereka.
Dalam masa pingitan, Kartini dinasihati Soelastri, kakak perempuannya, tentang pentingnya perawatan tubuh. Dengan tubuh itu, kata Soelastri, perempuan bersiap menjemput takdirnya.
Namun, dengan bantuan Sosrokartono, kakak laki-lakinya, Kartini menemukan jalan takdir yang berbeda. Meskipun tubuhnya terkurung, ia dapat menemukan kebebasan pikiran melalui buku-buku bacaan.
Yasnina perempuan terpelajar, pernah kuliah di Amerika Serikat. Ia manajer investasi dan konsultan keuangan yang andal. Ia berupaya mengerahkan kecerdasan dan sumber dayanya yang tersisa untuk melawan Iskandar.
Pendukung dan Penentang
Dalam perjuangan mereka, Kartini dan Yasnina memiliki pendukung masing-masing. Bagaimana komposisi dan kekuatan pendukung mereka?
Pendukung utama Kartini tak lain ayahnya sendiri, Raden Sosroningrat, Bupati Jepara. Ia memberikan kelonggaran khusus kepada Kartini dan adik-adiknya ketika mereka berada dalam pingitan. Mereka dapat bergaul, belajar, memperluas wawasan, dan juga menilik kondisi masyarakat.
Sosroningrat juga merestui Kartini mengajukan proposal beasiswa kepada Kerajaan Belanda. Para bangsawan menentangnya. Kalau keinginan Kartini dituruti, kata mereka dalam sebuah ucapan profetis, “Tukang kayu bisa menjadi raja!” Serangan ini membikin Sosroningrat ambruk.
Pendukung lainnya adalah orang Belanda, yang digambarkan terkagum-kagum oleh mutiara dari Jawa ini. Berbeda dari film-film lain yang cenderung secara stereotip menggambarkan orang Belanda sebagai penjahat, di sini mereka tampil sebagai sahabat, pahlawan, dan juru selamat. Ide-ide Barat mencelikkan mata Kartini akan konsep emansipasi perempuan.
Sosrokartono hanya bisa mendukung Kartini dari jauh. Joyodiningrat, Bupati Rembang, ikhlas menerima persyaratan pernikahan yang diajukan Kartini dan siap mendukung cita-citanya.
Kartini juga mendapatkan peneguhan dari ajaran Islam. Seorang kyai menjelaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan untuk “membaca” dan mencari ilmu.
Akhirnya, tentu saja, ada Ngasirah, sang ibunda. Perempuan ini berdoa dari jauh dan berdiplomasi melalui pintu belakang, sebelum nantinya memainkan peranan penting dalam proses pergumulan Kartini mengambil keputusan.
Yasnina tak seberuntung itu. Pendukungnya tak banyak. Bahkan, ia nyaris mesti berjuang seorang diri.
Surya, tunangannya, yang tak lain anak Iskandar, semula berjanji mendampingnya. Nyatanya, dia lelaki pembimbang, tak punya kekuatan untuk mewujudkan janjinya, terdesak oleh tuntutan ayahnya.
Ada pula Ardy, asisten pribadi yang mengagumi Yasnina. Ia mondar-mandir memberikan bantuan praktis dan menyemangati dengan kalimat movitasional klise, tetapi tak banyak menolong mengatasi masalah.
Akhirnya, Yasnina menemukan mentor yang matang dalam diri Marjanti, seorang dukun manten (perias pengantin) gagrak Solo di Tawangmangu. Itu pun mulanya Yasnina terpaksa karena tak ada pilihan lain. Namun, siapa menduga kalau ilmu paes (merias pengantin) dapat menolongnya menemukan solusi bagi masalah bisnis dan percintaan?
Selain pendukung, tentu ada juga penentang. Slamet, kakak laki-laki yang lain, gerah melihat tingkah adiknya dan berusaha mengungkungnya. Nantinya ia melunak ketika Kartini mau berkompromi.
Gerak-gerik Kartini juga mengundang kegusaran Raden Ajeng Moeriam, garwa padmi (istri utama) Sosroningrat. Dihantui kepahitan masa lalu, ia memandang sikap Kartini sudah melampaui batas. Dengan keras ia mengekang Kartini agar menuruti adat.
Yasnina mendapatkan konsultan hukum yang meremehkan kekuatannya dalam menghadapi lawan yang hebat. Konsultan ini nantinya malah berkhianat, membocorkan rencana gugatan Yasnina pada Iskandar. Yasnina mesti memikirkan ulang siasat perlawanannya.
Memperbaiki Nasib
Di tengah perjuangan mereka, Kartini dan Yasnina memikirkan upaya untuk memperbaiki nasib orang lain. Kartini membuka sekolah dan menghidupkan bisnis kerajinan ukir di daerahnya.
Yasnina berkesempatan menasihati calon pengantin yang galau karena kecemasan ekonomi. Tidak ada dialog detail, tetapi kita bisa membayangkan percakapan dari adegan terdahulu ketika Yasnina memberikan konsultasi keuangan pada seorang klien.
Ia mengucapkan perkataan yang serupa, dan perkataan ini nanti akan diucapkan lagi ketika melepaskan Surya, “Kamu percaya kepadaku? Kalau kamu mengikuti saranku, kamu akan baik-baik saja.” Calon pengantin itu pun mantap memasuki pernikahan--sebuah peneguhan atas kompetensi Yasnina.
Isu Perjodohan
Isu perjodohan mendapatkan sorotan khusus dalam kedua film. Kartini memaparkan sejumlah kasus, sedangkan Mantan Manten menyinggungnya dalam subplot. Dalam hal ini, kasus Yasnina sejajar dengan nasib Ngasirah.
Ngasirah harus mengalah ketika dimadu. Ngasirah sebenarnya istri pertama Sosroningrat, tetapi karena berasal dari kalangan jelata, ia tidak dapat menjadi garwa padmi. Mereka menikah ketika Sosroningrat masih menjadi wedana di Mayong.
Untuk naik pangkat, Sosroningrat harus beristri perempuan bangsawan. Menuruti tuntutan keluarga, ia pun menikah dengan Raden Ajeng Moeriam, lalu diangkat menjadi bupati Jepara. Adapun Ngasirah terpinggirkan, mesti pasrah tinggal di rumah belakang, terpisah dari suami dan anak-anak kandungnya.
Yasnina juga mengalah, tetapi sebelum menikah. Ketika ia sedang menyusun kekuatan di Tawangmangu, ternyata Surya dijodohkan dengan Salma, dan Marjanti diminta untuk merias mereka.
Iskandar menggunakan pertimbangan bibit bobot bebet untuk jodoh Surya. Bagi anaknya itu, ia lebih memilihkan pasangan sesama orang ningrat daripada perempuan cerdas tetapi tak jelas asal usulnya (Yasnina besar di panti asuhan).
Tentang Keikhlasan
Kedua film menampilkan keputusan perempuan untuk pasrah dan ikhlas. Meminjam definisi Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa, “Iklas berarti ‘bersedia’. Sikap itu memuat kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung semesta sebagaimana sudah ditentukan… Iklas… harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan dengan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif.”
Kartini dibujuk untuk kembali ke pangkuan nilai-nilai luhur tradisi melalui kelembutan Ngasirah. Menurut sang ibu, pendidikan Belanda menawarkan kebebasan, tetapi tidak mengenal bekti (pengabdian), falsafah yang terkandung dalam aksara Jawa.
Dalam aksara Jawa, untuk membuat huruf mati (konsonan), digunakan tanda pangku. Tanda ini biasanya dianggap melambangkan kelemahan. Orang akan mati, tidak berdaya, justru ketika dipangku, diberi kedudukan dan kenyamanan. Kalau sudah duduk lupa berdiri.
Namun, Ngasirah menafsirkannya sebagai simbol pengabdian. Orang yang dipangku hidupnya akan tenteram karena keseimbangannya terjaga, kokoh karena ada penopang yang kuat. Ia mengaku memilih mengabdi pada Sosroningrat dengan harapan anak-anaknya mengalami kehidupan yang lebih baik.
Kartini pada akhirnya mengikuti jalan kearifan Ngasirah. Ia pasrah, dengan mengajukan sejumlah persyaratan. Permintaannya itu mengangkat derajat Ngasirah menjadi Mas Kanjeng dan, selebihnya, turut membuka jalan perbaikan nasib bagi kaum perempuan.
Yasnina, di sisi lain, secara bertahap menyerap ilmu dari Marjanti. Ia melewati latihan jasmaniah dan olah batin sampai akhirnya, melalui sejumlah perjumpaan spiritual, diteguhkan sebagai penerus Marjanti.
Ia belajar tentang dedikasi seorang dukun manten pada tugasnya, yang melampaui hitungan untung-rugi. Tentang hubungan cinta, yang tak melulu badaniah (Marjanti masih “berhubungan” dengan almarhum suaminya). Tentang menjadi perempuan. Tentang keikhlasan. Bagaimana Yasnina mendayagunakan hikmat tersebut dalam perlawanannya?
Msuibah datang tak terduga. Sebelum menunaikan janji pada Iskandar, Marjanti meninggal dunia. Bola pun berada di tangan Yasnina. Bersediakah ia menuntaskan tugas gurunya tersebut?
Tak mudah tentu bagi Yasnina yang telah terluka dan tersingkir. Namun, tumbuh dari kesadaran dan pertimbangan pribadi, serta kembali diteguhkan oleh pengalaman spiritual, ia memilih untuk melepaskan dendam.
Kalau mau, mudah saja ia memanfaatkan keadaan itu untuk mempermalukan Iskandar. Namun, secara ikhlas dan rela, ia menggantikan Marjanti merias Surya dan Salma. Keikhlasannya ini bukan sikap fatalistis, bukan karena budaya membentuk dan menuntutnya untuk bersikap demikian, melainkan karena memang dia memilih respons itu.
Marjanti pernah menjelaskan bahwa paes itu sekaligus doa bagi mempelai berdua. Apakah keikhlasan itu kalau bukan berdoa bagi kebaikan orang yang melukai kita? Usai prosesi pernikahan Surya dan Salma, Yasnina berkata, “Sri penganten sampun lenggah wonten ing sasana rinengga, mangga kula aturaken dumateng kulawarga” (Mempelai berdua sudah duduk di pelaminan, saya menyerahkan mereka kepada keluarga).
Yasnina berdiri tegak, membebaskan diri dari kungkungan laki-laki, dan meraih kemandirian. Ia menentukan nasibnya sendiri--sebuah pilihan yang belum tersedia bagi (atau belum mungkin direbut oleh?) Kartini seabad yang lampau. ***
Comments
Post a Comment