Ketidakpastian di Tengah Wabah



Pada abad lalu, saya mendengar dan melihat sejumlah musibah dari jauh: (tidak berurutan) kecelakaan pesawat di Sibolangit, letusan Gunung Galunggung, gas beracun Dieng, tenggelamnya kapal Tampomas, sampai kelaparan di Etiopia yang melahirkan lagu We Are the World. Kalau krisis moneter ya ikut mengalaminya, tapi sebagai orang yang biasa hidup pas-pasan, aya malah tidak terlalu merasakan dampaknya dan melewatinya dengan biasa-biasa saja.

Pada abad ini, saya mendapat jatah ikut merasakan secara langsung dampak beberapa bencana: gempa Yogya 2006, letusan Gunung Merapi 2010, letusan Gunung Kelud 2014, dan wabah korona 2020 ini.

Pagebluk kali ini jelas paling berat. Pokok persoalannya: ketidakpastian.

Kita berhadapan dengan jasad renik yang tidak kasatmata. Sumber dan pola penyebarannya tidak terduga. Cara pencegahan dan penangkalannya, meskipun kita telah mengupayakan yang terbaik, masih di tataran coba dan ralat. Kabar kesembuhan dan kabar kematian ganti-berganti membuat kita serasa berada dalam roller-coaster. Dan, belum ada kepastian dalam berapa lama pandemi ini bakal mereda sepenuhnya.

Anjuran untuk mengurung diri di rumah saja bukan soal besar bagi saya. Toh sudah sehari-hari bekerja di rumah. Malah jadi agak aneh karena anak-anak pun diliburkan dari sekolah dan kampus. Yang jelas, meskipun tinggal di rumah kontrakan, dalam hal ini kami jauh lebih beruntung dari mereka yang tinggal di perkampungan kumuh atau pemukiman padat seperti di sisi timur dan barat Malioboro itu, yang jelas kesulitan menjaga jarak satu sama lain.

Kami tinggal mengurangi aktivitas ke luar rumah. Berenang, yang biasanya 2-3 kali seminggu, dipangkas. Berbelanja ke pasar atau ke warung, dijarangkan frekuensinya. Selebihnya, tidak terlalu banyak perubahan. Paket internet masih aman sampai pertengahan bulan depan. Ada kelas tatap muka yang dibatalkan, tetapi syukur pula saya sudah ada pesanan terjemahan dan editing yang bisa dikerjakan sampai pertengahan tahun. Belum lagi kemarin ada teman yang menanyakan rekening dan mengirimkan sejumlah uang: “Biar bertapanya makin fokus, Mas.” Lumayan.

Mengikuti pandangan C.S. Lewis tentang hidup di zaman bom atom, saya mencoba menerapkannya dalam situasi pandemi ini. Berusaha membesarkan hati dan membangun kesiapan pribadi dengan berhitung bahwa bagaimanapun virus korona ini tidak lain adalah cara baru untuk sakit dan untuk mati. Virus itu mirip dengan matahari, bisa mengenai siapa saja, tidak pandang bulu, entah orang jahat entah orang baik. Begitu, bukan? Mungkin juga, menurut sejumlah sumber, cara bumi untuk meremajakan dirinya kembali, tapi saya tidak ingin melantur ke sana.

Masalahnya, kalau membaca pengalaman mereka yang terpapar virus ini, entah kemudian sembuh entah akhirnya mati, memang ini cara sakit dan cara mati yang menyiksa, sunyi, dan memilukan. Karena kita masih gagap bagaimana merawat si penderita. Dan, kewalahan oleh perkembangan kasusnya.

Di sisi lain, ya karena ini wabah yang menular. Kalau virus korona ini semacam usus buntu atau serangan jantung, seandainya saya terpapar, ya sedikit-banyak saya sendirilah yang menanggung akibatnya. Relatif lebih mudah mengontrolnya.

Korona ini lain cerita. Seandainya saya terpapar, saya bisa sakit, dan kemudian saya bisa mati. Selesai perkara? Tidak. Karena dalam proses dari terpapar, sakit, dan mati itu saya berpotensi menulari dan membahayakan orang lain. Itu yang lebih pelik.

Lebih parah lagi, ketika saya terpapar, bisa jadi saya malah kuat dan sehat-sehat saja, tetapi saya kadung menularkan virus itu kepada orang lain, yang bisa jadi tidak seberuntung dan sekuat saya. Orang lain itulah yang kemudian sakit atau malah mati. Ini yang amat berat. Seandainya saya yang terpapar.

Jadi, bagaimana? Saya tidak tahu.

Yang saya tahu, itu tadi, virus korona adalah cara baru untuk sakit dan untuk mati. Di sisi lain, bukan berarti juga kita lalu hidup sembrono. Kecelakaan lalu lintas juga sebuah cara untuk sakit dan mati, tapi bukan berarti kita lalu seenaknya ngebut atau menyeberang jalan tanpa menengok ke kiri dan ke kanan.

Jadi, ya sedapat mungkin kita menjalani anjuran yang diharapkan membawa kebaikan bersama dalam upaya mengontrol penyebaran virus dan menangkal keparahan dampaknya. Memantau perkembangan dengan mengikuti petunjuk ilmuwan dan pakar yang memang kompeten, bukan tokoh publik yang sembrono dan asal berbicara. Yang mampu melakukannya tampaknya perlu memikirkan cara-cara untuk menolong mereka yang tidak mampu melakukannya. Meskipun dengan langkah-langkah yang gagap. Semoga kita bertemu lagi dengan masa-masa “yang wajar tapi tetap mengasyikkan.”

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri