Dapatkah Orang yang Sudah Bercerai Menikah Kembali?



Oleh Paul Ellis


Hmm, itu pertanyaan yang sulit. Coba kita lihat. Dapatkah orang berdosa? Dapatkah anak yang minggat pulang? Dapatkah penipu memperoleh kesempatan kedua? Dapatkah sesuatu yang retak dipulihkan kembali.


Nah, bukan, itu bukan pertanyaan yang sulit. Itu pertanyaan yang mudah. Tentu saja orang yang sudah bercerai dapat menikah kembali! Pertanyaan ini menjadi sulit tidak lain karena agama menyatakan bahwa orang yang bercerai itu melakukan dosa yang tak terampuni. Mereka seperti orang kusta yang mencemari gereja kecil kita yang sempurna. Sepanjang mereka duduk tenang dan mendukung program-program kita, mereka disambut dengan tangan terbuka. Namun, begitu mereka mulai berusaha menjalin hubungan cinta, mereka sudah melanggar batas. Mereka kan sudah pernah menjalin hubungan cinta dan mereka mengacaukannya.


Sungguh pernyataan yang berlawanan dengan kasih karunia Tuhan! Saya tidak dapat membayangkan sesuatu yang begitu berlawanan dengan hati Kristus selain menyatakan pada seseorang bahwa mereka tidak boleh mengalami cinta kasih, bahwa mereka terikat oleh kesalahan masa lalu mereka, dan bahwa mereka tidak memiliki masa depan.


Dua Farisi


Ada dua sosok Farisi bermuka kecut yang menyusup ke dalam gereja modern. Yang pertama disebut Penentang Perceraian dan yang kedua disebut Penentang Pernikahan kembali. Yang pertama gemar mengutip 1 Korintus 7:27 dan yang kedua mengutip 1 Korintus 7:11. Mari kita memeriksa kedua ayat itu:


Adakah engkau terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mengusahakan perceraian. (1 Kor 7:27a)


Ini nasihat yang sehat karena perceraian itu destruktif. Allah membenci perceraian (Mal 2:16) karena perceraian merusak anak-anak-Nya. Bapa yang penuh kasih tidak ingin melihat Anda mengalami kepedihan itu.


Namun, sebagian orang mengubah nasihat ini menjadi hukum. "Jangan bercerai!" Karena hukum justru merangsang perbuatan dosa (Rom 7:5), pesan ini sesungguhnya malah merangsang terjadinya perceraian. Hal itu merusak gereja dalam dua aspek: menggugah perbuatan dosa dan menghukum si pendosa.


Jika Anda menjadikan perkataan tadi sebagai hukum, Anda harus konsisten dan memberitakan seluruh ayat:


Apakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mencari seorang. (1 Kor 7:27b)


Jika bagian pertama merupakan hukum, begitu juga bagian kedua. Jika orang yang bercerai itu berdosa, begitu juga dengan orang yang menikah. Jelaslah bukan itu maksud perkataan rasul kasih karunia ini. Ia berkata agar kita tidak mengupayakan perceraian. Ia berkata bahwa perceraian itu bukan sesuatu yang perlu dilakukan.


Granat tangan perceraian


Perceraian itu sesuatu yang mesti dihindari--sedapat mungkin. Dalam pernikahan kami, Camilla dan saya memutuskan sekian tahun yang lalu, kami tidak akan pernah mengucapkan kata cerai, sekalipun hanya bergurau. (Ini bukan hukum bagi kami, hanya suatu pilihan yang sehat. Ada situasi tertentu--pernikahan yang diwarnai kekerasan, misalnya--yang memungkinkan penggunaan kata itu.) Mengucapkan kata cerai saat bertengkar itu sama saja menarik pelatuk granat tangan. Hanya akan memperparah keadaan. Takut akan granat tangan akan membunuh pernikahan Anda. Bagaimana Anda bisa terbuka dan jujur akan perbedaan Anda kalau Anda takut pasangan Anda akan menarik pelatuk? Paulus berkata, jauhkanlah granat tangan itu dari pernikahan Anda. Jangan mencarinya. Sebaliknya, carilah Yesus.


Namun faktanya ada orang yang bercerai dan kadang-kadang dengan alasan yang sangat valid. Bagaimana dengan mereka? Dapatkah mereka menikah kembali. Masuklah orang Farisi kedua.


"Pernikahan kembali itu dosa--Alkitab sangat tegas akan hal ini. Orang tidak dapat menikah kembali, kecuali rujuk dengan pasangannya yang semula." Dan kemudian mereka mengutip ayat yang mengatakan bahwa seorang perempuan tidak boleh bercerai dari suaminya:


... seorang istri jangan bercerai dari suaminya. Jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. (1 Cor 7:10-11)


Paulus sedang memberitakan pemulihan, dan kita semua mengharapkan hal itu terjadi. Jika apa yang telah pecah berantakan dapat dipersatukan kembali, alangkah indahnya. Namun bagaimana jika tidak? Bagaimana jika si suami pelaku kekerasan yang kasar terhadap istrinya? Bagaimana jika pasangannya telah menikah dengan orang lain dan memiliki 14 anak? Bagaimana jika kesempatan untuk rujuk itu nihil?


"Ya berarti pernikahannya sudah berakhir," kata si Farisi. "Jika mereka menikah dengan orang lain, mereka melanggar perintah dan berdosa terhadap Allah."


Pesan yang berpijak pada hukum itu berlawanan dengan prospek anugerah yang penuh dengan penebusan. "Segala sesuatu halal bagiku," kata Paulus dalam dua kesempatan, "tetapi bukan semuanya berguna." Ini bukan soal mematuhi peraturan, melainkan soal apakah pilihan Anda menuju pada kehidupan atau kematian. Tidak baik kalau seseorang itu sendirian, namun ada orang yang tidak siap menikah. Perceraian itu tidak baik, namun ada orang yang benar-benar sekarat dalam pernikahan mereka.


Orang yang bercerai kadang-kadang diperlakukan sebagai warga kelas dua. Pesan yang mereka terima adalah, "Kami akan menerimamu selama kamu mengikuti peraturan dan tata tertib kami." Mereka yang berbicara seperti ini tidak memahami hati Allah (lihat 1 Yohanes 4:8).


Agama vs realitas


Sungguh memprihatinkan cara kita memperlakukan sebagian orang di gereja. Seorang pendosa bertobat dan kita merengkuhnya sebagai saudara seiman. Seorang pendeta berzinah dan kita berusaha keras memulihkan dia. Orang yang paling berdosa menjadi rasul dan kita berkata "Bukankah Allah itu ajaib?" Namun tampaknya anugerah tidak tersedia bagi mereka yang bercerai, karena mereka harus tetap dalam masa percobaan sepanjang sisa hidup mereka.


"Kan memang berbeda, Paul. Pendeta dan pendosa itu sudah bertobat dan diampuni. Namun orang yang bercerai lalu menikah dengan orang lain itu jelas-jelas tidak bertobat, malah mereka hidup dalam dosa, jadi mereka tidak dapat diampuni."


Kalau begitu kita sedang memberitakan pengampunan bersyarat ya? Kita berkata bahwa Yesus tidak akan mati bagi dosa kita kecuali kalau kita bertobat dulu? Itu benar-benar terbalik. Itu pesan sungsang dari agama yang mengandalkan kesalehan pribadi kita.


Ketika Yesus pergi ke kayu salin, Dia menanggung seluruh dosa dunia (1 Yoh 2:2). Tidak seorang pun dan tidak satu dosa pun yang terkecualikan dari karya pengurbanan-Nya ini. Itulah sebabnya kita memberitakan pengampunan tanpa syarat. Pesan utama Injil bukanlah "bertobatlah agar engkau diampuni". Pesan Injil adalah "Allah mengasihimu--bertobatlah dan percayailah kabar baik ini!"


Kasih Allah tidak terpengaruh oleh status pernikahan Anda


Dosa apa pun yang Anda lakukan sudah dibawa ke kayu salib jauh sebelum Anda melakukannya. Tidak ada satu pun perbuatan Anda yang dapat membuat Allah lebih mengasihi Anda dan tidak ada satu pun perbuatan Anda yang dapat membuat-Nya kurang mengasihi Anda. Kalaupun Anda dosa yang tidak dapat diampuni, itu bukan perceraian.


Maka, bagi orang yang menikah: Jangan mengusahakan perceraian dan jangan menjadikan anugerah sebagai kelonggaran untuk berbuat dosa. Hanya orang tolol yang akan menukarkan harta surgawi (pernikahan) dengan sampah duniawi (keintiman haram).


Dan bagi mereka yang sudah bercerai: Anda bukan orang berdosa yang tak terampuni. Allah memang mendukung pernikahan dan menentang perceraian, namun lebih dari itu, Dia ada di pihak Anda. Allah membenarkan Anda, maka jangan biarkah si Farisi menghakimi Anda (Rom 9:33-34). Anda berharga bagi Bapa Anda. Dia mengasihi Anda dan berkenan akan Anda. Status pernikahan Anda tidak memengaruhi sedikit pun kasih-Nya yang besar kepada Anda itu.


Dapatkah Anda menikah kembali? Oleh anugerah Allah, dapat. Mestikah Anda menikah kembali? Itu bergantung. Tanyakanlah pada Bapa Anda. Dia mengenal Anda secara lebih baik daripada diri Anda sendiri dan Dia akan menuntun Anda di jalan kehidupan. Mungkin Anda akan menikah kembali, mungkin juga tidak. Namun, karena Allah ada di pihak Anda, Anda tidak mungkin kalah (Rom 8:28).


Itu pendapat saya. Sekarang saya ingin mendengarkan pendapat Anda, khususnya jika Anda sudah bercerai. Apakah Anda mengalami anugerah di gereja atau malah sebaliknya? Saya tidak ingin artikel ini menjadi pemicu diskusi yang sengit, maka berdiskusilah dengan nada yang membangun. Sampaikan saran-saran tentang bagaimana gereja dapat menyikapi dan melayani secara lebih baik orang-orang yang bercerai. ***


Sumber: Can divorced people remarry?


Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri