Blaise Pascal: Anak Ajaib yang Kembali Mengejar Tuhan
Hidupnya singkat saja: tiga puluh sembilan tahun. Namun, masa hidup itu dipenuhinya dengan berbagai pencapaian mencengangkan. Orang mengenangnya sebagai seorang genius dalam matematika, fisika, dan sastra. Ia dinobatkan sebagai bapak kalkulus integral. Namanya pun melekat pada salah satu bahasa pemrograman komputer.
Itu baru berbicara soal pencapaian olah pikirnya. Melalui karyanya Pensées, kumpulan catatan berkenaan dengan apologia Kristen, kita dapat menilik kerinduan hatinya dan perkara yang bermakna baginya: pengenalan akan Allah.
Nama genius saleh itu adalah Blaise Pascal.
Anak Ajaib
Pascal lahir pada 19 Juni 1623 di Clermont, Perancis. Ibunya, Antoinette Begon, meninggal saat ia berumur tiga tahun. Ayahnya, Étienne Pascal, seorang hakim yang berminat pada sains dan matematika. Ia mempunyai dua saudari, Gilberte dan Jacqueline (satu lagi meninggal saat masih kecil).
Pada 1931, Étienne memutuskan untuk membawa anak-anaknya pindah ke Paris karena tertarik pada dinamika intelektual kota itu. Ia bertekad akan mendidik sendiri putranya, yang sejak dini telah memperlihatkan kecemerlangan kemampuan mental dan intelektual. Etienne bergaul dengan ilmuwan Paris tersohor saat itu, seperti Roberval, Mersenne, Desargues, Mydorge, Gassendi, dan Descartes.
Tak ayal lingkungan ini turut mendukung kemajuan Pascal muda. Pada usia 13, ia telah menguasai dasar-dasar geometri Euclidian secara autodidak. Pada usia 16 ia menerbitkan esai tentang kerucut yang mendapatkan pujian dari para ilmuwan. Antara 1642 sampai 1644, ia mengembangkan mesin hitung untuk dipakai ayahnya dalam penghitungan pajak. Mesin itu tak lain adalah cikal bakal komputer yang kita kenal sekarang ini. Kelak ia menyelidiki persoalan mulai dari ruang hampa, sifat udara dan cairan, hukum probabilitas, hingga seluk-beluk segitiga (ingat segitiga Pascal). Semua itu mengundang ketakjuban cendekiawan Eropa pada zamannya.
Ia dibesarkan dalam iman Katolik, namun setelah ayahnya meninggal dan adiknya menjadi biarawati, Pascal malah memasuki masa yang sangat duniawi dalam hidupnya. Bukannya ia melepaskan imannya, namun persekutuannya dengan Tuhan tampaknya menguap di tengah hasratnya yang membara dalam pengejaran intelektualnya.
Pertobatan Dahsyat
Pencapaian ajaibnya dan penerimaan kalangan elite Perancis, termasuk pengakuan dari Raja Louis XIV, mestinya membuat hidupnya menyenangkan. Sebaliknya, ia justru melihat dirinya seperti cacing dan monster—sebuah kekacauan yang penuh dengan kontradiksi.
Kondisi tubuhnya juga kurang mendukung. Ketika kesehatannya memburuk, dokter menyarankannya untuk bersenang-senang, mengesampingkan dulu kesuntukannya atas berbagai penelitian. Namun, Pascal tidak menceburkan diri ke dalam amoralitas serbabobrok. Kesenangan baginya berarti menonton sandiwara, berpesta, berdebat, dan berjudi (dari kesenangan terakhir ini, ia mereka-reka dalil probabilitas!).
“Aku merasa muak dengan dunia ini,” katanya kepada Jacqueline, adiknya yang menjadi biarawati.
Pascal menyelidiki tulisan para filsuf besar untuk mendapatkan penghiburan, namun tidak menemukan apa-apa. Ia berpaling kepada Alkitab, namun firman Tuhan hanya membuatnya kian meratapi kemalangan dan ketandusan rohaninya.
Namun, segalanya berubah pada malam 23 November 1654. Rumah Pascal di Rue des Francs-Bourgeois di Saint-Michel menyambut tamu istimewa: Tuhan. Ia mengalami lawatan adikodrati dahsyat yang mengguncangkan seluruh keberadaannya. Pengalaman yang disebutnya “pertobatan kedua” ini benar-benar mengubah jalan hidupnya.
“API,” tulisnya pada kertas di depannya. “Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub, bukan Allah para filsuf dan cendekiawan.” Hatinya menggenggam apa yang selama ini tak terjangkau oleh daya pikirnya. Jiwanya diliputi oleh kepastian, sukacita, dan damai sejahtera. Aib akibat merasa terpisah dari Allah digantikan oleh keyakinan penuh akan kasih karunia. “Total dan manis,” katanya.
Prosa Cemerlang
Ia kemudian bergabung dengan komunitas cendekiawan di Port-Royal, Perancis, yang dikenal sebagai kaum Jansenis, golongan injili di tengah Gereja Katolik. Ia mengikuti pertemuan doa dan mendukung pelayanan kelompok ini tanpa menjadi anggota penuh. Di situ ia membantu mereka dalam kontroversi sengit dengan kaum Jesuit.
Telaahnya akan tabiat manusia membawanya pada deduksi logis bahwa anugerah sajalah yang dapat membuahkan keselamatan, seperti yang diajarkan oleh kaum Jansenis. Ia menyampaikan argumentasinya dengan penalaran dan kecergasan. Pembelaannya terhadap serangan kaum Jesuit memukau para pembaca, baik karena gaya bahasa maupun karena efektivitasnya. Tulisan-tulisan apologianya ini dianggap sebagai “suatu monumen di dalam evolusi prosa Perancis” oleh para sejarawan dan ahli bahasa.
Antara 1657 dan 1658, Pascal menulis catatan-catatan apologetika yang akan disusun menjadi buku. Catatan yang berjudul Pensées (bahasa Perancis = “gagasan”) ini baru diterbitkan setelah ia meninggal. Pascal memaksudkannya sebagai kajian dan pembelaan yang koheren terhadap iman Kristen. Ia menelaah beberapa paradoks filosofis: ketakberhinggaan dan ketiadaan, iman dan penalaran, jiwa dan materi, kehidupan dan kematian, makna dan kesia-siaan; ia tidak menyajikan kesimpulan yang definitif kecuali kerendahan hati, ketidaktahuan, dan kasih karunia.
Pensées juga dianggap sebagai adikarya dan tonggak istimewa dalam kesusastraan Perancis. Will Durant dalam The Story of Civilization, misalnya, menyanjungnya sebagai “buku yang paling mengesankan dalam khazanah prosa Perancis”.
Sayangnya, Pascal tidak sempat menuntaskan karya itu. Pada 19 Agustus 1662, dalam usia 39 tahun, ia meninggal dunia karena kesehatannya yang terus memburuk. Perkataan terakhirnya adalah “Kiranya Allah tak pernah meninggalkan aku!”
Luhur dan Bobrok
Kekuatan apologetika Pascal dilandasi oleh motivasi untuk meyakinkan orang supaya percaya kepada Yesus. Bila apologetika hendak diarahkan sebagai penginjilan, hal yang harus diperhitungkan adalah kondisi manusia penyimaknya. Bagi Pascal, kondisi manusia ini merupakan titik tolak dan titik sentuh bagi apologetika.
Dalam analisisnya, Pascal berfokus pada dua sisi tabiat manusia berdosa yang sangat bertentangan: manusia itu luhur dan sekaligus bobrok. Luhur, karena ia diciptakan di dalam rupa Allah; bobrok, karena ia jatuh ke dalam dosa dan terpisah dari Allah.
Istimewanya, kita mengetahui bahwa diri kita itu bobrok. Dan pengetahuan ini justru sekaligus memperlihatkan keagungan kita.
Menurut Pascal, adalah penting bagi kita untuk memiliki pengertian yang benar akan diri sendiri. Katanya, “Sama-sama berbahaya bagi manusia kalau ia mengenal Allah tanpa menyadari kebobrokannya, dan kalau ia menyadari kebobrokannya tanpa mengenal Sang Penebus yang dapat membebaskannya dari kebobrokan itu.”
Jauh di lubuk hatinya, manusia tahu tentang adanya dosa yang membelenggunya, namun mereka cenderung enggan memikirkannya. Kita lebih senang menepisnya: entah melalui pengalihan dengan melakukan berbagai aktivitas yang sia-sia, atau pun melalui ketidakpedulian dengan hidup tanpa memerhitungkan aspek kekekalan.
Dalam memberitakan Injil, kita perlu menegaskan bahwa “ada Allah yang dapat dikenal oleh manusia, dan ada kebobrokan di dalam tabiat manusia yang membuatnya tidak layak untuk mengenal Dia.” Hal itu akan mempersiapkan orang-orang yang belum percaya untuk mendengar tentang Penebus yang mendamaikan orang berdosa dengan Sang Pencipta. ***
Comments
Post a Comment