Pengakuan Seorang Youtuber Kurang Niat



Sejak SD saya suka membaca puisi. Bukan hanya membacanya dalam hati, tetapi melisankannya. Deklamasi, begitu istilah yang populer saat itu.

Di kelas saya mendapat nilai bagus untuk baca puisi. Lomba tingkat sekolah atau gereja juga bisa juara. Namun, di tataran lomba antarsekolah, beberapa kali gigit jari.

Saat masuk SMA, siswa baru wajib ikut Penataran P4 pola 48 jam selama seminggu. Saat penutupan, sukarelawan dipersilakan unjuk bakat. Saya maju membacakan puisi karya sendiri, "Suatu Saat Nanti: Perang Nuklir, Nyanyi, dan Puisi." Sayang, naskahnya sudah tidak ada dalam arsip saya. Sejak saat itu, teman seangkatan dan kakak kelas kadang meneriaki saya, "Nuklir!"

Saat kuliah di Yogya, sempat ikut lomba baca puisi yang diadakan oleh Asrama Realino. Lagi-lagi gagal masuk putaran final.

Makin tua, masih tetap suka baca puisi, dengan kecakapan yang mentok begitu-begitu saja. Tidak pernah berkembang jadi deklamator yang benar-benar kampiun, cakap membacakan puisi secara teatrikal. Saya sekadar membacakan puisi dengan irama, pelafalan, dan pemenggalan frasa tertentu yang mudah-mudahan enak di telinga.

Ketika bikin kanal Youtube ART Dunia Literasi empat tahun silam, video baca puisi saya masukkan sebagai salah satu konten. Hampir dua tahunan mengelola channel, tibalah kejenuhan. Di satu sisi, memikat pemirsa dan pelanggan nyatanya tak gampang. Di sisi lain, menyediakan konten yang menarik secara rutin juga lebih tidak gampang lagi. Secara teknis, sarana dan kemampuan merekam gambar dan mengedit video pas-pasan belaka; jadinya malah menguras banyak waktu dan energi. Secara personal,  ya tahu diri saja, sosok dan karya saya sulit diolah jadi konten video nan memikat dan menggemparkan yang berpotensi viral. Seorang teman berbaik hati memberi saran, "Mas, kalau bikin video, sebaiknya Mas Arie tak perlu tampil." Oh, baiklah. Saya menangkap apa kira-kira maksudnya. Dan, yah karena berbagai faktor itulah, setelah dua tahun channel saya biarkan mangkrak. Saya memilih berkreasi lewat media lain. Kalau ada teman mendorong saya untuk yutuban lagi, saya mesem-mesem.

Sampai... keisengan itu muncul lagi.

Awalnya, di WAG SMP, muncul ide untuk membuat video bareng menyanyikan "Kemesraan". Tidak pakai Zoom. Setiap orang kebagian jatah menyanyi sepatah dua patah kata, direkam sendiri, lalu dikirim ke teman yang menjadi editor. Dia yang nanti akan menyatukan keping-keping video itu jadi video lagu utuh. Saat ini masih dalam proses pengerjaan.

Saya kebagian menyanyikan baris "suara alam ini." Saya rekam sendiri di halaman depan rumah yang banyak ditumbuhi pepohonan. Eh, hasilnya kok, menurut saya, lumayan oke. Gambar jernih dan suara juga terekam dengan baik.

Lalu terpikir, "Bagaimana kalau kanal Youtube itu dihidupkan lagi?" Saya mencoba-coba kemampuan HP itu merekam video. Saya tidak punya kaki tiga. Kalau mesti memegangnya terus, lama-lama tangan bakal pegal. Saya coba menyandarkannya pada botol minum di meja. Yak, bisa! Tapi, ya sayanya sebagai obyek rekam tidak bisa bebas bergerak. Pikir-pikir, video apa yang bisa dibuat kalau kondisinya seperti ini? Kalau nyanyi lagu utuh, tanpa iringan musik, suara saya akan mengerikan, banyak sengaunya. Gambar direkam terpisah dari suara? Ah, repot. Akhirnya, pilihan jatuh pada: video baca puisi dalam posisi duduk.

Tinggal mencari posisi yang enak dan berlatar lumayan. Mau berlatar rak buku, tidak ada tempat untuk meletakkan HP. Nah, berlatar tembok kamar kerja yang masih lumayan bersih catnya saja. Bisa ditambahi hiasan. Kali ini saya pilih lukisan buah-buahan buatan Lesra. Dan, sambil duduk di depannya, saya pun merekam diri membacakan "Senja di Pelabuhan Kecil" (Chairil Anwar) untuk diunggah ke kanal Youtube.

Begitulah, kanal ART Dunia Literasi punya tayangan baru. Mudah-mudahan bisa konsisten, paling tidak seminggu sekali ada satu konten video baca puisi karya berbagai penyair Indonesia dan buatan sendiri. Mengingat kendala teknis, kemampuan, dan keterbatasan, ya video-video statis begitu saja dulu. Tidak ada ambisi muluk-muluk. Untuk menghibur diri saja, meretas kebosanan di tengah suasana wabah yang tak menentu ini. Siapa tahu, kalau ditelateni, kanal ini bisa mengundang 7 juta umat sebagai pelanggan.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri