Karl Barth: Membubuhkan Tanda Tanya Terhadap Kebenaran


"Injil bukanlah suatu kebenaran di antara berbagai kebenaran lain. Sebaliknya, Injil membubuhkan tanda tanya terhadap semua kebenaran." Karl Barth bukan hanya melontarkan pernyataan tersebut, namun ia juga menghabiskan masa hidupnya untuk membubuhkan tanda tanya, di dalam nama Kristus, terhadap berbagai bentuk "kebenaran". Dalam prosesnya, dampak pencariannya ini telah mengubah arah teologi modern. 

Ia lahir 1886 di Basel, Swiss, anak dari Fritz Barth (profesor Perjanjian Baru dan sejarah gereja mula-mula di Bern) dan Anna Sartorius. Ia belajar di universitas-universitas terbaik: Bern, Berlin, Tübingen, dan Marburg. Di Berlin ia belajar dari tokoh-tokoh liberal terkenal, yang mengajarkan Kekristenan yang lebih berfokus pada kebapaan Allah dan persaudaraan umat manusia. 

Setelah melayani di gereja Jenewa dari 1909 sampai 1911, Barth ditetapkan untuk melayani sebuah jemaat di Swis. Pada 1913 ia menikahi Nell Hoffman, pemain biola berbakat (mereka dikaruniai satu anak perempuan dan empat anak laki-laki). 

Menyerang Teologi Liberal 
Saat itu ia mengamati bahwa tetangga dekat Swiss, Jerman, berkembang semakin militeristik. Para profesornya dulu juga sangat mendukung perkembangan ini. Cemas akan kelemahan moral teologi liberal, Barth menekuni Alkitab, khususnya Kitab Roma, untuk menemukan wawasan yang terkandung di dalamnya. Ia juga mengunjungi pendeta Moravia, Christoph Blumhardt. Dari situ ia diyakinkan secara mendalam akan realitas kemenangan kebangkitan Kristus. 

Dari pencarian itu lahirlah Commentary on the Epistle to the Romans (1918). Barth memaparkan tentang kedaulatan mutlak dan kemerdekaan sempurna Allah dalam memprakarsai pewahyuan di dalam Yesus Kristus. "Kasih Allahlah yang menyadari perbedaan kualitatif antara Allah dan manusia dan antara Allah dan dunia," tulisnya. 

Edisi revisi pertamanya, enam jilid tebal, terbit 1922, mengguncangkan komunitas teologia. Para teolog liberal terperangah dan menyerang Barth dengan sengit karena ia dinilai menyerang optimisme mereka. 

Menentang kecenderungan kaum liberal memperlakukan Yesus sebagai guru agama, Barth mengatakan, "Yesus tidak memberikan resep yang menunjukkan jalan kepada Allah sebagaimana guru-guru agama lainnya. Dia sendirilah jalan itu." 

Pada 1921 Barth ditetapkan sebagai profesor teologi Reformed di Universitas Göttingen, dan kemudian dipindahkan ke Münster (1925) dan Bonn (1930). 

Pada 1931 ia mulai menyusun jilid pertama dari karya besarnya, The Church Dogmatics. Karya ini terus berkembang tahun demi tahun berdasarkan kuliahnya. Banyak pendeta sepanjang 1930-an – 1950-an yang menanti-nantikan terbitnya setiap jilid. 

Mengembangkan Teologi Dialektis
Teologinya kemudian dikenal sebagai "teologi dialektis" atau "teologi krisis". Teologi ini berkembang menjadi suatu aliran teologi yang dikenal sebagai neo-ortodoksi, yang mempengaruhi teologi selama sekian dasawarsa dan melibatkan pemikir-pemikir seperti Emil Brunner dan Reinhold Niebuhr. Banyak teolog Katholik (seperti Hans Küng) dan teolog Injili (seperti Donald Bloesch) yang mengakui pengaruh Barth atas pemikiran mereka. 

Di sisi lain, kaum liberal mencemoohnya sebagai orang fundamentalis yang suka mengacung-acungkan Alkitab. Sebaliknya, orang-orang konservatif juga bertanya-tanya tentang ortodoksi Barth karena ia tidak menganggap Alkitab sebagai "tidak mengandung kesalahan" (menurutnya, hanya Yesus yang tidak mengandung kesalahan). Yang lain lagi menganggap teologi Barth terlalu menekankan transendensi Allah sehingga menjadikan Allah kelihatan begitu jauh.

Barth sendiri terkejut oleh tanggapan-tanggapan itu. Pada masa akhir hidupnya ia menulis, "Saat saya melihat kembali perjalanan hidup saya, saya melihat diri saya seperti orang yang sedang menaiki tangga menara gereja yang gelap dan berusaha memantapkan langkah. Saya ingin meraih pegangan tangga, namun justru memegang tali lonceng. Betapa kagetnya ia ketika mendengar kumandang lonceng gereja itu, yang suaranya bukan hanya terdengar oleh dirinya sendiri." 

Menentang Hitler 
Barth bukan hanya melawan kaum liberal, namun juga berhadapan dengan rekan-rekan yang menantang beberapa kesimpulannya yang ekstrem. Ketika Brunner menyampaikan bahwa Allah mewahyukan diri-Nya bukan hanya dalam Alkitab, namun juga di dalam alam (meskipun tanpa janji keselamatan), tahun 1934 Barth menjawab dengan artikel berjudul "Tidak! Jawaban untuk Emil Brunner". Barth percaya, "teologi natural" seperti itu adalah akar dari sinkretisme agama dan anti-Semitisme "orang-orang Kristen Jerman" – mereka-mereka yang mendukung sosialisme nasional Hitler. (Nantinya, pandangannya lebih lunak dan ia berdamai dengan Brunner).

Saat itu Barth juga terlibat dalam pergumulan gereja Jerman. Ia pendiri Confessing Church, yang ditindas oleh ideologi "darah dan tanah" serta upaya Nazi untuk membentuk gereja "Kristen Jerman". Deklarasi Barmen 1934, sebagian besar berdasarkan konsep Barth, memperhadapkan pewahyuan Yesus Kristus dengan "kebenaran" Hitler dan sosialisme nasional: 

"Yesus Kristus… adalah Firman Allah yang esa…. Kami menolak doktrin palsu, seolah-olah Gereja dapat dan harus mengakui sebagai sumber pemberitaannya, terpisah dari dan di samping Firman Allah yang esa ini, kejadian dan kekuasaan lain, sosok dan kebenaran lain, sebagai pewahyuan Allah." 

Ketika Barth menolak untuk menyatakan ikrar kesetiaan tanpa syarat kepada Führer, ia kehilangan posisinya di Bonn. Kota asalnya, Basel, menawarinya kedudukan di bidang teologi, dan dari sana ia terus memperjuangkan cita-cita Confessing Church, bangsa Yahudi dan orang-orang tertindas di mana saja. 

Setelah perang, Barth terlibat dalam kontroversi seputar baptisan (meskipun seorang teolog Reformed, ia menolak baptisan bayi), hermeneutika, dan program demitologisasi Rudolf Bultmann (yang menyangkal sifat historis Kitab Suci, dan menganggapnya sebagai mitos yang maknanya dapat menyembuhkan kegelisahan rohani).

Barth juga secara teratur mengunjungi penjara Basel, dan khotbah-khotbahnya kepada para tawanan, Deliverance to the Captives, memperlihatkan paduan antara kerinduan Injili dan kepedulian sosial yang menjadi ciri khas seluruh hidupnya. 

Meskipun tahun-tahun terakhir masa hidupnya relatif tenang, Barth tetap menjadi sosok teolog paling penting pada abad kedua puluh. Sewaktu kelihatannya teologi moralistis dan humanistis telah mengambil alih Kekristenan, Barth menunjukkan kepada orang-orang Kristen bagaimana menanggapi Alkitab secara serius. Barth meninggal pada 1968.

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion