Takut Berwaktu Teduh?



Saya tidak puas bila hanya mendengar cerita teman tentang kelezatan suatu makanan; saya ingin mencicipinya sendiri. Betapapun bagusnya sebuah tempat tamasya, apa eloknya jika hanya membacanya di majalah, bukan mengunjunginya langsung. Begitu juga berpacaran. Begitu juga bercinta dengan kekasih kita. Kita tidak mungkin mewakilkannya. Kita ingin mengalaminya secara pribadi.

Begitu juga dengan berwaktu teduh. Seseorang menggambarkannya sebagai, “waktu untuk bersekutu dengan Tuhan  secara pribadi melalui Firman dan doa yang dikhususkan secara teratur.”

Secara pribadi. Nyatanya, tidak seperti makanan lezat atau bercinta, cukup banyak di antara kita yang tidak secara teratur meluangkan waktu pribadi dengan Tuhan ini. Kita cukup puas mewakilkannya—dengan mendengarkan khotbah, dengan membaca buku renungan, dengan membaca buku rohani.

Alasannya dapat bermacam-macam. Dari alasan teknis “Aku tidak tahu caranya” sampai alasan pribadi yang lebih pelik: “Aku cepat bosan kalau berwaktu teduh”; “Aku susah berkonsentrasi”; “Aku sulit berdisiplin; satu dua hari bisa, tapi lalu lebih sering bolong-bolong”; dan sebagainya.

Itu alasan yang lebih sering terucap. Namun, bisa jadi, penyebab yang lebih mendasar justru alasan-alasan yang tak terucapkan. “Apakah Tuhan berkenan menerimaku?” atau “Apakah aku cukup layak untuk menghadap kepada-Nya?” Kita tidak cukup yakin bahwa Tuhan cukup mengasihi kita sampai rindu untuk bersekutu dengan kita. Kita... takut... gentar bertemu empat mata dengan Pencipta kita. “Tidakkah Dia akan menolak aku?”

Mungkin selama ini kita telah dicecar oleh gambaran yang keliru tentang Dia: Tuhan yang berjarak, serba menuntut, siap menghukum kesalahan sekecil apa pun, dan tidak toleran terhadap kelemahan kita. Kita tidak terlalu yakin bahwa Dia rindu untuk bersahabat dengan kita.

Kalau begitu, ini saat yang baik untuk merenungkan besarnya kasih Tuhan kepada kita. Coba kita ambil satu gambaran tentang kasih-Nya itu dari perumpamaan dalam Lukas 15. Kita mengenalnya sebagai perumpamaan tentang “anak yang hilang”. Tetapi, ada penafsir yang memberinya judul yang, menurut saya, lebih jitu, yaitu “bapa yang mengejar”.

Kapan bapa itu melihat si anak datang? Apakah kemudian ia hanya duduk menunggu? Kapan ia merangkul anaknya, mengenakan jubah, cincin, dan sepatu kepadanya? Kapan ia menyembelih anak lembu tambun dan menggelar pesta? Apakah ia menuntut si anak melengkapi pengakuan dosanya dan membuktikan penyesalannya?

Jika ada yang bisa disimpulkan, kisah itu menggarisbawahi satu hal ini: bahwa jauh melampaui kerinduan kita, dan bahkan mengatasi keengganan kita, Allah rindu memeluk dan merangkul kita sebagai anaknya. Itulah gambaran yang berulang-ulang ditegaskan dalam Alkitab.

M. Basil Pennington menuliskan gambaran yang indah tentang kerinduan Bapa ini. “Seorang ayah bersukacita ketika anaknya yang masih kecil, meninggalkan mainan dan teman-temannya, berlari kepadanya dan melompat ke dalam pelukannya. Saat ia mendekap si kecil erat-erat, ia hampir tidak peduli apakah si kecil melihat-lihat ke sekeliling, perhatiannya beralih dari satu hal ke hal lain, atau malah mengantuk dan jatuh tertidur. Pada hakikatnya si kecil memilih untuk berada bersama dengan ayahnya, yakin akan kasih, kepedulian, keamanan yang dialaminya dalam dekapan sang ayah. Doa kita mirip dengan hal itu. Kita datang ke dalam dekapan Allah, ke dalam tangan-Nya yang penuh kasih. Pikiran, gagasan, imajinasi kita mungkin berpencar ke sana kemari; kita mungkin malah jatuh tertidur; tetapi pada hakikatnya kita memilih pada saat ini untuk berdekatan secara intim dengan Bapa kita, menyerahkan diri kita kepada-Nya, menyambut kasih dan kepedulian-Nya, membiarkan Dia menikmati kita sekehendak hati-Nya. Itu doa yang sangat bersahaja. Itu doa seperti seorang anak kecil. Itu doa yang membukakan kepada kita seluruh sukacita kerajaan surga.”

Bagaimana kalau kita memilih memandang waktu teduh seperti itu? Alih-alih enggan dan tidak yakin akan penerimaan-Nya, bagaimana kalau kita menghambur ke dalam dekapan Bapa yang mengasihi dan menyayangi kita seutuhnya? ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

120+ Penyanyi Indonesia 80-an: Sebuah Kurasi Memori

Bukan a piece of conversation, tapi a piece of confusion