Asyiknya Kelas Menulis

Menulis—bersama dengan mendengarkan, berbicara, dan membaca—merupakan kecakapan berbahasa atau keterampilan literasi yang penting dan berguna seumur hidup kita. Dengan kecakapan berbahasa yang baik, kita akan mampu berkomunikasi satu sama lain secara efektif. Sayangnya, kebanyakan orang cukup merasa puas dengan kecakapan berbahasa yang ala kadarnya. Tidak heran jika kerap terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi kita, baik dalam komunikasi lisan maupun komunikasi tertulis.

Sebagai kecakapan, kemampuan menulis dapat dilatih, ditingkatkan, dan dikembangkan secara terus-menerus. Alangkah bagusnya jika pelatihan itu dikenalkan dan dilakukan sedari dini. Sejak masa kanak-kanak. Kecakapan menulis tentu akan menjadi bekal yang strategis bagi anak dalam menyongsong masa depannya.

Kelas Menulis di Muntilan

Kelas Menulis di Muntilan

Karena itu, ketika pada 2014 menerima proposal dari Ibu Yani Tri Wahyuni untuk terlibat dalam program “Menulis Asyik” di Pusat Pengembangan Anak (PPA) IO740 “Nain”, Muntilan, Jawa Tengah, saya sangat senang—dan sekaligus tertantang. Sejauh ini, dalam pelatihan tulis-menulis, saya lebih banyak berhadapan dengan peserta dewasa. Pernah juga selama dua tahun mengajar kelas kreatif untuk anak kelas 6-8. Jumlah peserta juga terbatas, maksimal 20 orang. Nah, kali ini pesertanya lebih muda: anak-anak kelas 3-6 SD—dan, seluruhnya berjumlah 64 orang!

Sejumlah pertanyaan berkelebatan dalam benak saya. Bagaimana menyiapkan materi pelatihan yang memotivasi anak-anak itu sehingga mereka dapat menyadari bahwa tulis-menulis itu aktivitas yang asyik dan menyenangkan? Bagaimana metode dan pendekatan pelatihan yang tepat untuk mereka? Dan, bagaimana menaklukkan anak-anak kecil sebanyak itu, yang tentu sulit diatur karena memang sedang lasak-lasaknya?
Saat mengajar anak kelas 6-8, saya memberikan porsi cukup banyak untuk teori dasar, seperti tentang kalimat sederhana, kalimat luas, dan kalimat gabung. Tentu saja, saya berusaha menyampaikannya dalam versi yang sederhana. Nyatanya, dalam pengamatan saya, anak-anak masih kerepotan menerapkannya. Saya pun memutuskan untuk ganti gigi. Porsi teori saya pangkas, saya lebih sering menyodorkan pada mereka contoh tulisan bagus, meminta mereka membaca dan menyimaknya, kemudian menulis naskah serupa. Ternyata hal itu—mendapatkan gambaran tentang tulisan yang bagus—lebih memicu semangat mereka. Keterampilan berbahasa mereka juga pelan-pelan membaik.

Mengingat pengalaman itu, untuk menghadapi anak-anak PPA ini, saya menyiapkan metode “belajar sambil bermain”. Teorinya “tipis” saja. Yang penting, mereka berlatih untuk terbiasa menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan.

Pelatihan semula dirancang sebulan sekali, tetapi kemudian diubah menjadi dua minggu sekali. Untuk mengatasi jumlah peserta yang relatif banyak, kami membaginya menjadi dua kelas: Kelas Besar (5-6 SD) 30 orang dan Kelas Kecil (3-4 SD) 34 orang. Saya dibantu Kristian J. Nugroho untuk menangani mereka.

Materi Pelatihan
Untuk 10 sesi pelatihan, saya menyiapkan materi berikut ini. Sesi pertama, pengantar bahwa menulis itu sarana untuk mencatat pengalaman pancaindra, baik indra jasmani maupun indra batin. Menulis juga sarana berkomunikasi, seperti berbicara, tetapi dalam bentuk tulisan. Kemudian anak diminta menulis berdasarkan pengalaman pancaindra dan diberi tugas menulis di buku harian.

Kedua, menyalin tulisan orang lain sebagai sebentuk keterampilan membaca intensif. Untuk mengembangkan kebiasaan menulis, seseorang perlu rajin membaca. Menulis adalah kegiatan menuangkan pemikiran dalam tulisan. Ketika membaca tulisan orang lain, secara tidak langsung kita belajar cara berpikir si penulis, dan hal itu dapat menolong membentuk cara berpikir kita sendiri. Dengan harapan, kalau cara berpikir kita runtut, kita akan lebih mudah menuangkannya menjadi tulisan. Nah, menyalin tulisan yang berkualitas adalah salah satu strategi untuk mengintensifkan pembelajaran ini. Materi yang digunakan saat itu adalah cerita anak "Ibu yang Jenaka" (A.S. Laksana) untuk kelas besar dan perumpamaan "Orang Samaria yang Murah Hati" untuk kelas kecil.

Ketiga, menulis dengan menjawab pertanyaan atau mengisi titik-titik (melanjutkan kalimat). Mereka diminta menjawab pertanyaan sehubungan dengan kegiatan mereka di rumah pada hari sebelum berangkat ke sekolah.

Keempat, menulis setelah menonton film. Anak-anak diminta menuliskan cerita film tersebut. Film pendek yang diputar adalah animasi Three Little Pigs (Disney, 1932) dan film anak Say Hello to Yellow (Sanggar Cantrik, 2011).

Kelima, menulis berdasarkan tema tertentu, dilakukan sembari bertamasya di Ketep Pass. Disediakan delapan tema, dan anak-anak diminta menulis berdasarkan tema yang mereka dapatkan melalui undian. Selain itu, rombongan juga sempat menikmati film tentang Gunung Merapi. Kemudian, kami memilih tulisan terbaik dari masing-masing kelas. Sebagai juara umum terpilih Marcelliana Jufrinka W (kelas 6). Adapun juara kelas 5 Dina Eka Natalia, kelas 4 Daniela Putri Andreyani, dan kelas 3 Desvita Dwi Maharani. Mereka diberi hadiah buku cerita sebagai dorongan agar rajin membaca.

Keenam, mengulangi pelajaran tentang menulis berdasarkan pancaindra, kali ini dengan topik “Aku Melihat”, meminta anak menggambarkan benda, hewan, tumbuhan, atau manusia secara spesifik.

Ketujuh, menulis cerita berdasarkan komik.

Kedelapan, menulis tentang sahabat masing-masing berdasarkan wawancara dan pengamatan.

Kesembilan, menulis puisi. Sebelumnya, anak-anak telah dibekali buku tipis kumpulan sejumlah puisi Indonesia sebagai contoh.

Pada pertemuan terakhir, sesi kesepuluh, anak-anak dipersilakan menulis bebas menurut topik yang mereka sukai dan menuliskan kesan tentang program “Menulis Asyik” yang mereka jalani.

Kehebohan di Kelas
Meskipun setiap dua minggu harus naik motor Yogyakarta-Muntilan bolak-balik, sebagai pembimbing, saya merasa program ini menyenangkan. Saya tidak menduga anak-anak terlihat bersemangat mengikutinya. Tentu saja, jangan dibayangkan mereka duduk tenang saat menyimak petunjuk dan mengerjakan tugas. Sebaliknya! Sepanjang kelas berlangsung, mereka paling hanya tenang saat berdoa dan sebentar saat menyimak petunjuk. Selebihnya, mereka asyik sendiri, ribut sendiri, usil sendiri, dan saling mengganggu satu sama lain—sambil mengerjakan tugas!

Mau tak mau kami perlu mengambil tindakan untuk sedikit meredakan kehebohan itu. Pertama, kami memisahkan antara Kelas Besar dan Kelas Kecil. Ya, Kelas Besar relatif sudah lebih anteng dibandingkan Kelas Kecil. Kedua, untuk Kelas Kecil yang ribut itu, kami memberlakukan pendekatan “bebas tapi aman”. Artinya, mereka bebas mengerjakan tugas sambil melakukan aktivitas lain, dalam posisi yang mereka anggap nyaman, selama kegiatan tersebut tidak membahayakan. Hasilnya lumayan efektif. Meskipun kualitasnya jadi kurang optimal, mereka selalu menyelesaikan tugas yang diberikan. Selain itu, mereka tidak ragu-ragu bertanya jika ada petunjuk yang kurang jelas.

Nah, pertanyaan mereka itu kadang-kadang mengagetkan. Hal-hal yang kami anggap sudah jelas, ternyata membingungkan bagi mereka. Misalnya, ketika kami mengajak mereka berlatih menulis deskriptif “Aku Melihat”. Kami meminta mereka menggambarkan benda, tanaman, hewan, dan manusia. Perintah dalam kertas tugas berbunyi: "Gambarkan sebuah benda... dst." Apa yang terjadi? Beberapa anak—cukup banyak—mendatangi saya dan bertanya, "Pak, ini maksudnya disuruh menggambar ya?" Dan, ternyata, sebelum sempat diluruskan, ada anak yang bukannya menulis, ia malah benar-benar menggambar di kertasnya! Saya pun terpaksa bolak-balik menjelaskan sambil cengar-cengir.

Menjadi Buku
Aku dan Duniaku
Setelah sepuluh kali pertemuan, tibalah waktu untuk menyusun kumpulan tulisan mereka. Naskah diseleksi terutama dari pelatihan di Ketep Pass, sesi penulisan puisi, dan pertemuan terakhir. Selain naskah, buku ini juga dihiasi gambar karya anak-anak dan foto-foto dokumentasi kegiatan “Menulis Asyik”. Kumpulan karya mereka ini dibukukan dengan judul Aku dan Duniaku, terbit pada Juni 2015.

Secara teknik berbahasa dan kemampuan menyampaikan gagasan secara runtut, mereka memang masih menghadapi kesulitan. Bisa dihitung dengan jari naskah yang hanya mengalami penyuntingan ringan dalam kedua aspek tersebut. Namun, dalam kepolosan dan keterbatasan mereka, tidak jarang mereka menampilkan sudut pandang yang menggelitik atas dunia sekitar yang mereka tuangkan ke dalam tulisan. Keunikan sudut pandang inilah yang kami garis bawahi. 

Terus Berlanjut
Berdasarkan hasil yang tercapai sepanjang tahun pertama, pengurus PPA Muntilan memutuskan untuk terus melanjutkan program “Kelas Menulis Asyik” ini. Buku kumpulan tulisan terpilih peserta tahun pertama (2014-2015), Aku dan Duniaku, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam edisi dwibahasa. Selain dibagikan pada sejumlah PPA di Indonesia, buku ini juga dapat dibaca oleh para sponsor di luar negeri.

Tahun kedua dan ketiga (2015-2017) diikuti oleh anak kelas 4-6 SD, yang kemudian naik kelas menjadi kelas 5, 6, dan 7. Pada tahun keempat (2017-2018), untuk anak kelas 6 dan 7, diberlakukan kebijakan baru untuk peserta. Kelas ini dikhususkan bagi mereka yang berminat terus mengikuti pelatihan tulis-menulis. Jumlah peserta yang terdaftar sebanyak enam anak kelas 6 dan delapan anak kelas 7. Ketika mereka telah naik ke kelas 7 dan 8, mereka pun mengikuti kelas menulis untuk tahun kelima.

Pada tahun 2017-2018, ada angkatan baru, yang terdiri atas sembilan anak kelas 4 dan enam belas anak kelas 5. Ketika mereka naik ke kelas 5 dan 6, mereka memasuki tahun kedua.

Tantangan di kelas ini masih sama dari tahun ke tahun. Selama ini, untuk menggugah anak-anak dalam menulis, suatu keterampilan yang kurang populer, saya mencoba memberi ruang untuk belajar sambil bermain, agar mereka dapat belajar dalam suasana yang asyik. Di lapangan, dari pertemuan ke pertemuan, yang sering terjadi keasyikan bermain (dan mengobrol) dengan rakus melahap ruang untuk belajar. Banyak waktu yang habis untuk menunggu mereka tenang, menyimak, dan mengerjakan tugas. Kalaupun pada akhir kelas mereka semua mengumpulkan tugas, kebanyakan hasilnya tidak optimal. Sebagian anak asal menulis, dan kemudian menyerahkan satu paragraf berisi 3-4 kalimat yang jumpalitan. Padahal, di kesempatan lain, jika mereka mau berkonsentrasi, sejatinya mereka bisa menghasilkan tulisan lebih baik. Hal ini masih berlangsung ketika kelas telah dikhususkan bagi anak yang berminat pada pelatihan menulis.

Dalam kondisi tersebut, saya benar-benar bersyukur bahwa PPA Muntilan terus memfasilitasi pelatihan menulis ini. Memberikan ruang, perhatian, dan dukungan yang begitu besar. Saya pun menghibur diri: buah pelatihan semacam ini memang tak mungkin instan, tetapi boleh jadi baru akan dipetik sekian tahun nanti.

Kejutan dan Prestasi
Pelatihan demi pelatihan pun terus dijalani. Dengan menjajal berbagai jurus dan variasi. Asyiknya, sepanjang perjalanan itu ada saja selingan, kejutan, dan peristiwa yang menarik untuk dicatat.

Pada September 2015, anak-anak diperkenalkan pada beragam jenis tulisan melalui halaman anak di surat kabar. Lalu, mereka ditugasi untuk menyiapkan pembuatan majalah dinding berkelompok minggu depannya. Lomba berlangsung seru dan anak-anak belajar bahwa aktivitas menulis dapat dijalankan secara bekerja sama. Partnership Facilitator  Compassion Indonesia, Anggia Sakoptis Kambuaya, sedang berkunjung ke Muntilan dan ikut menyerahkan hadiah kepada pemenang.

Juara Lomba Jurnalis Cilik

Pada Sabtu, 21 Januari 2017, sepuluh peserta KMA mengikuti Lomba Jurnalis Cilik yang diadakan oleh Bentara Wacana. Hasilnya sungguh-sungguh tak terduga. Naomi Prayogo, salah seorang pengurus PPA Muntilan, menulis catatan sebagai berikut:

Beberapa hari yang lalu, koordinator kami, Cik Yani, menawari sepuluh anak untuk mengikuti Lomba Jurnalis Cilik yang diselenggarakan oleh Bentara Wacana dalam rangkaian acara Pesta Emas HUT ke-50 sekolah tersebut. Tawaran ini disampaikan setelah berkonsultasi dengan pembimbing KMA.

Nanti kalau nggak menang gimana, Cik?kata mereka.

Kami tidak menargetkan kalian untuk menang,kata Cik Yani. Ambil kesempatan ini sebagai pengalaman berharga buat kalian.

Setelah memantapkan hati, akhirnya anak-anak bersedia untuk maju dalam kompetisi tersebut, tanpa beban harus menang. Mereka ikut sebagai penggembira, bukan peserta unggulan.

Kenyataan hari ini membuat saya tidak bisa menyembunyikan rasa haru saya. Setelah penantian cukup panjang sampai saya merasa lapar, nama-nama pemenang diumumkan. Kami tidak berharap banyak. Namun, ketika satu per satu nama mereka disebutkan sebagai pemenang, rasanyasaya kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Dari sepuluh orang anak, ada tujuh anak yang berhasil pulang membawa piala dan boneka lucu sebagai hadiah!

Anak-anak berhasil meraih juara di semua kategori yang dikompetisikan meskipun tidak semua anak meraih juara pertama. Untuk tiga anak yang belum mendapatkan kemenangan pun, kebanggaan saya tidak berkurang. Kalian semua luar biasa! Semoga pengalaman ini menjadi pemicu semangat kalian untuk lebih bersungguh-sungguh lagi dalam memuliakan nama Tuhan.

Lomba Bercerita
Pada Jumat, 31 Maret 2017, PPA mengadakan lomba bercerita bagi anak kelas 4-6 SD. Kristian dan saya diminta menjadi juri.

Dua minggu sebelumnya, calon peserta dikumpulkan, diberi penjelasan singkat. Saat itu peminat tercatat 24 orang anak. Lumayan juga. Dengan bersemangat, saya menjabarkan apa saja yang perlu mereka persiapkan untuk lomba. Untuk memberi gambaran, saya memutarkan beberapa video pemenang lomba bercerita SD tingkat nasional beberapa tahun belakangan. Ternyata, melihat penampilan teman sebaya yang begitu lihai tersebut bukannya menyulut semangat mereka, melainkan malah merontokkannya. Banyak anak merengek-rengek membatalkan keikutsertaan mereka. Waduh, salah strategi saya.

Mentor PPA menjelaskan bahwa lomba bercerita ini baru pertama kali diadakan. Anak-anak itu, yang begitu ribut dan mbeling kalau berkumpul, nyatanya keder jika diminta tampil seorang diri di depan. Lomba ini dimaksudkan untuk menantang mereka mengatasi kegamangan itu. Jadi, poin utamanya adalah keberanian tampil, bukan kefasihan bercerita. Mereka tidak akan tampil di depan banyak penonton, hanya disaksikan oleh juri, yang notabene orang-orang yang sudah mereka kenal secara akrab.

Kami pun berdiskusi mengatur strategi baru agar anak-anak tetap bersemangat mengikuti lomba. Saya mencari beberapa naskah pendek dan sederhana yang kira-kira cocok untuk mereka bawakan. Adapun mentor PPA bertugas menjemput bola, membujuk dan menjelaskan pada calon peserta tentang tujuan lomba, agar mereka tetap bersedia mengikutinya. Saya juga mengusulkan agar acara ini direkam karena akan menjadi dokumentasi penting bagi PPA.

Pada hari-H, ternyata masih ada 18 peserta yang bertahan. Cukup melegakan. Dari tujuh naskah yang saya kirim, ada satu naskah yang menjadi favorit peserta, yaitu Bu Kris, Guruku. Sepertiga peserta membawakannya. Mungkin karena topiknya dekat bagi mereka, yaitu guru sekolah mereka sendiri. Satu naskah lagi, Kelinci dan Kura-Kura, dipilih oleh dua peserta. Sisanya, peserta membawakan cerita pilihan masing-masing.

Bagaimana penampilan mereka? Bagi kami, mengejutkan. Di luar dugaan. Dengan kriteria utama keberanian tampil, mereka melewati tantangan itu secara memuaskan. Memang cukup banyak yang sekadar menghafalkan naskah dan membawakannya tanpa banyak bunga-bunga, tetapi penampilan mereka mengesankan. Sebagian peserta melangkah lebih jauh, memanfaatkan alat peraga, mulai dari boneka sampai wayang kulit, dan menuturkan kisah pilihan mereka secara menawan. Ternyata tak sia-sia saya memberikan contoh dari para jawara lomba dongeng. Paling tidak mereka tertantang untuk mendayagunakan kreativitas semampu mereka. Salut!

Dengan takaran ini, menurut kami, mereka semua adalah juara. Rekaman penampilan mereka dapat ditengok di kanal Youtube "ART Dunia Literasi." Selain sebagai dokumentasi yang berharga, video-video tersebut untuk merayakan keberanian, kecakapan, dan kreativitas mereka.

Buku Kedua
Pada Kamis, 23 Agustus 2018, anak-anak kelas besar diajak menulis surat. Bagi mereka, dicarikan sahabat pena dari PPA Papua, lalu mereka diminta menulis surat perkenalan. Surat-surat itu rencananya dikirim via pos untuk mempertahankan suasana jadul.

Biasanya pelatihan di kelas, pada Minggu, 3 September 2018, pelatihan diadakan di alam bebas. Kami bertamasya dan menulis di Taman Wisata Garengpong di Bringin Kulon, Bringin, Srumbung, Magelang. Anak-anak diminta menulis berdasarkan topik-topik yang ditentukan berdasarkan undian. Ada yang berupa cerita, ada pula yang berupa puisi. Mereka bebas menyebar di seantero taman, mencari lokasi yang nyaman untuk menulis. Tentu saja, sambil mereka asyik menjelajahi keadaan taman. Sehabis menulis, mereka juga diminta menggambar bebas. Sebanyak 33 anak mengikuti acara tersebut.

Selain itu, peserta kelas menulis juga didorong untuk mengirim naskah ke majalah dan koran atau mengikuti lomba. Namun, sejauh ini belum ada hasilnya.

Aku dan Duniaku, Vol. 2
Akhirnya, tulisan anak-anak angkatan 2017-2018, baik yang dibuat di Garengpong maupun dalam pelatihan di kelas, diseleksi dan dikumpulkan menjadi buku Aku dan Duniaku (Volume 2). Kali ini, dari setiap peserta dipilih paling tidak satu tulisan terbaik.

Mengedit naskah anak-anak adalah pengalaman yang istimewa. Teknik dan tata bahasa mereka masih sempoyongan, tetapi kejujuran dan kepolosan mereka sangat menghibur hati dan tak jarang bikin tersenyum, atau malah terharu. Topik yang mereka tampilkan kali ini sebagian besar begitu dekat dan membumi, terutama berkaitan dengan orang-orang di sekitar mereka: keluarga, sahabat, guru, pengasuh dan sponsor PPA.

Kelas Menulis di Medan
Saya bersyukur karena, melalui pelatihan menulis, dapat berkunjung ke sejumlah daerah di Indonesia. Selain di Muntilan, pelatihan pernah diadakan di Yogyakarta, Jakarta, Bandung (Jabar), Purwokerto, Solo, Temanggung, Salatiga, Semarang, Pati (Jateng), Surabaya (Jatim), Palu (Sulteng), Sibolangit, Medan (Sumut), Wewewa Tengah, dan Lewa (NTT). Saya ingin menceritakan dan memperbandingkan pelatihan yang berlangsung di Sumatera Utara dan di Sumba Timur, yang diadakan atas inisiatif Yayasan Lentera Kasih Agape, dan dilakukan dalam format retret dua hari.

Kelas Menulis Asyik (KMA) pertama berlangsung di Taman Jubileum GBKP Sidamakmur, Sibolangit, Deli Serdang, pada Sabtu-Minggu, 9-10 Februari 2019. Peserta sebanyak 30 orang anak kelas IV SD sampai kelas IX SMA. Mereka adalah kelayan Panti Asuhan Anugrah Kasih Abadi.



Anak-anak peserta pelatihan diperkenalkan dengan metode ART (Amati - Renungkan - Tuliskan). Melalui metode ini, anak-anak diajak untuk mengamati pengalaman dan keadaan di sekitarnya secara lebih cermat, merenungan dan memikirkannya dari berbagai sisi, dan kemudian mencoba menuliskannya sebaik mungkin. Meskipun sederhana, metode ini tentu akan berdaya guna jika dipraktikkan secara teratur, tahap demi tahap, dan terus-menerus.

Pelatihan berlangsung dalam suasana belajar sambil bermain. Diharapkan, tertanam kesan pada anak bahwa menulis itu bukan suatu beban yang menakutkan dan memberatkan, melainkan kegiatan yang menyenangkan, mengasyikkan, dan bermanfaat. Mereka, dengan demikian, akan tergerak untuk terus berlatih dan mencoba mengasah keterampilan menulis mereka.

Untuk memudahkan anak-anak mengingat materi pelatihan, dibuat sajak pendek yang dapat didendangkan dengan meminjam nada lagu "Balonku" karya A.T. Mahmud:

Aku penulis cilik
Tulisanku menarik
Aku suka membaca
Banyak buku berguna

Aku giat berlatih
Dengan rajin dan gigih
Amati dan renungkan
Lalu coba tuliskan

Kelas Menulis di Lewa
Kelas menulis berikutnya berlangsung di Lewa, Sumba Timur, Rabu-Minggu, 27 Februari - 3 Maret 2019. Sebanyak 30 anak Taman Baca Hambila berkumpul di GKS Jemaat Praikauki untuk mengikuti pelatihan ini.

Kelas Menulis di GKS Jemaat Praikuki


Jalan raya utama di Sumba Timur terhitung mulus. Namun, jika kita berbelok meninggalkannya, cerita jadi lain. Kondisi jalan merosot jauh. Menuju Praikauki, kami melewati jalan tanah keras berbatu-batu. Di sana-sini ada kubangan air. Sekali kami harus turun dari boncengan agar motor dapat lebih gampang melewati kubangan. Sesekali kita juga mesti berbagi jalan dengan anjing, babi, kuda, sapi, atau kambing. Untunglah, bentang alam di sekitarnya begitu menyegarkan mata dan menyejukkan hati.

Seorang anak SMP bercerita, setiap pagi ia berjalan kaki ke sekolah selama dua jam. Berarti usai subuh dia sudah harus meninggalkan rumah. Untuk mengikuti KMA, pulang sekolah ia langsung ke gereja, makan siang di pastori. Kalau ia pulang ke rumah dulu, baru berangkat ke gereja, waktunya sudah habis di jalan, dan ia bakal terlambat mengikuti kelas.

PLN belum berkunjung ke Praikauki. Mereka menggunakan genset. Di pastori, yang sebagian ruangnya digunakan sebagai taman baca, tidak ada teve. Jika mereka berkumpul pada malam hari, alih-alin nonton sinetron, Pdt. Aprissa mendorong warga untuk membaca buku koleksi Hambila. Mereka pun terselamatkan dari jajahan infotainment televisi yang Jakartasentris.

Keadaan semacam itu tampaknya malah jadi berkat terselubung. Tulisan anak-anak Hambila lumayan mengejutkan. Sederhana, tetapi kaya dan beragam. Tiap anak menceritakan pengalaman unik khas situasi setempat.

Kumpulan karya anak-anak Lewa ini, bersama dengan karya anak-anak Medan tadi, tengah dipersiapkan untuk diterbitkan sebagai buku.


Melek Literasi
Melalui pelatihan menulis dengan pendekatan “bermain sambil belajar” tadi, diharapkan anak-anak menjadi terbiasa—dan menikmati—kegiatan tulis-menulis. Dengan demikian, mereka akan tergugah untuk terus menekuni dan mengembangkannya sampai mereka besar nanti.

Serangkaian pelatihan sederhana yang dijalankan secara teratur ini diharapkan dapat menumbuhkan dan mengembangkan anak-anak menjadi pribadi yang melek literasi. Biarlah mereka menjadi orang yang cermat mengamati kehidupan dan lingkungan sekitar, terbiasa berpikir secara kritis, dan mampu mengungkapkan pemikiran mereka dalam tulisan yang runtut. Semogalah demikian. ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri