Ravi Zacharias: Berjuang di Arena Apologetika

Ravi Zacharias Dies of Cancer | News & Reporting | Christianity Today

Kalau Anda menginginkan bacaan yang ringan, kemungkinan besar Anda tidak ingin mengambil buku-buku Ravi Zacharias. Tulisannya dihiasi kata-kata seperti “heteronom” dan “pascastrukturalisme”. Ia memperkuat argumentasinya dengan mengutip pendapat sarjana religi India, teolog Jerman, dan berbagai filsuf dari masa lampau dan masa kini.

Lulusan Universitas Cambridge ini telah berceramah di lebih dari 50 negara dan mengajar di banyak universitas tersohor di dunia, termasuk Cambridge, Harvard, dan Princeton. Ia bergerak di ranah logika, filsafat, keagamaan, sejarah, dan kesusastraan. Melalui berbagai bidang ini, ia membuktikan realitas dan kebenaran iman Kristen.

“Bagi beberapa orang,” katanya, “pintu menuju hati itu melalui jendela pikiran—bagi yang lain lagi melalui imajinasi."

Sengaja Bunuh Diri
Lahir di Madras, India, pada 1946, Zacharias tergolong keturunan pendeta Hindu dari kasta Brahma Nambudiri. Suatu ketika, seorang pendeta kristiani berkewarganegaraan Swiss-Jerman berbicara kepada leluhurnya tentang Kekristenan. Sesudah itu, keluarganya bertobat. Nama keluarga mereka pun berubah dari Nambudiri menjadi Zacharias.

Frederick Antony Ravi Kumar Zacharias, begitu nama lengkapnya, besar di tengah keluarga Anglikan yang kurang aktif dalam bergereja [Anglican nominal mirip dengan istilah orang Kristen KTP itu mas]. Ia sendiri seorang ateis sampai berusia 17 tahun, ketika ia mencoba bunuh diri dengan menenggak racun. “Itu adalah keputusan yang betul-betul saya perhitungkan saat itu, bukan akibat dari trauma atau depresi. Saya cuma mendapati kehidupan ini tidak bermakna,” tuturnya.

Di tempat tidur rumah sakit di New Delhi, ia bertekad, “Kalau perlu, saya akan membalik setiap batu untuk menemukan kebenaran.”

Menurut salah satu bukunya, Cries of the Heart, seseorang meminta ibunya membacakan keras-keras Injil Yohanes untuknya selama ia terbaring di rumah sakit itu. Tidak lama kemudian, ia mengambil keputusan untuk menjadi orang kristiani.

Berkhotbah di Vietnam
Ia pindah ke Kanada pada 1966, bekerja di bidang perhotelan, dan bergabung dengan gereja Christian and Missionary Alliance (CMA) church. “Pada hari Minggu pertama di gereja itu, sebuah konferensi misi baru dimulai,” kenangnya. “Pembicaranya seorang misionaris Kanada yang telah melayani di India. Untuk pertama kalinya, saya mendengar negeri saya disebut sebagai ladang misi.”

Namun, pada awalnya ia tidak tergerak untuk terjun sepenuhnya ke dalam pelayanan. Ia tengah dilatih untuk menjadi manajer banquet di sebuah hotel besar di Toronto dan ia merasa kariernya akan cemerlang di dunia profesional.

Saat itu, ia juga berkenalan dengan Margeret Reynolds, sesama anggota persekutuan kaum muda di gerejanya, yang kelak menjadi istrinya. Saat bertemu dengan Ravi, Margie merasa Allah memiliki panggilan yang lebih besar bagi Ravi. “Pada saat itu,” kenang Margie, “ia sendiri tidak menyadarinya. Namun, setiap orang yang bertemu dengannya merasakan hal yang sama.”

Menyadari panggilan pelayanan ini, Ravi pun mempersiapkan diri dengan kuliah di Ontario Bible College, dan lulus pada 1972. Meskipun sebelumnya ia tidak terbiasa berbicara di muka umum, pada 1971 ia menerima undangan untuk berkhotbah selama tiga bulan di Vietnam, yang tengah dilanda perang. Khotbahnya disimak oleh tentara Amerika Serikat, Vietnam Selatan, tahanan perang dari Vietnam Utara, dan warga sipil Vietnam. Melalui kebaktian tersebut, ribuan orang menjadi Kristen. Pengalaman itu meyakinkan Ravi bahwa Allah ingin memakainya dalam pelayanan penginjilan. Selama tiga belas tahun berikutnya ia menjadi penginjil penuh waktu di Kanada dan Amerika Serikat.

Menekuni Apologetika
Pada 1983, dalam sebuah acara International Conference for Itinerant Evangelists di Amsterdam yang disponsori Billy Graham, Zacharias merasa Allah mempertajam panggilan pelayanannya. “Saya melihat penginjil klasik yang berjuang di arena intelektual sudah langka. Memang ada buku-buku yang membahas apologetika, namun di manakah orang-orang yang siap menanggapi pertanyaan-pertanyaan iman yang sulit dan menghadapi gagasan para pemikir dunia?”

Apologetika saat itu hanya ditekuni oleh segelintir nama, seperti Josh McDowell. Padahal, jutaan orang perlu dijangkau melalui bidang ini. Zacharias mengatakan, “Pada saat itulah, saya menemukan panggilan atas apa yang saya kerjakan saat ini.”

Ia pun mulai merintis sebuah badan pelayanan guna memenuhi panggilan itu. Pada 1984, ia mendirikan Ravi Zacharias International Ministries, yang berfokus pada pelayanan penginjilan yang ditopang dengan apolegetika.

Ravi menulis sejumlah buku, antara lain Cries of the Heart, Can Man Live without God dan Deliver Us from Evil. Melalui pelayanannya, ia meneguhkan pendapat bahwa iman Kristen tidak berbenturan dengan penalaran sehat. Ia juga menekankan perihal damai sejahtera dan kesembuhan yang bersumber hanya dari Allah.

Tiga Prioritas
Dalam wawancara dengan Edward Plowman dari National and International Religion Report, ia menunjukkan tiga hal yang perlu diprioritaskan oleh gereja dalam menyongsong abad ke-21 ini.

Pertama, kebutuhan kita yang utama adalah berpaling kembali kepada otoritas, keagungan, dan kedalaman Kitab Suci. Firman Allah itu sangat kuat seperti, mengutip istilah Calvin, singa yang dilepaskan dari kerangkeng. Kita melupakan hal itu. Kita cenderung mengencerkannya; atau menghiasinya agar lebih mirip dengan teori populer pada zaman ini. “Yang seperti itu tidak akan berhasil,” tegasnya.

Kedua, kita bukan hanya perlu mengendalikan pikiran, tetapi juga perlu memengaruhi imajinasi. Orang-orang yang mahir menggugah imajinasi menjadi juru bicara nilai-nilai dunia. Lalu, siapa yang akan menyampaikan nilai-nilai kekristenan melalui cara-cara kreatif yang memikat imajinasi orang banyak? Menurutnya, “Itu adalah salah satu tantangan terbesar yang kita hadapi.”

Ketiga, kita perlu tahu bagaimana cara menjembatani hati dan pikiran dalam pemberitaan Injil. Hal itu agar kita tidak terjebak ke dalam salah satu ektrem dan mengabaikan yang lain.

Ibadah Pribadi
Sebagai seorang hamba Tuhan, Ravi menyadari pentingnya menjaga kebugaran rohani diri sendiri. Apa resepnya?

Kehidupan ibadah pribadi yang konsisten. Tidak ada yang dapat menggantikannya. Apabila Anda mengabaikannya, semua tindakan Anda yang lain akan kehilangan signifikansi di hadapan Allah. Itu memang disiplin rohani yang paling sulit, tetapi jika kehidupan ibadah kita mati, pelayanan kita pun mati.

Berdoa. Bila Anda orang Kristen yang tekun berdoa, iman Anda akan menopang Anda. Bila Anda tidak berdoa, Anda harus menopang iman Anda—dan hal itu akan membuat Anda letih. Di dalam doalah Allah membentuk Anda menjadi seperti yang diimpikan-Nya.

Menjaga kerendahan hati. Bila kita tidak rendah hati, kesuksesan dalam pelayanan justru akan melumpuhkan kita.

Menjadi pembaca yang tekun. Tanpa bahan acuan yang memadai, pesan yang kita sampaikan akan cenderung dangkal, terbatas, dan mandul. Temukan bacaan yang baik dan kuasai pokok persoalan yang dibahas. Penulis yang baik biasanya mengarahkan kita kepada penulis-penulis baik lainnya.

Mengasihi keluarga Anda. Istri dan anak-anak Anda adalah orang-orang paling penting dalam kehidupan Anda. Kehidupan keluarga yang harmonis menjaga otentisitas pelayanan Anda.

Ravi Zacharias meninggal dunia pada 19 Mei 2020 di rumahnya di Atlanta. ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion