Gundala (Joko Anwar, 2019): Komentar dari Tetangga Kampung Sebelah
Awalnya, Gundala melambai-lambai sebagai film yang wajib tonton bagi saya. Bagaimana tidak? Tokoh utamanya adalah tetangga dari kampung sebelah. Saya memang tidak kenal secara pribadi dengan Sancaka, tetapi siapa yang tidak akan ikut bangga kalau ada orang sedaerah menjadi patriot bangsa? Ya, Sancaka, yang nantinya dikenal sebagai Gundala, adalah putra Petir. Nah, Petir adalah sebuah desa di Temanggung, kalau dari Yogyakarta ya kira-kira 2 kilometer sebelum sampai ke kampung halaman saya. Jelas? Paham 'kan kenapa saya bersemangat nonton Gundala?
Namun, Gundala versi Hasmi sejujurnya saya tidak kenal-kenal amat. Belum pernah baca komiknya, hanya tahu dari membaca ulasannya, dan pernah nonton drama komedi panggungnya versi Teater Gandrik. Bukan hanya Gundala, saya memang kurang getol membaca komik pada umumnya, khususnya komik superhero.
Makanya, kalau ada film superhero, saya lebih tertarik menonton film superhero tunggal, bukan yang keroyokan. Saya menikmati film-film seperti Superman, Batman, Iron Man, Doctor Strange, Logan, dan The Black Panther, tetapi blas sama sekali tidak tertarik menonton The Avengers. Tahu diri saja. Superhero tunggal, saya harap, ceritanya paling tidak relatif lebih mudah diikuti. Sebaliknya, kalau sudah keroyokan, saya angkat tangan, paling hanya akan bengong tak paham saling-silang hubungan dan konflik antartokoh yang bejibun begitu.
Nah, Gundala besutan Joko Anwar ini, dari judulnya, saya bayangkan sebagai kisah superhero tunggal. Origin story begitu. Tentang latar belakang riwayatnya, bagaimana dia mendapatkan kekuatan supernya, dan bagaimana dia mulai menjalankan peran sebagai superhero, tentu dengan klimaks: berhadapan dengan dan nantinya mengalahkan musuh besar pertamanya. Saya berangkat nonton dengan harapan seperti itu.
Memang, saya juga sedikit-sedikit ada membaca bahwa Gundala ini akan menjadi titik pembuka menuju BumiLangit Cinematic Universe (BCU), yang dipenuhi sederetan superhero lokal. Namun, sejauh mana pun film ini bakal memperkenalkan BCU, saya berharap ia akan berfokus pada sosok Gundala dan tampil sebagai film superhero tunggal yang solid.
Di tengah jalan, harapan itu ambyar.
Saya masih mengira ekspektasi itu bakal terpuaskan sepanjang bagian awal film. Kisah masa kecil Sancaka, walaupun ritmenya rada tertatih-tatih, cukup mengesankan. Di bagian ini pun, tentang penyebab kematian ayah Sancaka, sebenarnya sudah ada ganjalan. Perlu tiga hari ya menunggu hasil rundingan dengan si pemilik pabrik? Baiklah, saya tepiskan kerikil kecil itu, dan berharap kisah akan bergulir secara lebih mantap.
Namun, begitu Sancaka menjadi dewasa, lalu penjahat utama (Pengkor) diperkenalkan, lalu muncul serum amoral mencemari beras, saya mulai jengah. Paling tidak karena dua penyebab.
Pertama, ya soal serum amoral itu. Serum yang bikin ibu hamil melahirkan anak-anak yang tidak bermoral? Kalau membikin bayi lahir dalam kondisi cacat fisik atau cacat mental, okelah... tetapi TIDAK BERMORAL? Halooooo? Anggota dewan dan rakyat percaya begitu saja dan dibuat jumpalitan berusaha menangkalnya? Ini mulai berat. My brain does not arrive. Dan ketika menjelang klimaks diungkapkan bahwa ('kali saya harus kasih tanda ya: SPOILER ALERT!) serum itu hanya hoax, alih-alih merasa lega, saya malah merasa dikibuli. Mungkin Joko Anwar mau ngomong: ya begitulah hoax, seabsurd apa pun tetap dipercayai oleh orang seantero negeri. Namun, tidak adakah satu biji orang pun di seantero negeri, yang bisa mencium kekonyolan, paling tidak mengerutkan kening, tentang serum yang bisa membuat bayi lahir tidak bermoral dan mencoba mengoreksinya? Tidak adakah? Termasuk sang superhero kita? Apakah gara-gara disambar petir, Sancaka jadi dapat kekuatan super, tapi logikanya malah jadi buntu? Haloooo?
Kedua, alih-alih film superhero tunggal yang solid, nyatanya saya dikeroyok sekian banyak tokoh yang asing, yang tak diperkenalkan secara memadai. Hanya Pengkor yang lumayan jelas latar belakangnya. Tokoh-tokoh lainnya, baik yang berada di pihak sang patriot maupun yang termasuk dalam gerombolan penjahat, berseliweran begitu saja tanpa kedirian yang jelas, bahkan namanya pun sekeluar dari bioskop saya tak berhasil mengingatnya. Tentu saja, saya harus menyalahkan diri sendiri yang tidak paham rimba persilatan superhero lokal. Namun, saya juga bertanya-tanya: Ada apa dengan Joko Anwar? Selama ini saya memandangnya sebagai salah satu dari sedikit sutradara dan penulis skenario Indonesia yang bisa berkisah dengan lancar. Lalu, kenapa Gundala jadi awut-awutan begini? Saya cuma bisa menduga: sebagai film pembuka, Gundala menerima beban terlalu berat kudu menongolkan--meskipun hanya dua-tiga menit--sekian banyak warga BCU. Bagi penggemar fanatik BCU, bisa jadi bakal bersorak melihat tokoh kesayangannya muncul meskipun hanya sekilas. Namun, bagi penonton awam seperti saya, ya cuma bisa bengong sambil bertanya-tanya dalam bahasa Ibrani: Iki sakjane sapa? Apa gunane deknen metu saiki? Betul-betul menyiksa. Seorang teman menawarkan perbandingan yang jitu: Ibarat mau bercerita perang Avengers di seri pertama Iron Man, begitu? Itu dia! (Hehe, padahal saya belum nonton The Avengers, tapi sudah sok tahu mengiyakan.)
Akhirnya, saya yang tadinya masuk ke bioskop dengan kepala tegak penuh harap, keluar dari sana dengan kening senut-senut. Sejak beras amoral itu muncul, tampaknya saya ikut tercemari, sehingga sampai film berakhir di batok kepala saya berdentang-dentang semakin keras sebuah seruan yang entah kenapa sok-sokan dalam bahasa Inggris:
WHAT A CONVOLUTED MESS!
(Suruh Pengkor nerjemahin deh!)
Comments
Post a Comment