Sumur di Depan Rumah Kami
Kami pindah ke rumah di Demangan, Ngadirejo, kira-kira pada 1973. Sumur itu sudah ada, di sisi barat depan rumah kayu dan gedhek (anyaman bambu) yang kami tempati. Sumur yang terhitung dangkal, tidak sampai lima meter, berair jernih dan manis. Saat berdiri di sampingnya bayangan kita akan terlihat jelas di permukaannya yang bening.
Nyatanya, sumur itu salah satu yang terbaik di kampung kami. Tetangga lain tidak sedikit yang menggali sumur sendiri, tidak perlu dalam-dalam juga, tetapi jarang yang airnya sejernih sumur kami. Biasanya lalu dipakai hanya untuk mandi, asah-asah (mencuci piring dan perkakas dapur), umbah-umbah (mencuci pakaian), dan menyiram tanaman. Untuk air minum dan keperluan memasak, mereka memilih menimba air di sumur kami. Maka, sumur itu jadi ramai setiap pagi dan sore hari sebagai salah satu ruang pertemuan warga.
Secara berkala, biasanya bertepatan dengan liburan panjang sekolah, sumur itu dikuras. Ketika saya masih kecil, kakak-kakak dibantu beberapa teman yang turun ke sumur. Anak-anak kecil menjadi penonton di sekitar sumur. Ketika saya lebih besar, giliran saya dan teman-teman yang kerja bakti. Ya, karena secara praktis sumur itu sudah menjadi milik umum, dengan senang hati teman-teman ikut membantu.
Menguras sumur menjadi salah satu kegiatan alternatif mengasyikkan pengisi liburan. Kami menimba air, menyiramnya ke sekeliling sumur, turun ke dalam setelah airnya tinggal sepinggang, mengambili daun-daun yang mulai membusuk dan menyelip di bebatuan sekeliling sumur, membersihkan lumut, membuang lumpur. Setelah dirasa bersih, tinggal menunggu air kembali memenuhi sumur. Biasanya cuma perlu tidak sampai tiga jam. Sementara itu kami sudah menikmati teh manis dan gorengan, atau mandi di sumur lain.
Selang beberapa waktu, di samping sumur itu dipasang pompa air. Sekeliling sumur diberi dinding dan bagian atasnya diberi penutup yang bisa digeser. Orang tidak perlu lagi menimba, cukup memompa. Tidak perlu pula sering-sering menguras sumur. Saya sendiri lalu pergi kuliah dan kerasan menetap di Yogya, hanya menengoknya saat mudik.
Hingga tibalah era PDAM. Air bersih dari kawasan Jumprit langsung masuk ke rumah-rumah warga. Tak ayal sumur jadi lebih sepi. Pompanya rusak dan tak diperbaiki. Toh sesekali masih ada juga orang datang menimba airnya. Kakakku juga menggunakannya untuk menyiram tanaman di halaman depan.
Kata orang Jawa, ora ilok menutup sumur. Pamali. Apa lagi sumur yang sudah menyumbangkan airnya dengan setia. Sumur itu pun dibiarkan tetap terbuka. Walau tampak kesepian. Airnya masih segar dan bening. Masih bisa untuk becermin.
Comments
Post a Comment